Bab [4]: Menampar di Depan Umum
Adrian Kusuma melindungi Melati Fenanto di belakangnya. Jaraknya dengan Sari Fenanto begitu dekat, hingga napas mereka masing-masing bisa terdengar. Adrian sedikit limbung, wanita di hadapannya ini selalu memberinya perasaan yang familier, padahal ini jelas-jelas pertemuan pertama mereka.
"Urusanku bukan urusanmu."
Adrian Kusuma sama sekali tidak mengindahkan peringatan Sari Fenanto. Ia berbalik dan membantu Melati Fenanto berdiri.
"Kamu nggak apa-apa?"
Melati Fenanto menggelengkan kepala. "Kak Adrian, aku nggak apa-apa, aku..."
Saat sedang berbicara, matanya berbinar, sebuah ide licik muncul di benaknya.
"Kak Adrian, dia pasti sudah mencuri materi tes kali ini! Kalau nggak, mana mungkin dia bisa mengerjakannya dengan begitu sempurna dalam waktu setengah jam? Untuk memikirkan konsepnya saja, setengah jam nggak akan cukup! Dia bukan cuma berhasil membuatnya, tapi juga punya konsep desain yang lengkap. Ini jelas sudah dipersiapkan dari jauh-jauh hari! Kak Adrian, kita nggak bisa membiarkan dia ada di perusahaan, kecuali..."
Kilatan penuh kemenangan melintas di mata Melati Fenanto. "Kecuali dia bisa membuat karya dadakan di tempat yang memuaskan Kak Adrian. Kalau nggak, dia nggak punya hak untuk bergabung dengan perusahaan!"
Melati Fenanto tahu bahwa argumennya tadi tidak cukup untuk meyakinkan Adrian Kusuma. Tapi, jika Sari Fenanto tidak mampu menciptakan karya yang memuaskan Adrian di tempat, itu akan membuktikan bahwa Sari memang tidak punya kemampuan, dan secara tidak langsung mengonfirmasi tuduhannya tadi.
Dengan begitu, ia tidak hanya bisa mengusir Sari Fenanto dari perusahaan, tetapi juga membuatnya menyinggung Adrian Kusuma. Karier Sari di dunia perhiasan mungkin akan tamat selamanya. Selama Sari Fenanto tidak bisa berada di sisi Adrian Kusuma, kebenaran tentang kejadian lima tahun lalu bisa ia tulis ulang sesuka hatinya.
Dan Adrian Kusuma, cepat atau lambat, akan menjadi miliknya.
Adrian Kusuma tidak sepenuhnya setuju dengan ucapan Melati Fenanto, tapi ada satu hal yang membuatnya tertarik. Ia juga ingin melihat apakah wanita itu bisa merancang sebuah mahakarya di bawah pengawasannya.
"Apa tes tadi cuma formalitas? Atau perusahaan Anda ini suka menjilat ludah sendiri dan meremehkan orang berbakat?" balas Sari Fenanto tanpa basa-basi.
Melati Fenanto mencibir dalam hati, tapi berpura-pura murah hati. "Karena Kakak nggak berani mendesain langsung di sini, itu artinya Kakak memang sudah mencuri materi tes sebelumnya. Lagipula, hal semacam ini bukan rahasia besar, kan? Cukup bayar sedikit, pasti ada saja orang yang mau membocorkannya. Kak, minta maaf saja. Aku dan Kak Adrian masih bisa memaafkanmu, kok."
Sari Fenanto tidak sudi berdebat kusir dengan Melati Fenanto. Ia justru membalikkan keadaan, melipat tangan di dada dan berkata, "Kalau aku berhasil mendesainnya dan membuktikan kalian telah memfitnahku, lalu bagaimana?"
Tubuh Melati Fenanto menegang.
"Ciptakan karya yang memuaskanku, dan aku akan melupakan semua yang terjadi hari ini," ucap Adrian Kusuma dengan datar.
"Kalau kamu nggak bisa..."
Ia berjalan mendekati Sari Fenanto, menatapnya dari atas dengan angkuh. "Kamu akan menanggung amarahku."
Saat Adrian mendekat, aroma segar yang samar menguar di hidung Sari Fenanto, membangkitkan kembali ingatan tentang malam lima tahun lalu. Melihat Sari tidak menjawab, Adrian yakin wanita itu merasa bersalah. Tes seperti ini saja tidak berani ia terima, sepertinya reputasinya hanya isapan jempol belaka.
"Melati, suruh asisten panggil polisi. Bilang ada yang melakukan penyerangan."
"Baik, Kak Adrian."
Melati Fenanto merasa menang. Sari tidak akan pernah menjadi lawannya.
Tepat saat ia hendak memanggil asisten, Sari Fenanto angkat bicara.
"Aku terima tantangannya. Tapi, aku sudah lulus satu tes. Menurut peraturan perusahaan, aku sudah memenuhi syarat untuk posisi ini. Kalau aku lulus tes kedua ini, apa yang akan aku dapatkan?"
Tujuan Sari Fenanto adalah bergabung dengan Galeri Permata Cemerlang. Ini adalah hasil jerih payah seumur hidup Ibunya, dan satu-satunya kenangan yang ditinggalkan untuknya. Apa pun yang terjadi, ia harus merebutnya kembali.
Tapi ia bukan domba yang pasrah untuk disembelih. Saat tiba waktunya untuk tawar-menawar, ia tidak akan pernah melewatkan kesempatan!
"Kalau kamu bisa menciptakan karya yang memuaskanku, gajimu akan kunaikkan lima puluh persen, dan kamu akan langsung diangkat menjadi bagian dari jajaran manajemen," Adrian Kusuma menawarkan imbalannya.
Sari Fenanto tersenyum. "Saya datang ke Galeri Permata Cemerlang bukan karena uang."
"Kenapa? Kamu merasa tawaranku kurang?"
"Pak Kusuma mau menghina saya dengan uang? Atau Anda pikir saya kekurangan uang?"
Di luar negeri, gaji tahunan Sari Fenanto mencapai miliaran rupiah. Jika bukan untuk balas dendam dan merebut kembali perusahaan yang didirikan dengan susah payah oleh Ibunya, ia tidak akan sudi kembali.
"Nona Fenanto, kalau Anda bisa menciptakan karya yang memuaskan saya, katakan saja apa yang Anda mau!" Adrian Kusuma memberikan tawaran terakhirnya.
"Saya sudah difitnah oleh Anda dan wanita Anda. Saya mau Anda meminta maaf kepada saya. Sedangkan dia," Sari menunjuk Melati, "mengingat dia adalah anak haram ayahku, suruh dia berlutut minta maaf, dan aku akan memaafkannya."
Tatapan Adrian Kusuma menajam. Ia tidak pernah mengakui Melati Fenanto sebagai wanitanya. Hanya saja, lima tahun lalu, ia merasa berutang pada Melati, karena itulah ia membiarkannya tetap di sisinya.
Untuk Melati, Adrian bisa memenuhi semua kebutuhan materinya, tapi tidak bisa memberinya cinta.
Karena kesalahan yang ia buat lima tahun lalu, sudah sewajarnya ia melindungi Melati. Ia punya kuasa untuk melakukannya.
Dan permintaan Sari Fenanto, bisa dibilang telah menyentuh batas kesabarannya.
Tepat saat ia hendak bicara, Melati Fenanto mendahuluinya.
"Oke! Kalau kamu nggak bisa membuat karya yang memuaskan Kak Adrian, kamu harus berlutut dan merangkak keluar dari Galeri Permata Cemerlang seperti anjing!"
Melati Fenanto mengubah sikap tenangnya yang biasa, kata-katanya menjadi tajam dan agresif.
Ia yakin, seberapa pun sempurnanya desain Sari nanti, Adrian pasti akan mencari-cari kesalahan demi membelanya.
"Boleh."
Sari Fenanto tidak banyak bicara lagi. Ia mengeluarkan laptopnya dan mulai mendesain.
"Kamu nggak akan menuduhku curang lagi dengan alasan laptop ini milikku, kan?" Sari Fenanto menatap Melati Fenanto.
"Aku akan mengawasimu dari awal sampai akhir. Mulailah," sahut Adrian Kusuma.
"Bagus, itu yang aku mau."
Sari Fenanto mulai mendesain.
Seiring Sari mendesain, kening Adrian Kusuma perlahan berkerut. Ia menatap layar laptop Sari dengan saksama dan penuh konsentrasi.
Masih sama, setengah jam. Desain selesai.
Adrian Kusuma menatap gambar desain itu, memeriksanya dengan teliti.
"Karya ini punya nuansa Mesir yang sangat kental."
"Benar, inspirasinya memang dari Mesir," Sari Fenanto tersenyum tipis penuh arti. Pertunjukan sesungguhnya baru saja dimulai.
"Karya ini bagus, aku nggak bisa menemukan kekurangannya. Apa namanya?"
Tentu saja Adrian bisa dengan sengaja mengkritik desainnya, tapi itu tidak sesuai dengan didikan elite dan status bangsawannya. Ia tidak akan melakukan hal serendah itu. Lagi pula, jika wanita ini memang punya bakat, ia seharusnya senang. Ia mengundangnya ke sini justru untuk menyelamatkan Galeri Permata Cemerlang yang sedang di ujung tanduk.
"Konsep kreatif karya ini sangat berhubungan dengannya, bahkan bisa dibilang sangat cocok," kata Sari Fenanto sambil menunjuk Melati Fenanto.
Tadi Melati mendengar Adrian Kusuma berkata bahwa karya ini sempurna dan tanpa cela. Hatinya mencelos. Apa ia benar-benar harus berlutut memohon ampun? Tapi saat ia mendengar bahwa karya ini terinspirasi dari dirinya, ia langsung bingung.
Hubungannya dengan Sari Fenanto seperti air dan api, tapi wanita itu malah menjadikannya inspirasi untuk menciptakan karya sesempurna ini?
Apa artinya ini?
Artinya Sari sedang melunak! Kalau mau masuk Galeri Permata Cemerlang, bukankah tetap harus mendapat persetujuannya?
Setelah menyadari hal itu, Melati Fenanto berjalan ke sisi Adrian Kusuma, mengamati karya itu dengan saksama.
"Memang bagus."
"Karena Kakak bersedia mengalah, aku juga nggak mau memperpanjang masalah. Kamu minta maaf saja padaku, asal tulus, aku akan memaafkanmu dan mengizinkanmu bergabung dengan Galeri Permata Cemerlang," Melati hanya asal bicara. Begitu Sari meminta maaf, ia akan tetap mencari cara untuk mengusirnya.
Sari Fenanto menatap Melati tanpa menjawab, lalu berkata pada dirinya sendiri, "Nama karya ini adalah 'Cleopatra VII'."
Mendengar nama itu, kening Adrian Kusuma berkerut. Ia sudah mengerti maksudnya.
"Nama yang aneh begitu, apa hubungannya denganku? Kak, kamu nggak sedang mempermainkan Kak Adrian, kan? Galeri Permata Cemerlang nggak menerima pembohong," cibir Melati sambil terus mengagumi desain itu, tak lupa menghina Sari Fenanto.
"Tentu saja ada hubungannya denganmu!"
"Cleopatra VII ini adalah seorang Ratu Cantik dari Mesir, wajahnya luar biasa rupawan."
Mendengar itu, mata Melati Fenanto berbinar! Apa lagi yang lebih menyenangkan daripada mendengar musuhmu tunduk dan memujimu?
Namun, tak lama kemudian, senyumnya lenyap.
"Ratu Cantik ini pertama-tama merayu Caesar. Setelah Caesar meninggal, dia bahkan merayu menantu Caesar. Benar-benar seorang jalang!"
"Karya ini punya nama lain," lanjut Sari. "Namanya: Pelakor! Sangat cocok denganmu."
