Bab [6]: Ibu yang Jahat, Kek yang Sedih

Malam itu, di kediaman keluarga Fenanto.

Setelah makan malam, Darma Fenanto masuk ke ruang kerjanya, menyisakan Luna Lianto dan putrinya berdua di ruang keluarga.

“Sayang, dari tadi Ibu perhatikan kamu makan nggak fokus. Apa urusanmu dengan Adrian masih belum ada kemajuan?”

Mendengar ibunya, Luna Lianto, bertanya lebih dulu, Melati Fenanto pun langsung membuka suara. Ia menceritakan semua kejadian beberapa hari terakhir.

“Apa? Desainer luar negeri yang kalian rekrut dengan bayaran mahal itu Stella Jewel?” Wajah Luna Lianto seketika berubah pias saat mendengar cerita lengkap dari putrinya.

Perempuan jalang itu, setelah kejadian lima tahun lalu, masih berani kembali ke negara ini? Masih berani muncul di hadapan mereka? Dan sialnya, dia adalah Stella Jewel! Orang penting yang direkrut Adrian Kusuma dari luar negeri untuk menyelamatkan perusahaan putrinya.

Gara-gara insiden dengan si Dani Gunawan waktu itu, rencana mereka jadi berantakan total. Kalau sampai Sari Fenanto, si jalang itu, tahu kebenaran di balik kejadian lima tahun lalu, apa masih ada tempat untuk Melati Fenanto?

Bukan hanya perusahaan yang akan berpindah tangan, mereka berdua, ibu dan anak, mungkin juga akan ditendang keluar dari keluarga Fenanto.

Memikirkan itu, Luna Lianto mulai merasa panik.

“Melati, menurutmu bagaimana sikap Adrian?” Luna Lianto sangat mengenal Adrian Kusuma. Tanpa persetujuannya, mustahil Sari Fenanto bisa masuk ke perusahaan.

“Bu, Kak Adrian sangat menghargai kemampuannya. Menurutku…”

Luna Lianto langsung mengerti. Sepertinya, selama Sari Fenanto tidak melakukan sesuatu yang benar-benar membuat Adrian muak, akan sangat sulit untuk membuatnya dipecat.

Namun, tak lama kemudian, sebuah gagasan muncul di benaknya.

Ada beberapa hal yang tidak bisa dihindari hanya dengan mendorongnya menjauh.

Kalaupun kali ini mereka berhasil mengusir Sari Fenanto, mereka tidak punya kuasa untuk mencegahnya kembali ke negara ini selamanya. Selama Sari masih di sini, hidupnya dan Melati tidak akan pernah tenang.

Tapi, membiarkannya bergabung dengan Galeri Permata Cemerlang juga penuh dengan risiko.

Tentu saja, jika dipikir-pikir lagi, ada sisi baiknya juga.

Setidaknya, Sari akan berada di bawah pengawasan mereka. Gerak-geriknya bisa langsung diketahui dan diintervensi.

Karena Sari Fenanto direkrut oleh Adrian untuk menyelamatkan Galeri Permata Cemerlang, maka jika di bawah kepemimpinannya perusahaan tidak menunjukkan kemajuan dan tetap stagnan seperti sekarang, Adrian sendiri yang akan membereskannya tanpa perlu mereka melakukan apa-apa!

Digaji miliaran rupiah setahun tapi tidak membawa hasil apa-apa, Sari pasti tidak akan berakhir baik.

Begitu Sari membuat Adrian kecewa, ditambah sedikit hasutan dari Melati, dia akan merasakan murka Adrian. Jangankan perusahaan, mungkin dia tidak akan bisa kembali ke negara ini lagi.

Dan jika Sari Fenanto benar-benar mampu menyelamatkan Galeri Permata Cemerlang, itu juga tidak masalah. Bukankah itu hasil yang mereka inginkan?

Pada akhirnya, buah kesuksesan perusahaan akan jatuh ke tangan mereka.

Tinggal mencari cara untuk menyingkirkannya nanti.

Dengan pemikiran itu, Luna Lianto sudah memiliki rencana. “Sayang, dengarkan Ibu. Kehadiran si jalang Sari itu, entah dia bertahan atau tidak, sebenarnya lebih banyak untungnya bagi kita. Kalau dia tetap di sana, kita bisa menempatkan mata-mata di dekatnya, memantau setiap gerakannya. Lagipula, kalau dia benar-benar bisa menyelamatkan perusahaan, kita tinggal menikmati hasilnya. Tapi kalau dia gagal, digaji setinggi itu tanpa hasil, menurutmu Adrian akan membiarkannya begitu saja?”

Melati Fenanto mendengarkan penjelasan ibunya yang sangat masuk akal. Keraguannya perlahan sirna.

Setelah terdiam sejenak, ia berkata dengan nada manja.

“Bu! Aku takut dia merebut Kak Adrian dariku.”

Luna Lianto tidak bisa menahan tawa. “Anakku sayang, kamu masih belum mengerti juga?”

Melati menatap ibunya dengan bingung.

“Galeri Permata Cemerlang sudah seperti air tergenang, mati dari dalam. Kalau Sari mau menyelamatkan perusahaan, dia pasti harus melakukan perombakan besar-besaran. Akan banyak sekali yang harus dia kerjakan dan banyak orang yang akan dia singgung. Nah, kamu manfaatkan kesempatan itu untuk menjatuhkan namanya. Tidak perlu sampai mengusirnya, cukup buat Adrian merasa muak padanya. Dengan begitu, meskipun dia masih di perusahaan, Adrian tidak akan tertarik padanya. Masalahmu selesai, kan?”

Semakin didengar, Melati merasa penjelasan ibunya semakin masuk akal. Masalah yang selama ini mengganggunya akhirnya menemukan jalan keluar.

Melati langsung memeluk Luna Lianto.

“Ibu hebat banget! Aku sayang banget sama Ibu.”

“Dasar kamu ini,” kata Luna Lianto sambil mengelus kepala putrinya dengan penuh kasih. “Oh ya, bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Adrian?”

Membicarakan hal itu, wajah Melati langsung muram. Ia menggeleng, menandakan tidak ada kemajuan sama sekali.

“Bu, kasih aku ide, dong.”

“Anakku sayang, laki-laki mengejar perempuan itu bagai mendaki gunung, tapi perempuan mengejar laki-laki itu hanya selapis kabut. Apalagi, laki-laki yang sudah di ranjang itu gampang sekali dibujuk. Cepat ambil tindakan, buat dia jadi milikmu seutuhnya.”

“Tapi, Kak Adrian kelihatannya nggak tertarik sama tubuhku, Bu. Dia nggak pernah menyentuhku.”

“Kalau dia tidak menyentuhmu, ya kamu yang sentuh dia. Biasanya dia bisa menahan diri, tapi kalau kamu sudah membangkitkan hasratnya, apa dia masih bisa menahannya?”

Mendengar saran ibunya yang berani, pipi Melati memerah. Ia berkata dengan malu-malu, “Tapi kalau nanti ketahuan sama Kak Adrian, gimana?”

“Ketahuan memangnya kenapa? Kamu mencintainya, wajar dong kalau kamu ingin memilikinya. Lagipula, lima tahun yang lalu kan dia yang lepas kendali setelah mabuk. Apa salahnya lepas kendali sekali lagi sekarang?”

Melati mengangguk patuh. Sebuah rencana licik mulai terbentuk di benaknya.


Kediaman Keluarga Kusuma

Adrian Kusuma berdiri diam di depan pintu kamar kakeknya.

Ia mengetuk pintu. Setelah mendengar suara berat mempersilakan, “Masuk,” ia pun mendorong pintu dan melangkah masuk.

Di dalam ruangan, seorang pria berambut putih berdiri tegap di depan sebuah foto. Seragam militer yang dikenakannya, yang telah ditempa oleh waktu, tampak menyatu sempurna dengan tubuhnya. Kainnya sudah sedikit memudar karena usia, namun masih memancarkan aura ketangguhan yang tak tergoyahkan.

Mendengar suara langkah, pria itu perlahan berbalik dan menatap Adrian Kusuma. Tatapan tenangnya membawa sekelumit kesedihan. Lencana-lencana yang tergantung di seragamnya seolah tanpa suara menceritakan kisah-kisah masa lalu yang mendebarkan, setiap lencana adalah saksi bisu sejarah yang sarat dengan kehormatan dan perjuangan.

“Kakek.”

“Kudengar Sari sudah kembali ke Indonesia?”

Adrian Kusuma mengangguk.

“Kemarilah. Lihat orang di foto ini.”

Adrian tahu, orang di dalam foto itu adalah kakek Sari Fenanto, Santoso Fenanto. Beliau adalah kawan seperjuangan kakeknya.

Adrian merapikan penampilannya, lalu berdiri di samping Anton Kusuma, menatap foto itu.

Postur tubuhnya yang jangkung membuatnya lebih tinggi satu kepala dari kakeknya, namun wibawa yang terpancar dari sang kakek membuatnya tanpa sadar merasa sedikit tertekan.

“Keluarga Santoso itu keluarga baik-baik, latar belakangnya bersih. Sari itu anak yang Kakek lihat tumbuh dewasa. Kakek tidak percaya dia akan melakukan hal seperti itu.”

“Tapi kenyataannya sudah terjadi,” sahut Adrian Kusuma dengan nada datar.

Lima tahun lalu, kedua kakek inilah yang mati-matian menjodohkan mereka. Ia sendiri sudah tidak tertarik pada Sari Fenanto, apalagi setelah insiden memalukan itu terjadi.

“Sudah terjadi? Kamu lihat dengan mata kepalamu sendiri?” Suara Anton Kusuma terdengar sedikit lebih tegas. “Jangan bicara seenaknya tentang hal yang tidak ada buktinya. Kamu bisa mudah dimanfaatkan orang lain.”

Anton Kusuma menasihati Adrian dengan nada seorang yang sudah banyak makan asam garam kehidupan. “Sari itu anak yang baik. Dia calon cucu menantu yang Kakek pilihkan untukmu sejak kamu kecil. Dia cucu Santoso, tidak mungkin salah. Kakek paling tahu watak Santoso itu seperti apa!”

“Kek, karakter Kakek Fenanto tidak bisa mewakili cucunya,” sanggah Adrian. Biasanya ia akan menuruti perkataan kakeknya, tapi kali ini ia menangkap nada yang berbeda dari ucapan beliau dan buru-buru mencoba menghentikannya.

Tapi sudah terlambat.

Lebih tepatnya, Anton Kusuma sama sekali tidak peduli dengan pendapat Adrian. Ia melanjutkan ucapannya sendiri, “Adrian, Sari itu anak yang baik. Kakek beri kamu waktu satu bulan untuk mendapatkannya kembali.”

Adrian Kusuma menggeleng, menolak. Itu hal yang mustahil. Ia tidak menyukai perempuan itu, bahkan setelah bertemu beberapa kali baru-baru ini, kesan yang ditinggalkannya sangat buruk.

Belum lagi skandal cabul yang tersebar tentangnya dulu. Adrian tidak punya niat untuk mencari tahu seluk-beluknya.

Anton Kusuma menghela napas. Ia menatap foto terakhirnya bersama Santoso Fenanto, lalu menepuk pundak Adrian.

“Kakek sudah tua. Kakek ingin melihatmu menikah dan punya anak selagi Kakek masih hidup. Kalau bisa, Kakek juga ingin menimang cicit.”

“Kek, aku…”

Adrian bukannya tidak mengerti maksud kakeknya. Ia ingin membantah, ada seribu kata yang ingin ia ucapkan, tetapi melihat sorot mata kakeknya yang sendu, hatinya akhirnya luluh.

“Kek, aku bisa memberinya masa percobaan…”

“Benarkah?”

Mata Anton Kusuma langsung berbinar.

“Tapi aku tegaskan dari awal, maksimal satu bulan. Kalau kami berdua memang tidak ada perasaan, Kakek tidak boleh memaksaku lagi.”

“Baik! Kakek yakin Sari pasti bisa membuatmu berubah pikiran!”

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya