Bab [2]: Dia Ingin Melakukan Hal yang Lebih Intim Dengannya
Pada awalnya, saat Gita Gunawan bersiap untuk menjalin hubungan dengan Adrian Hartono, Keluarga Gunawan sangat setuju.
Bagaimanapun, Gita dan Adrian sudah tumbuh bersama sejak kecil. Hubungan kedua keluarga pun terjalin baik, dan mereka saling mengenal satu sama lain dengan sangat dalam.
Bagi kedua belah pihak, menyatukan kedua keluarga melalui pernikahan adalah hal yang sangat baik.
Namun, Keluarga Gunawan mulai menentang hubungan itu setelah gempa bumi terjadi. Sejak saat itu, Adrian mulai bersikap dingin pada Gita dan sebaliknya, menunjukkan perhatian yang berlebihan pada Clara Setiawan.
Puncaknya adalah ketika Adrian melamar Gita. Tanpa pesta pernikahan, ia meminta pernikahan mereka dirahasiakan. Bahkan, ia menolak untuk datang sendiri ke Kantor Catatan Sipil untuk mengurus surat nikah. Saat itulah, kesabaran Keluarga Gunawan habis.
Ayah dan Ibu Gita menentang keras. Kakek dan neneknya, meskipun sangat marah, tetap menahan amarah mereka dan dengan penuh kasih sayang mencoba menjelaskan semua kerugian menikahi pria yang tidak mencintainya.
Tapi Gita saat itu sama sekali tidak mau mendengar.
Meskipun ia juga menyadari Adrian telah berubah, apa pedulinya? Adrian sudah melamarnya.
Itu sudah cukup membuktikan bahwa Adrian mencintainya.
Soal siapa yang lebih mencintai atau siapa yang cintanya lebih dalam, atau mengapa Adrian tiba-tiba berubah dari hangat menjadi dingin lalu tiba-tiba melamarnya, Gita tidak mau ambil pusing.
Dia mencintainya.
Sangat, sangat mencintainya.
Dia percaya, bahkan jika Adrian tidak mencintainya sama sekali, selama dia terus mencintainya dengan tulus dan memberikan seluruh hatinya, suatu hari nanti Adrian pasti akan jatuh cinta padanya.
Gita sangat yakin akan hal itu.
Dia merasa, hanya wanita yang begitu gigih memperjuangkan cinta seperti dirinya yang pantas menjadi istri Adrian Hartono, yang pantas mendapatkan cinta Adrian Hartono.
Karena kekeras kepalaannya, neneknya jatuh sakit.
Melihat sikapnya yang keras kepala, ditambah dengan kondisi neneknya yang memburuk, Ayah dan Ibunya dengan kecewa memperingatkannya. Jika Gita tetap bersikeras menikahi Adrian, dia akan kehilangan seluruh keluarganya. Dia bukan lagi Nona besar kesayangan Keluarga Gunawan.
Menghadapi ancaman Ibunya, Gita tetap melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun, masuk ke dalam rumah yang seharusnya menjadi istana pernikahannya dengan Adrian.
Lalu...
Semuanya berakhir seperti ini.
Tidak hanya dihina secara fisik oleh Adrian, ia juga dikurung di kamar mandi yang tertutup rapat, dipaksa merasakan kembali teror ruang sempit dan sensasi mendekati kematian.
Gita Gunawan tidak mati.
Fobia ruang sempit tidak membunuh, hanya menciptakan teror yang luar biasa.
Begitu rasa takut itu mencapai puncaknya, perlahan-lahan akan mereda.
Saat ketakutan itu sudah tidak lagi mencekam, dia bisa membuka pintu dan keluar sendiri.
Dan begitu keluar dari ruang sempit itu, dia akan kembali menjadi orang normal.
Gita berdiri di ambang pintu kamar mandi, menatap tempat di mana ia dihina dan disiksa. Pandangannya beralih ke "foto pernikahan" mereka di atas ranjang besar—sebuah foto yang ia dapatkan dengan susah payah. Tanpa pikir panjang, ia menyambar sebotol anggur merah yang belum dibuka dari lemari di sebelahnya dan melemparkannya ke foto itu.
Setelah itu, dia pergi ke kamar tamu, membersihkan dirinya, menggosok gigi tiga kali, dan membuang semua barang miliknya ke tempat sampah.
Terakhir, dia berjalan ke ruang kerja. Dari laci meja Adrian, dia mengambil surat perjanjian cerai yang sudah disiapkan sejak lima tahun lalu.
Setelah lamaran itu, Adrian tidak hanya memberitahunya tentang pernikahan rahasia tanpa resepsi, tetapi juga tentang surat perjanjian cerai ini.
Lebih tepatnya, bukan hanya satu lembar, tapi beberapa lembar yang isinya sama persis.
Setelah mendapatkan surat nikah, Gita berpikir dia akan hidup bahagia selamanya bersama Adrian. Diam-diam, dia merobek surat perjanjian cerai itu. Belakangan baru ia tahu, Adrian sudah menyiapkan banyak salinannya.
Tidak peduli berapa banyak yang ia hancurkan, Adrian selalu bisa dengan mudah mengeluarkan lembaran baru di hadapannya.
Gita membuka surat perjanjian cerai itu ke halaman terakhir dan membubuhkan tanda tangannya di bagian paling bawah.
Setelah menyelesaikan semua itu, Gita berjalan menuju pintu keluar vila.
Sebelum pergi, dia berbalik dan menatap sekali lagi vila yang kini bersih tanpa jejak keberadaannya.
Adrian Hartono, aku tidak akan mengganggumu lagi. Kamu bebas bersama wanita pujaanmu. Sedangkan kita... semoga kita tidak akan pernah bertemu lagi.
Gita berbalik dan melangkahkan kakinya keluar dari vila.
Pada saat yang bersamaan, belasan mobil mewah melaju dan berhenti berbaris di hadapannya.
Pintu mobil terbuka. Dari mobil kedua, turun sepasang suami istri paruh baya yang berpakaian elegan. Dari mobil ketiga, turun sepasang suami istri lansia dengan rambut yang sudah memutih. Dari mobil-mobil lainnya, puluhan pelayan dan pengawal keluar serempak.
"Gita, akhirnya kamu sadar, Nak? Ibu datang menjemputmu."
"Gita, apa si brengsek Adrian itu menyakitimu? Biar Ayah yang memberinya pelajaran."
"Gita, cucu kesayanganku, kenapa kamu jadi kurus begini? Apa ada yang menyakitimu? Walaupun Kakek sudah tua, Kakek masih bisa memberinya pelajaran."
"Gita, sayangku, cucu Nenek, cepat kemari. Nenek pasti akan melindungimu."
Puluhan pelayan dan pengawal yang turun dari mobil lain serentak membungkuk hormat dan berseru, "Selamat datang kembali, Nona Besar."
Air mata kembali menggenang di pelupuk mata Gita.
Di Keluarga Gunawan, di sisi Kakek, Nenek, Ayah, dan Ibunya, dia adalah seorang Nona Besar yang dimanja sejak kecil. Tidak ada seorang pun yang berani membuatnya bersedih.
Namun di Keluarga Hartono, dia harus mencuci dan memasak untuk Adrian, berlutut membersihkan lantai dan tangga, bahkan terjaga semalaman untuk merawat mertuanya yang sakit. Dia diperlakukan seperti pelayan—tidak, bahkan lebih buruk dari pelayan.
Pelayan dibayar, sedangkan dia, gratis.
Melihat keluarganya berlari ke arahnya, Gita menangis dan berlutut. "Kakek, Nenek, Ayah, Ibu... lima tahun ini, Gita salah. Gita minta maaf."
Kakek Aji Gunawan, Nenek Wati Kusuma, Ayah Yudi Gunawan, dan Ibu Luna Liman serempak membantunya berdiri.
"Anak bodoh, kamu tidak salah. Ayah yang salah karena tidak becus mengajarimu cara mengenali pria brengsek."
"Gita tidak salah. Ibu yang dulu terlalu terburu-buru dan tidak sabar menjelaskan baik-baik padamu. Kalau saja Ibu lebih sabar, kamu pasti tidak akan menikah dengan Adrian Hartono."
"Ini semua salah Adrian Hartono! Gita kita tidak salah apa-apa. Adrian saja yang buta!"
"Benar, ini semua salah Adrian. Gita kita tidak bersalah."
Villa Puncak.
Di vila kedua yang dibeli Adrian Hartono dengan biaya fantastis khusus untuk Clara Setiawan.
Clara, mengenakan gaun tidur lingerie seksi, bersandar di ranjang besar. Tubuhnya condong ke depan, memamerkan lekuk tubuhnya yang sempurna sambil menatap Adrian yang duduk di sisinya dengan tatapan memelas.
"Adrian, aku tahu kamu marah karena Gita mencoba membunuhku. Tapi, ini semua bukan salah Gita sepenuhnya. Ini salahku. Seharusnya aku tidak jatuh cinta padamu, seharusnya aku tidak mengganggumu. Kalau saja aku tidak bersamamu dan merusak pernikahan kalian, Gita tidak akan mencoba membunuhku."
"Clara, ini bukan salahmu," kata Adrian sambil memegang bahu Clara. "Kamu bukan orang ketiga, Gita Gunawan yang justru merebut posisimu. Lima tahun lalu, aku sebenarnya ingin menikahimu. Tapi Gita membujuk Nenek dengan segala cara, sampai Nenek memaksaku untuk menikahinya."
"Clara, di hatiku, kamulah istriku," ucap Adrian dengan penuh perasaan. Namun, bayangan Gita tanpa sadar melintas di benaknya.
Secara hukum, Gita Gunawan adalah istrinya.
Dan saat Gita mengatakan ingin bercerai, pikiran pertama yang muncul di benaknya justru penolakan.
Dia tidak ingin bercerai dari Gita Gunawan.
"Adrian~"
Clara menatap Adrian dengan tatapan lembut. Tubuhnya semakin condong ke depan, sengaja menggesekkan dadanya ke lengan Adrian. Dagunya terangkat, bibir merahnya perlahan mendekati bibir Adrian.
Di saat-saat mesra seperti ini, dia ingin melakukan sesuatu yang lebih intim dengan Adrian.
Dia ingin menjadi wanitanya.
Meskipun Adrian sudah berjanji akan menikahinya lima tahun lalu, selama ini Adrian tidak pernah menyentuhnya, bahkan sekadar ciuman pun tidak pernah.
Dia harus segera tidur dengan Adrian agar pria itu mau bertanggung jawab.
Pikiran Adrian yang sedang melayang pada Gita tiba-tiba buyar saat Clara mendekat. Dia terkejut dan secara refleks menghindar.
"Adrian..." Wajah Clara tampak sangat kecewa. "Apa kamu sudah tidak suka padaku lagi? Aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya ingin menciummu. Kenapa kamu..."
"Bukan begitu," sanggah Adrian cepat. "Kamu baru saja mengalami syok hari ini, tubuhmu tidak sehat dan butuh istirahat. Aku tidak mau mengganggu kesehatanmu."
Clara tersenyum manis. "Aku tahu, Adrian. Kamu memang yang paling mencintaiku."
Mendengar itu, suasana hati Adrian justru semakin kacau. "Clara, Nenek memintaku pulang karena ada urusan penting. Aku pergi dulu, ya. Besok aku akan menemanimu lagi."
"Iya. Adrian, aku menunggumu."
Clara mengangguk patuh.
Begitu Adrian pergi, raut wajahnya langsung berubah dingin.
Dia harus segera menemukan cara untuk menyingkirkan Gita Gunawan. Tanpa menyingkirkannya, Adrian tidak akan pernah menikahinya.
Gita Gunawan, jangan salahkan aku jika aku kejam. Siapa suruh kamu menghalangi jalanku.
Dan siapa suruh... Adrian yang tadinya tidak tertarik padaku, tiba-tiba menjadi begitu lembut setelah insiden gempa itu, memberiku kesempatan untuk menjadi menantu Keluarga Hartono.
