Bab [4]: Nikmati Malam dengan Bahagia

Di sebuah vila mewah milik keluarga Gunawan.

Kakek Aji Gunawan, Nenek Wati Kusuma, Ayah Yudi Gunawan, dan Ibu Luna Liman bersembunyi di depan pintu kamar Gita Gunawan. Mereka mengintip dari celah pintu, melihat Gita yang masih terlelap di tempat tidurnya.

"Gita jangan-jangan sakit, ya? Kok jam segini belum bangun juga?" kata Kakek Aji Gunawan dengan wajah penuh kekhawatiran.

Nenek Wati Kusuma menggeleng, meski raut wajahnya menunjukkan keraguan. "Sepertinya tidak, deh. Kemarin aku sudah panggil dokter keluarga untuk periksa Gita. Katanya, selain badannya sedikit lemah dan ada goresan di telapak tangannya, tidak ada masalah lain."

"Gita mungkin kelelahan selama di keluarga Hartono, makanya tidurnya jadi lama sekali," Yudi Gunawan menimpali setelah berpikir sejenak.

Mata Luna Liman sudah memerah. "Gita-ku sayang... dia pasti menderita sekali di keluarga Hartono. Mulai hari ini, aku tidak akan biarkan siapa pun menyakiti Gita-ku lagi."

Mereka berempat terus berbisik-bisik.

Di dalam kamar, Gita Gunawan bergerak sedikit, lalu mengucek matanya dan duduk di atas ranjang. Aji Gunawan, Wati Kusuma, Yudi Gunawan, dan Luna Liman segera berjingkat pergi dari depan pintu kamarnya.


Di dalam kamar.

Gita Gunawan meraih ponselnya dan melihat waktu. Sudah jam tiga sore.

Setelah membersihkan diri, ia turun ke lantai bawah dan melihat seluruh keluarganya duduk rapi di ruang tamu. Tatapan mereka penuh harap dan iba, namun mereka berusaha keras untuk bersikap normal. Hati Gita terasa hangat, tetapi di saat yang sama, rasa bersalah semakin menyelimutinya.

Baik Ayah, Ibu, Kakek, maupun Nenek, mereka semua punya kesibukan masing-masing. Tapi sekarang, mereka semua duduk di ruang tamu hanya untuk menunggunya.

"Kakek, Nenek, Ayah, Ibu."

Gita Gunawan menyapa sambil berjalan mendekat, lalu berkata dengan malu, "Aku bangunnya kesiangan. Lain kali nggak akan begini lagi."

"Nggak, kok, nggak kesiangan. Kami juga baru saja kumpul. Nenek baru mau makan sup sarang burung, nih," kata Nenek Wati Kusuma, sambil berseru ke arah dapur, "Bu Ratna, tolong bawa sup sarang burungnya ke sini, ya. Biar Gita temani Nenek makan."

"Gita, studio Ibu baru saja meluncurkan beberapa varian parfum baru. Nanti temani Ibu cium-cium wanginya, ya. Lihat mana yang paling enak dan apa ada yang perlu diperbaiki. Selera Gita, kan, paling bagus. Semua yang kamu pilih sebelumnya selalu laku keras."

"Meracik parfum apa bagusnya," sela Ayah Yudi Gunawan, menahan tatapan tajam dari istrinya, Luna Liman. "Ayah kebetulan lagi cuti. Gita, menurutmu tempat liburan mana yang paling bagus di dunia? Ajak Ayah liburan, yuk."

Kakek Aji Gunawan langsung menolak. "Tidak boleh. Keliling dunia begitu, apa kamu tidak kasihan Gita kecapekan? Gita, lebih baik kamu temani Kakek tinggal di perkebunan di kampung halaman untuk beberapa waktu. Kita bisa memancing, berkebun, menenangkan pikiran, sambil memulihkan kondisi badanmu. Kalau kamu bosan, kita bisa bahas kasus-kasus medis langka di dunia untuk hiburan."

Gita Gunawan memegang mangkuk sup sarang burungnya, menatap keluarganya yang duduk di sekelilingnya. Rasa bersalah di hatinya semakin menjadi-jadi.

Merekalah orang-orang yang paling mencintainya di dunia ini.

Meskipun dulu ia telah melakukan kesalahan besar hingga membuat Nenek jatuh sakit, begitu ia mengatakan "ingin pulang", mereka langsung menyambutnya dengan seluruh cinta yang mereka punya.

Seperti sekarang. Mereka jelas-jelas mengkhawatirkannya dan ingin ia segera melupakan Adrian Hartono agar bisa bahagia kembali. Namun, cara mereka menyampaikannya seolah-olah dirinyalah yang sedang berbakti pada mereka.

"Kakek, Nenek, Ayah, Ibu, terima kasih banyak. Tapi hari ini aku sudah ada janji mau pergi main sama sahabatku, Lisa Lim."

Keempat orang tua yang tadinya saling berebut ide untuk menghibur Gita, kini langsung kompak menyetujui. "Boleh!"

"Gita, kamu pergi saja bersenang-senang. Ini Kartu Eksklusif dari Ayah, kamu pegang. Suka apa, beli saja."

"Gita, pakai punya Kakek saja."

