Bab [5]: Ratapan Dimas Fenanto

Sementara itu, di rumah, ketiga anak kecil itu sedang bersorak-sorai menonton sebuah video.

Dimas Fenanto mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sambil berseru, "Ibu hebat, berhasil membalas mereka!"

"Ibu memang jagoan!" Kak Rina Fenanto mengepalkan tangannya dan menari-nari kegirangan.

Video itu menampilkan adegan saat Sari Fenanto mempermalukan Melati Fenanto.

Sari Fenanto pasti tidak akan pernah menyangka bahwa putra kesayangannya sendiri telah diam-diam memasang kamera lubang jarum di tubuhnya.

Arya Fenanto sebenarnya hanya khawatir Ibunya akan diganggu di hari pertama kerja. Tak disangka, firasatnya menjadi kenyataan. Benar-benar ada perempuan jahat yang mengganggu Ibunya!

"Pria ini... dia membantu perempuan jahat itu menindas Ibu, dia itu kaki tangannya! Aku tidak akan melepaskannya!" Arya Fenanto mengepalkan tangan mungilnya dengan erat.

"Laki-laki ini... kenapa wajahnya mirip sekali dengan Dimas, ya?"

Rina Fenanto sangat terkejut, matanya terpaku pada video itu untuk waktu yang lama.

Arya Fenanto membandingkan wajah Adrian Kusuma di video dengan wajah Dimas Fenanto secara saksama. Keningnya berkerut, pikirannya mulai bekerja.

Ibu tidak pernah cerita apa pun tentang Ayah. Jangan-jangan, pria ini...

Mungkinkah ada suatu hubungan?

Aku harus menyelidikinya.

Begitu pikiran itu terlintas, Arya Fenanto segera mengeluarkan ponselnya dan mencari informasi tentang Adrian Kusuma di internet.

Berita teratas yang muncul adalah berita populer baru-baru ini:

KECELAKAAN KERJA DI PERUSAHAAN CERIA BARU MILIK RME GROUP. Pada tanggal 20 September, terjadi insiden kecelakaan kerja yang menimpa seorang buruh. Diduga, insiden ini disebabkan oleh penggunaan pipa baja berkualitas rendah oleh RME yang mengakibatkan keruntuhan fondasi. Kecelakaan ini menyebabkan seorang pekerja mengalami cedera tulang belakang dan pendarahan hebat di kepala. Saat ini, korban masih koma di rumah sakit. Kami akan mewawancarai CEO RME Group di lokasi kejadian...

"Orang yang mirip banget sama Adik ini masuk TV! Kak, menurutmu dia mungkin Ayah kita, nggak?" tanya Rina Fenanto ragu.

"Ayah kita pasti sangat mencintai Ibu, nggak mungkin dia orangnya."

Arya Fenanto mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak sesederhana itu.

"Kita perlu selidiki orang ini. Dimas, kamu ikut aku ke Ceria Baru yang disebut di berita. Kita lihat apa bisa menemukan petunjuk. Rina, kamu di rumah jaga-jaga untuk kita berdua. Kalau Ibu pulang, langsung kabari kami, ya."

"Siap, Kak! Laksanakan!"

Setelah mengatur semuanya, Arya Fenanto berangkat bersama adiknya, Dimas Fenanto.


Di waktu yang bersamaan, di dalam kantor Adrian Kusuma.

Mendengar konsep desainnya dihina, emosi Melati Fenanto langsung meledak. Tanpa memedulikan citranya lagi, ia hendak menerjang Sari.

"Sari Fenanto! Dasar jalang, beraninya kamu menghinaku!"

Namun, sebelum Melati Fenanto berhasil menerkam, Adrian Kusuma sudah lebih dulu menahannya. Ia memerintahkan asistennya untuk menyeret Melati Fenanto keluar.

Kemudian, ia menatap Sari Fenanto. "Saya bisa berikan Anda gaji dua kali lipat, dan Anda bebas memilih posisi manajerial mana pun. Anggap saja masalah ini selesai."

"Wah, Pak Kusuma memang pandai, ya. Tahu sudah pasti kalah, jadi panggil orang untuk menyeret Melati Fenanto pergi duluan. Dengan begitu, dia tidak perlu berlutut minta maaf pada saya, kan?" cibir Sari Fenanto tanpa ampun.

Wajah Adrian Kusuma sedikit menegang. Sejak awal ia memang tidak berniat menyetujui taruhan itu. Kalau saja bukan karena Melati Fenanto yang gegabah menyanggupinya, semua ini tidak akan terjadi. Dia sama sekali tidak memikirkan konsekuensinya, dan sekarang harus menanggung akibatnya sendiri.

Ia terpaksa mengambil jalan ini.

"Saya bisa memberikan kompensasi dalam bentuk lain," ujar Adrian Kusuma, mencoba berkompromi.

"Saya hanya mau Melati Fenanto berlutut di hadapan saya dan meminta maaf!" balas Sari Fenanto dengan tegas.

"Kalau Nona Fenanto masih bersikap seperti ini, saya tidak keberatan membuat nama Stella Jewel lenyap selamanya dari dunia perhiasan."

Wajah Sari Fenanto menjadi dingin, tatapannya menusuk tajam ke arah Adrian Kusuma.

"Anda mengancam saya?"

Hal yang paling ia benci seumur hidupnya adalah diancam.

"Anda boleh menganggapnya begitu. Saya punya kekuatan untuk melakukannya. Anda hanya perlu menjawab, kompromi atau tidak?"

"Pak Kusuma, darurat!"

Rudi Lesmana mendobrak pintu kantor Adrian Kusuma, napasnya terengah-engah menatap dua orang yang sedang bersitegang itu.

Adrian Kusuma mengerutkan kening. "Ada apa?"

Kalau saja asisten ini bukan orang yang ditempatkan oleh Kakek, dengan tindakan ceroboh seperti ini, ia pasti sudah mengusirnya dari perusahaan saat itu juga.

Melihat ada orang luar di samping Adrian Kusuma, Rudi Lesmana segera menutup mulutnya dan bergegas mendekat.

"Pak Kusuma, barusan penanggung jawab Ceria Baru menelepon saya. Katanya, pembuat onar itu datang lagi," lapor Rudi Lesmana. Ia berhenti sejenak untuk mengambil napas, baru akan melanjutkan ketika Adrian Kusuma memotongnya.

"Masalah sepele seperti itu tidak perlu..."

Belum selesai Adrian Kusuma bicara, Rudi Lesmana menariknya mundur dua langkah dan berbisik, "Pak Kusuma, kali ini berbeda! Dia menyandera seorang anak yang kebetulan sedang melamar kerja di Ceria Baru, dan dia minta bertemu dengan Bapak!"

Situasinya genting. Adrian Kusuma tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain.

"Bawa saya ke sana."

Keduanya bergegas pergi. Sambil berlari, Adrian Kusuma berkata pada Sari Fenanto, "Urusan Anda kita bicarakan nanti."

Sari Fenanto menatap kepergian mereka dengan heran.


Di dalam mobil Mercedes-AMG S 63.

Adrian Kusuma melihat rekaman langsung dari lokasi kejadian dan mendesak dengan cemas.

"Sopir! Lebih cepat lagi!"


Di lokasi Divisi Fotografi Anak Ceria Baru.

Saat Adrian Kusuma tiba, ia melihat seorang pria paruh baya sedang mendekap seorang anak kecil yang tak henti-hentinya menangis. Anak itu terus berteriak, "Kakak! Tolong!"

Pria itu menodongkan pisau ke leher si anak, ujung pisaunya bahkan sudah sedikit menggores kulit hingga mengeluarkan darah.

"Kalian semua bajingan tidak punya hati! Anak saya sudah kerja setengah tahun di sini, tapi satu sen pun tidak dibayar. Sekarang dia jatuh dari ketinggian dan terbaring di rumah sakit antara hidup dan mati, butuh uang segera untuk berobat, tapi kalian terus-terusan mengabaikan saya! Kalau hari ini saya tidak bertemu bos kalian, saya akan habisi anak ini!"

"Kakak, tolong aku, aku takut..."

Dimas Fenanto merentangkan tangannya, terus memanggil Arya Fenanto.

Arya Fenanto ingin maju untuk menyelamatkan adiknya, tetapi beberapa orang dewasa menahannya.

"Minggir, saya mau selamatkan adik saya!"

Melihat situasi yang genting, Adrian Kusuma segera berseru, "Saya bos di sini! Kalau ada masalah, bicarakan dengan saya. Anak itu tidak bersalah, lepaskan dia!"

"Anakku kerja di tempatmu setengah tahun, sepeser pun nggak dibayar! Sekarang dia sekarat di rumah sakit, aku datang tiap hari tapi orang-orangmu nggak peduli! Hari ini aku sandera anakmu, kita sama-sama seorang Ayah! Kalau hari ini kamu nggak kasih aku penjelasan, aku akan bunuh anakmu! Biar kamu juga merasakan sakitnya kehilangan anak!"

Pria paruh baya itu sekilas melihat kemiripan luar biasa di antara keduanya. Ditambah lagi, sikap dingin perusahaan yang tiba-tiba berubah menjadi sangat peduli, membuatnya semakin yakin bahwa sandera di tangannya adalah putra dari bos Ceria Baru.

"Dia bukan anak saya! Ini tidak ada hubungannya dengan dia. Apa pun permintaanmu, katakan saja pada saya!" Adrian Kusuma berusaha keras menjelaskan pada si penyandera.

Ia hanya pernah sekali berhubungan intim lima tahun lalu, itu pun dengan Melati Fenanto. Dan setahunya, Melati tidak hamil. Anak ini pasti hanya kebetulan mirip dengannya.

"Heh, Nak, lihat! Ayahmu tidak menginginkanmu! Dia bahkan tidak mau mengakuimu! Ayo, panggil! Panggil ayahmu untuk menyelamatkanmu," hardik pria itu pada Dimas Fenanto.

"Huhu... dia bukan Ayahku. Kak, aku takut!"

"Masih pura-pura? Kalau kamu tidak mau memanggilnya, aku akan sayat wajahmu pelan-pelan dengan pisau ini!"

Bagi Dimas Fenanto, wajah beringas pria itu tampak seperti iblis pemakan manusia. Rasa takut membuatnya menangis semakin histeris.

"Anak bodoh, nggak mau manggil, ya?" bentak pria itu sambil menampar pantat Dimas. "Panggil nggak? Kalau nggak, aku benar-benar bertindak!"

Bagaimanapun, Dimas hanyalah seorang anak berusia lima tahun. Ia sangat ketakutan dan berteriak meminta tolong sekuat tenaga.

"Ayah, tolong aku! Huhu! Aku takut! Ayah, aku takut sekali!"

Mendengar Dimas memanggilnya "Ayah", Adrian Kusuma tiba-tiba merasa tersentuh. Panggilan itu seolah membangunkan sebuah emosi yang terpendam jauh di dalam hatinya. Perasaan kompleks—sakit dan khawatir—membanjiri dirinya.

"Jangan takut, Nak. Ayah di sini," sebuah rasa tanggung jawab yang tak tertahankan untuk melindungi anak kecil tak berdosa ini muncul di hati Adrian Kusuma.

"Akhirnya ngaku juga dia anakmu! Dasar Ayah nggak becus!" hardik si penyandera dengan kejam.

"Kalau ada masalah, lampiaskan pada saya! Anak itu tidak bersalah! Apa yang kamu mau, saya akan berikan!"

Panggilan "Ayah" itu masih terngiang di telinganya. Saat ini, Adrian Kusuma hanya ingin melindungi bocah malang itu.

"Anak saya celaka karena kerja di sini, dia sudah mau mati! Kalian bahkan nggak mau kasih uang berobat sepeser pun? Kalian benar-benar kejam!" Pria itu menjadi sangat emosional dan bicaranya tidak karuan. Ia benar-benar terdesak hingga nekat melakukan hal ini.

"Semua biaya pengobatan anakmu akan saya tanggung! Gajinya juga akan saya bayarkan penuh, tidak kurang sepeser pun! Asalkan kamu tidak menyakiti anak saya," kata Adrian Kusuma cepat, tahu bahwa ia tidak boleh memprovokasi pria itu lebih jauh.

"Kamu seorang Ayah, saya juga seorang Ayah! Saya tidak sekaya kamu, jadi cuma ini cara yang bisa saya lakukan untuk menyelamatkan anak saya. Saya mau lihat uang tunainya sekarang juga!" Pria itu mulai terisak saat berbicara.

Adrian Kusuma berteriak, "Uang! Bawa uangnya ke sini!"

Rudi Lesmana menyerahkan sebuah koper kulit hitam dari samping. Saat dibuka, koper itu penuh dengan tumpukan uang seratus ribuan.

"Ini dua miliar. Kalau ada masalah lain, katakan saja, saya akan selesaikan. Jangan sakiti anak itu!"

Melihat uang itu, si pria akhirnya melepaskan Dimas Fenanto. Ia jatuh berlutut, pisaunya terlepas dari genggaman, dan ia pun menangis dalam diam.

Adrian Kusuma segera maju dan memeluk Dimas, menenangkannya dengan lembut, "Ssst... jangan nangis, jangan nangis. Ayah di sini."

Tadi, melihat Dimas menangis, hatinya terasa seperti ditusuk jarum. Sekarang, memeluk anak itu membuatnya merasakan kehangatan yang aneh. Adrian Kusuma butuh waktu sepuluh menit penuh untuk menenangkan Dimas.

Saat menangis tadi, Dimas tanpa sengaja beberapa kali menjambak rambut Adrian Kusuma. Beberapa helai rambut masih tergenggam di tangannya, dan beberapa lainnya jatuh ke lantai. Arya Fenanto mendekat dan diam-diam memasukkan helai-helai rambut itu ke dalam sakunya.

Rudi Lesmana kemudian mendekat dan bertanya, "Pak Kusuma, bagaimana dengan penyandera ini? Apa kita lapor polisi?"

Adrian Kusuma ragu sejenak, lalu melambaikan tangannya. "Tidak perlu. Biarkan dia pergi menyelamatkan anaknya. Oh ya, bukankah gaji karyawan ditransfer tepat waktu setiap bulan? Kenapa bisa terjadi hal seperti ini?"

Rudi Lesmana tampak ragu. "Itu..."

Adrian Kusuma menyela, "Pasti ada yang tidak beres. Selidiki sampai tuntas."

"Satu lagi, selidiki juga tentang Stella Jewel."

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya