Bab 1

"Saya terima nikah dan kawinnya Shakila Atmarini binti ...."

Ucapan akad tersebut kembali terngiang di telinga Delvin. Kejadian tadi berlangsung sekitar tiga puluh menit yang lalu di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta.

Karena keadaan darurat, Delvin terpaksa melangsungkan pernikahan di tempat yang tak semestinya. Laki-laki yang seharusnya bangga dan bahagia akan kalimat sakral tersebut nyatanya sama sekali tidak dirasakan Delvin. Pria berpipi tirus itu kini tengah merenungkan nasib nahasnya. Sebab, wanita yang benar-benar akan dinikahinya menghilang bak ditelan bumi. Mungkin, lebih tepatnya menghilang ibarat tuyul yang usai mencuri uang sang pemilik.

Delvin, dengan terpaksa, harus menuruti keinginan aneh dari sang mama yang memintanya untuk segera memiliki gandengan detik itu juga. Padahal, pria tersebut hendak menunggu Tunisia sampai wanita yang dicintainya itu datang ke acara ijab kabul mereka.

Akan tetapi, hingga detik-detik acara sakral tersebut tiba, Tunisia tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Nomor ponselnya sulit untuk dihubungi. Begitu juga dengan apartemen miliknya, sama-sama mendadak tak berpenghuni.

Hingga, Delvin mau tidak mau menikahi Shakila demi mewujudkan cita-cita Nyonya Devandra. Karena, wanita tak berdaya itu berdalih jika umurnya mungkin bisa saja tak akan lama lagi. Menurutnya, Shakila adalah calon menantu yang tepat, wanita yang bisa dibilang cukup untuk memenuhi kriteria Delvin meski di bawah standar Tunisia. Namun, entah kenapa, Delvin tidak rela dan menganggap pernikahan ini salah. Benar-benar salah.

Delvin menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi panjang rumah sakit, tepat di depan kamar perawatan sang mama. Pria tersebut memilih untuk meninggalkan sejenak ruangan yang membuatnya terasa menyesakkan itu.

Terdengar suara langkah kaki wanita yang sepertinya akan mendekat ke arah Delvin berada. Namun, matanya yang terpejam seolah enggan untuk terbuka. Kursi tunggu rumah sakit yang sedikit bergoyang menandakan ada orang lain yang duduk tepat di sampingnya.

"Pak Delvin, ini aku belikan kopi," sahut seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah istrinya sekarang. Lebih tepatnya, istri yang tak dirindukan.

Delvin tahu, ini orang siapa. Wanita yang telah bekerja di perusahaannya sejak setahun yang lalu. Meski, dia tidak jelek-jelek amat. Tapi, hal yang paling membuatnya risi ketika Shakila menunjukkan rasa ketertarikannya. Terlalu absurd.

Padahal, Shakila bukanlah seorang petinggi di perusahaan. Hanya seorang sekretaris pribadi Delvin yang begitu akrab dengan seluruh rekan sejawatnya.

Seusai Delvin menerima uluran kopi dari tangan Shakila. Tiba-tiba, tercetus ide di benak wanita itu yang berniat ingin menggoda. "Cieee ... Bapak senang ya, bisa menikahi aku ...." Nah kan, seperti itulah Shakila. Melontarkan kalimatnya dengan begitu percaya diri.

Telinga Delvin pun seakan sakit kala mendengarnya. Rasa manis pada secangkir kopi langsung berubah menjadi teramat pahit di lidah Delvin kala suara cempreng Shakila menembus telinganya. Hingga, wajah cantik yang terbalut hijab tersebut terlumuri oleh hitamnya si kopi yang menyembur tanpa izin dari mulut Delvin.

Lirikan tajam sang suami, membuat Shakila tersenyum geli. Ia kemudian membersihkan lekukan wajahnya dengan beberapa lembar tisu yang ia keluarkan dari dalam tas selempangnya.

Tak ada gurat kemarahan yang terlukis dari raut muka Shakila. Mungkin, karena terbiasa, atau dirinya sudah kebal dengan perlakuan sang bos yang kelewat aneh.

Entah kenapa, wanita ini tak kenal lelah untuk mendapatkan cinta seorang Delvin. Padahal, ia tahu jika Delvin telah memiliki kekasih hati. Di samping hal itu, seseorang pasti memiliki alasan tersendiri tentang perjuangannya, bukan?

Dulu, wanita itu pernah berpesan, “Aku akan hadir di waktu yang tepat." Entah apa maksudnya, tapi sepertinya ramalannya benar. Seperti saat ini.

Tanpa permisi, Shakila merapatkan duduknya tepat berdampingan dengan Delvin yang hanya terhalang oleh tas berwarna putih yang menjadi sekat di antara keduanya. Delvin hanya membisu dengan kedua telapak tangan memegang cangkir kopi.

Dan sekali lagi, tanpa diminta mulut Shakila lantas mengoceh. "Aku bilang, juga apa, Pak. Nona Tunarungu itu—" Shakila membekap mulutnya seketika. "Ups! Maksudnya, Nona Tunisia itu bukanlah wanita baik-baik. Buktinya, dia tega meninggalkan Bapak dengan pak Penghulu yang tengah menunggu."

"Jangan sok pahlawan?!" Kedua kornea mata Delvin hampir saja lepas dari tempatnya. Saking melototnya dia.

"Lo, gue pastiin. Setelah Mama gue sembuh dari sakitnya, lo bakal terima pesangon lo sebagai istri gue. Dan, surat cerai akan segera gue urus. Dan, gue pastiin juga, meski lo tidur sekamar bareng gue. Gak akan gue sentuh lo meski barang secuil,” desisnya seolah mengancam.

Andai tahu saja, sebenarnya pernikahan ini terjadi akibat Mama Delvin terserang stroke. Berbicara pun terbata-bata. Dan yang ditakutkan mamanya Delvin ketika dirinya tak mampu lagi melihat anak semata wayangnya melangsungkan pernikahan. Ia takut akan menyusul papanya Delvin sebelum merasakan bagaimana senang hatinya saat menggendong cucu dari sang anak.

"Bapak mau ke mana?" Dengan sengaja, kedua tangan Shakila meraih lengan kiri milik Delvin yang dibalas dengan hunusan tajam dari pria berjas hitam itu.

"Lo, gak malu sama hijab lo?" sinisnya pada Shakila. "Pegang-pegang laki-laki yang bukan muhrimnya," ceramahnya panjang lebar. Sepertinya, Delvin lupa akan satu hal. Status dirinya dengan Shakila.

"Lah, Bapak kan udah sah jadi suami aku. Berarti kita muhrim, dong. Jadi, tidak ada dosa di antara kita." Dengan percaya diri tinggi Shakila melakukan hal gila itu.

Memang, Shakila itu orangnya ceplas-ceplos, semaunya, dan terkadang tak masuk di logika. Namun, dengan laki-laki ia selalu menjaga jarak. Tak pernah bersentuhan atau membaur tanpa aturan. Namun, hanya untuk kali ini saja. Apa ada yang keberatan?

Jujur saja, Shakila mengenal Delvin jauh sebelum itu. Jauh sebelum mereka bertemu saat ini. Dan jauh sebelum Delvin melanjutkan study-nya di Inggris. Mereka teman masa kecil yang terpisahkan karena Delvin harus ikut orang tuanya merantau ke Jakarta. Sebab itulah, mamanya Delvin tak memusingkan jika sang anak yang seorang direktur harus menikah dengan manusia bernama Shakila. Akan tetapi, Delvin sama sekali tak menyadari siapa Shakila sebenarnya.

Dan secara otomatis, hal itu juga yang mendasari kenapa Shakila begitu ngebetnya untuk bisa memiliki cinta monyetnya dulu. Ya, walaupun berbanding terbalik dengan Delvin.

Shakila yang menatap punggung Delvin mulai menjauhinya, ia lantas bertanya, “Bapak mau ke mana, sih? Biar aku ikut, ya, siapa tahu Bapak membutuhkan aku, kan ....” Shakila tersenyum polos sembari menyejajarkan langkahnya dengan Delvin.

Laki-laki itu melirik Shakila sinis. “Gue gak butuh lo!” tolaknya tegas. Pria itu menghentikan pijakan kakinya lalu menatap Shakila dengan tajam. “Lo itu hanya sebagai pengganggu dalam hidup gue. Keberadaan lo cuman sebatas benalu yang bisanya hanya merugikan gue!” tandas Delvin sambil berlalu pergi.

Mendengar penuturan Delvin, rasanya menurunkan semangat Shakila untuk terus mengejar atasannya itu. Ia membeku, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali duduk di tempat semula.

Beberapa menit terlewati, Shakila menghabiskan waktunya dengan melihat-lihat insta-story terbaru yang muncul di layar ponselnya.

Tak lama setelah itu, terdengar langkah kaki yang sepertinya mendekat ke arah Shakila. Wanita tersebut mengalihkan pandangannya ke arah pria yang kini sudah berdiri tegak di hadapannya.

“Eh, lo, dipanggil tuh sama Bos gue!” ujar Antara yang dikenal Shakila sebagai sopir pribadi Delvin.

Wanita itu celingukan seolah mencari-cari orang yang dimaksud Antara. Namun, hanya ada dirinya saja di sana. “Siapa? Gue?” tunjuknya pada diri sendiri.

Percayalah, Shakila itu berbicara sopan—khusus hanya untuk Delvin seorang. Termasuk panggilan ‘aku-kamu'. Sedangkan, pada orang lain, ya ... seperti yang kalian dengar barusan.

Antara mengernyit. “Emang, kelihatannya gue ngomong sama jin, apa?!” tanyanya diplomatis. Menatap Shakila yang hanya bergeming, Antara kembali mengingatkan, “Cepetan, Bos gue udah nunggu lo!” perintah lelaki beralis tebal itu.

Shakila segera beringsut dari tempatnya, ia membenarkan tasnya untuk dipakai kembali.

Sambil menyeret kakinya, wanita itu mengomel, “Katanya gak butuh, katanya gue hanya sebatas benalu. Eh, kenyataannya, Pak Delvin kangen juga sama gue!” celoteh Shakila di belakang Antara yang membuat lelaki di hadapannya seakan ingin muntah.

*Bersambung...

Selamat datang di ceritaku, semoga pada suka, ya:)

Bab Selanjutnya