"Nggak usah, pakai punyaku saja. Ini memang khusus Ibu siapkan untuk Gita. Gita, ambil punya Ibu."

"Tidak, pakai punyaku. Gita, Nenek paling sayang sama kamu, kamu harus pakai punya Nenek. Kalian semua, simpan lagi kartu kalian!"

"..."

Melihat mereka berempat akan mulai berdebat lagi soal kartu siapa yang harus diterima, Gita Gunawan segera mengambil keempat kartu itu. "Aku ambil semua. Aku berangkat, ya. Dah, Kakek, Nenek, Ayah, Ibu."

Setelah berkata demikian, Gita langsung melesat pergi dengan mobilnya, seolah-olah sedang melarikan diri dari vila.

Keluarganya terlalu baik padanya. Ia takut jika terus di sana, ia tidak akan bisa menahan tangisnya, dan itu hanya akan membuat mereka semakin khawatir.


Sebuah Porsche Panamera berwarna merah muda berhenti di depan sebuah studio tato.

Gita Gunawan turun dari mobil dan melangkah masuk. "Lisa Lim, aku datang."

"Gita, aku sudah menunggumu dari tadi," seorang wanita muda berambut ikal panjang, mengenakan atasan ketat dan rok pendek biru muda, berjalan keluar dari dalam.

Gita terdiam sejenak. "Kamu sudah tahu, kan, kalau aku akan bercerai."

Dulu saat ia akan menikah dengan Adrian Hartono, bukan hanya keluarganya yang menentang, tapi juga sahabatnya, Lisa Lim.

Lisa Lim mengangguk. "Di dunia ini, meluluhkan hati seorang wanita dengan cinta yang terus-menerus itu gampang. Tapi untuk meluluhkan hati seorang pria, tingkat keberhasilannya terlalu rendah. Aku belum pernah lihat ada yang berhasil."

Hati Gita terasa sakit luar biasa, tetapi apa yang dikatakan Lisa adalah fakta. Pengalaman pribadinya sudah membuktikan hal itu.

"Sudah, jangan dibahas lagi." Gita mencoba tersenyum. "Aku sudah menyingkirkan pria brengsek itu dari hidupku. Sekarang, yang perlu aku lakukan adalah menghapus jejak terakhirnya dari tubuhku."

Sambil berbicara, mereka berdua masuk ke sebuah ruangan mewah di lantai dua.

Selain perabotan seperti meja, kursi, dan sofa, di dalam ruangan itu juga terdapat sebuah ranjang sempit, satu set lengkap peralatan tato, dan gambar bunga spider lily yang sudah dipilih Gita tadi malam.

Lima tahun yang lalu, sehari sebelum menikah dengan Adrian Hartono, di tempat ini juga, ia meminta Lisa untuk menato nama "Adrian Hartono" di atas jantungnya.

Sekarang, yang ingin ia lakukan adalah menghilangkan jejak tulisan itu, agar segala sesuatu tentang Adrian Hartono lenyap dari dunianya.

"Sama seperti dulu, tidak perlu dibius," kata Gita setelah berbaring di ranjang dan memejamkan mata.

Dulu ia menato nama "Adrian Hartono" di atas jantungnya tanpa bius sebagai bukti cintanya. Ia juga ingin Adrian melihat pengakuan cintanya itu saat membuka pakaiannya di malam pertama mereka.

Sayangnya, selama lima tahun pernikahan, Adrian tidak pernah menyentuhnya.

Semalam pria itu memang menyentuhnya, tapi lebih untuk menghinanya. Adrian terus menekan kepalanya ke selangkangannya, sama sekali tidak melihat tulisan di dadanya.

Sekarang ia kembali tidak menggunakan bius agar bisa mengingat rasa sakit ini, supaya di kemudian hari ia tidak akan sebodoh itu lagi, mencintai seorang pria tanpa pamrih.

Tusukan jarum terakhir selesai. Sekuntum bunga spider lily yang memesona kini mekar di atas jantung Gita Gunawan, menutupi jejak nama Adrian Hartono dengan sempurna.

"Selesai!"

Lisa Lim membereskan peralatannya, lalu membantu Gita bangkit dari ranjang. "Ayo! Kita pergi ke pesta topeng di Bintang Galaxy Club malam ini. Kita bersenang-senang semalaman."

Ini adalah janji yang telah dibuat Gita dan Lisa sebelum tidur semalam.

Orang biasa yang ingin bersenang-senang di malam hari biasanya pergi ke kelab malam atau bar. Namun, bagi orang-orang dari kalangan seperti Gita dan Lisa, pesta topeng di Bintang Galaxy Club adalah tempat terbaik untuk melepas penat.

Di sana, semua orang memakai topeng untuk menyembunyikan identitas asli mereka, bebas meliukkan tubuh mengikuti irama musik. Jika bertemu pria atau wanita yang disukai, mereka bisa langsung memesan kamar di lantai atas dan melakukan apa pun yang mereka inginkan.

Di saat yang bersamaan.

Tempat parkir bawah tanah Grup Hartono.

Adrian Hartono keluar dari lift dan langsung masuk ke mobil Rolls-Royce yang sudah menunggunya di depan pintu lift. Ia memberi perintah kepada sopirnya:

"Ke Bintang Galaxy Club."

Malam ini, ia ada janji minum di sana.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya