Bab [3] Dituduh

Menyadari tatapan mereka bertemu, Melati Fenanto buru-buru menghalangi Adrian Kusuma. Hatinya seketika gelisah. Ia khawatir keduanya akan saling mengenali. Bagaimanapun, insiden lima tahun lalu terlalu rumit dan penuh kejanggalan. Ia tidak yakin apakah mereka berdua sudah mencium ada yang tidak beres.

“Sialan! Kalau bukan karena si Dani Gunawan pecundang itu! Situasinya tidak akan jadi serumit ini,” umpat Melati dalam hati.

Ketidakpastian inilah yang membuatnya tidak berani bertindak gegabah. Melati memutar otak, mencari cara untuk mengusir Sari Fenanto secara halus tanpa menimbulkan kecurigaan.

Tepat pada saat itu, terdengar ketukan di pintu.

“Masuk!” perintah Melati.

“Coba kamu lihat baik-baik, apa benar ini hasil karyanya?” Saat bertanya, Melati terus-menerus memberikan isyarat dengan matanya.

“Benar, ini memang dia…”

Pria itu berhenti di tengah kalimat, menyadari keanehan pada sikap Melati. Ia menjadi ragu dan mencoba menebak, “Atau mungkin… bukan?”

“Bagaimana kalau kalian berdua samakan dulu ceritanya sebelum bicara?” Sari Fenanto tidak tahan untuk tidak menyela.

Melihat Melati yang begitu panik dan kehilangan kendali, kening Adrian Kusuma berkerut menunjukkan kejengkelan. Ia memberi isyarat agar bawahannya keluar, lalu menata kembali emosinya sebelum berbicara pada Sari Fenanto.

“Jadi, kamu Sari Fenanto yang seharusnya bertunangan denganku waktu itu? Tidak kusangka pertemuan pertama kita justru terjadi di sini.”

Alarm di benak Melati berbunyi nyaring. Hal yang paling ia takutkan akhirnya terjadi juga.

“Aku sudah dengar sedikit tentang masa lalumu. Terkadang, kalau kamu sendiri yang melakukan hal-hal tidak tahu malu, jangan salahkan orang lain kalau mereka memandangmu rendah, iya, kan?”

Yang Adrian dengar, Sari Fenanto adalah wanita dengan gaya hidup tidak benar yang suka menggoda pria. Mungkin saja ia dulu juga menjadi korban akal-akalan wanita ini. Untungnya, Kakek Darma Fenanto adalah orang yang bijaksana. Beliau tidak hanya menjelaskan semuanya, tapi juga berinisiatif membatalkan pertunangan mereka.

“Apa maksud Anda?”

Sari Fenanto mengerutkan kening. Ini pertemuan pertama mereka, tapi pria ini sudah menunjukkan permusuhan yang begitu kentara.

“Bukan apa-apa. Aku hanya merasa sulit dipercaya, wanita dengan kehidupan sebebas dirimu bisa menciptakan karya yang begitu murni dan tulus.”

Melati menghela napas lega. Sepertinya Adrian Kusuma tidak menaruh curiga apa pun pada insiden lima tahun lalu.

Sadar telah bertindak berlebihan, Melati bergegas ingin memperbaiki citranya. “Kak Adrian, Kakakku dulu hanya terlalu muda dan suka mencari sensasi. Aslinya dia bukan orang jahat, kok.”

Sari Fenanto menatap Melati dengan senyum dingin. Tidak perlu berpikir panjang, ia tahu pasti perempuan inilah yang selama ini menyebar fitnah untuk menjelek-jelekkan namanya.

“Kenapa? Apa orang sekaliber Pak Kusuma juga suka menelan mentah-mentah omongan sepihak? Kukira Pak Kusuma adalah orang yang bertindak berdasarkan bukti nyata, ternyata hanya segitu saja kemampuannya!”

Sari Fenanto bukan lagi domba yang pasrah untuk disembelih. Pengalamannya selama beberapa tahun di luar negeri telah menyadarkannya bahwa ia harus mengubah dirinya menjadi landak berduri agar tidak terus-menerus disakiti.

“Dan kamu!”

Sari menatap tajam ke arah Melati, membalas tanpa basa-basi, “Baru sekarang mau pasang muka si manis tapi palsu? Apa tidak terlambat? Atau kamu pikir pria di sebelahmu itu bodoh? Bakal percaya begitu saja dengan perempuan munafik sepertimu?”

Melihat wajah Melati yang memerah karena marah, Sari merasa sangat puas.

Mendengar ucapan Sari, Adrian Kusuma mengerutkan kening dan tenggelam dalam pikirannya. Memang benar, semua citra buruk tentang Sari Fenanto di kepalanya berasal dari mulut Melati. Ia tidak pernah repot-repot menyelidikinya. Lagipula, siapa yang mau sengaja mencari tahu tentang orang yang tidak ia pedulikan?

Tanpa memastikan kebenarannya, ia memang telah bertindak gegabah. Adrian tanpa sadar mulai memandang Sari dengan cara yang berbeda. Dilihat dari karakter dan sikap yang ditunjukkannya saat ini, ia sangat jauh berbeda dari gambaran kakak perempuan bodoh dan tidak berpendidikan yang selalu diceritakan Melati.

Namun, bagaimanapun juga, Melati kini punya hubungan dengannya. Meski enggan, apa yang sudah terjadi tidak bisa ditarik kembali. Tentu saja ia tidak akan diam saja melihat Sari menindasnya.

“Nona Fenanto, Anda belum punya hak untuk menilai karyawan di perusahaan saya. Mengingat Anda sendiri belum resmi bergabung dengan Galeri Permata Cemerlang.”

Mendengar Adrian membelanya, Melati diam-diam merasa senang. Ia menatap Sari dengan angkuh, seolah berkata, sampai kapan pun kamu tidak akan pernah bisa mengalahkanku.

“Kak, dulu kamu sudah melakukan hal memalukan yang benar-benar membuat Ayah marah besar. Sekarang kamu mau membuat keributan di sini? Apa kamu mau mempermalukan Ayah lagi?”

Begitu Melati selesai bicara, Sari dengan cepat melangkah maju dan tanpa ragu melayangkan sebuah tamparan keras ke pipinya!

Dari semua hal, Melati seharusnya tidak pernah menyebut nama Ayah di depan Sari. Jika bukan karena fitnahnya, mana mungkin Sari diusir dari rumah oleh Ayah? Apalagi sampai terpaksa pergi ke luar negeri.

Semua penderitaan yang ia alami selama lima tahun ini disebabkan oleh si jalang ini, dan sekarang ia masih berani menghinanya lagi dan lagi!

Sari tidak akan memberinya ampun. Ia bukan lagi Sari yang lemah seperti lima tahun lalu.

PLAK!

Suara tamparan yang nyaring menggema, dan pipi Melati seketika memerah dan bengkak.

Adrian baru tersadar. Wanita ini berani memukul orang di depan matanya! Ia langsung mencengkeram pergelangan tangan Sari, wajahnya memerah karena marah. “Beraninya kamu?!”

“Minta maaf!”

Sari menatap Adrian di hadapannya, memandangi keningnya yang berkerut, dan mencium aroma parfum maskulin yang samar dari tubuhnya. Kesadarannya sedikit kabur, tanpa sadar ia teringat pada malam lima tahun yang lalu.

“Jangan buat aku mengulanginya untuk kedua kali!”

Mendengar suara dingin Adrian, Sari tersentak kembali ke dunia nyata. Ia menyentakkan tangannya hingga terlepas, lalu mengusap pergelangan tangannya sambil tersenyum sinis.

“Minta maaf? Dia yang berani memfitnahku, jadi dia harus siap menerima akibatnya.”

Mata Melati berkaca-kaca, air mata menggenang di pelupuknya. Ia mendekat pada Adrian, memasang wajah memelas yang membuat siapa pun iba.

“Kak Adrian, sudahlah, biarkan saja. Kakakku memang tidak tahu sopan santun. Mungkin dia kembali ke sini karena ingin ikut campur dalam warisan Ayah. Dulu juga dia selalu bersikap kurang ajar seperti ini setiap kali meminta uang pada Ayah.”

Melati menoleh ke arah Sari. “Kak, kamu mau uang berapa? Aku bisa memberikannya padamu. Tapi kamu tidak boleh membuat keributan di kantor, apalagi bersikap tidak sopan pada Kak Adrian. Perusahaan ini bisa bertahan selama ini berkat bantuan Kak Adrian. Kamu harus minta maaf padanya.”

Sari menahan sekuat tenaga dorongan untuk maju dan menamparnya lagi. Dengan nada sengit ia berkata, “Kalau kamu berani memfitnahku lagi, aku tidak keberatan membuat pipimu yang sebelah juga bengkak.”

Adrian berdiri di depan Melati, melindunginya. Tatapannya tajam dan berat. “Aku katakan untuk terakhir kalinya, minta maaf!”

“Kalau dia yang minta maaf padaku, mungkin akan aku pertimbangkan,” sahut Sari tanpa gentar, balas menatapnya dengan suara sedingin es. “Membayar mahal untuk membawaku pulang dari luar negeri, lalu setelah memastikan identitasku malah menghinaku seperti ini. Apa ini cara perusahaan Anda yang terhormat dalam menghargai talenta?”

“Dan satu lagi, jangan bicara kalau tidak tahu apa-apa. Banyak hal yang tidak bisa dinilai dari permukaannya saja! Sikap seperti itu hanya akan membuat Anda terlihat bodoh dan dimanfaatkan orang lain.”

Melati panik. Banyak detail dari malam itu yang tidak boleh diungkit-ungkit. Ia tidak akan membiarkan si jalang Sari ini menghancurkan kehidupan yang sudah susah payah ia bangun.

Melati menerjang maju, hendak merobek mulut Sari. Namun, Sari dengan gesit menghindar, membuat Melati kehilangan keseimbangan dan jatuh tersungkur ke lantai.

Dengan air mata berlinang dan suara bergetar karena tangis, Melati meratap.

“Kak Adrian! Dia menindasku.”

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya