Bab 10

Setelah membersihkan diri dan mengganti baju, Rani buru-buru naik ke atas ranjangnya yang nyaman, lalu membuka amplob yang tadi diberikan oleh Damian padanya.

Baru saja Rani membaca kalimat awalnya saja gadis itu sudah bisa memahami isinya. Surat itu berisi tentang perjanjian pra nikah. Tentang apa yang boleh dan tak boleh dia lakukan selama menjadi istri seorang Damian.

Dan apa saja yang akan dia dapatkan setelah menjadi istri Damian. Semua hal yang tidak pernah Rani bayangkan sebelumnya. Bahkan tertulis disana bahwa Rani boleh memiliki berapapun pelayan untuknya saat mereka sudah menikah nantinya.

Tentu saja semua rahasia ini hanya mereka berdua yang tau. Disitu Damian juga berjanji bahwa dia tidak akan bicara macam-macam pada Ayah Rani. Dan akan bersikap selayaknya seorang menantu pada umumnya.

Semua hal yang tertulis disitu tidak menjadi masalah bagi Rani, sehingga gadis itu dengan mudahnya menandatangi surat perjanjian itu.

Apa susahnya berpura-pura menjadi istri Damian. Toh dia tidak mencintainya, dan dengan menjadi istri seorang Damian, dia bisa menikmati kekayaan lelaki itu. Terdengar menarik, bukan?

Apalagi Damian tipe lelaki idaman yang diincar banyak wanita. Tampan, kaya raya, seksi dan menggoda. Hal itu akan menguntungkan bagi Rani. Apalagi kalau Edgar tau, lelaki itu pasti akan menyesal karna sudah menyia-nyiakan gadis baik dan setia seperti Rani.

Saat Rani selesai menandatangani surat perjanjian itu, ponselnya berdering. Rani sedikit terkejut saat melihat nama Damian disana, karna Rani sudah menggantinya tadi siang.

Rani hanya heran, bukannya mereka baru saja bertemu. Kenapa lagi Damian menelponnya?

"Halo?"

"Sudah kamu baca suratnya?"

"Sudah ku tanda tangani."

"Kenapa buru-buru? Sudah kamu baca baik-baik?"

"Sudah."

"Tidak ada yang terlewat?"

"Sama sekali tidak," sahut Rani yakin.

"Baiklah. Minggu ini aku akan berkunjung ke rumahmu. Aku akan bicara pada Ayahmu soal pernikahan kita," ucap Damian dengan suaranya yang tegas.

Sesaat Rani merasa kagum. Seharusnya Edgar yang bilang seperti itu padanya. Seandainya Edgar setegas Damian, pasti sekarang mereka berdua sudah menikah. Bahkan mungkin susah memiliki seorang anak.

Kenapa Rani justru mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Damian. Kenapa justru lelaki asing itu yang sepertinya sungguh-sungguh berniat menikahinya. Kalau seperti ini, Rani kan jadi baper.

"Bicaranya pelan-pelan saja. Aku takut Ayahku shock," ujar Rani.

"Kenapa?"

Rani diam sesaat. "Karna sebenarnya, aku baru saja putus dengan pacarku."

"Oh ya? Kapan?"

"Waktu aku pergi ke bar malam itu."

"Oh, really? Kenapa kamu nggak pernah cerita?"

"Karna kamu nggak pernah tanya. Dan hubungan kita nggak sedekat itu untuk aku bisa cerita masalah pribadiku."

Damian terdiam, hanya terdengar hembusan napasnya yang berat.

"Ya, kamu benar. Kita memang tidak sedekat itu," gumamnya seperti merasa kecewa.

"Kamu sendiri?"

"Hm? Aku kenapa?"

"Pernah punya pacar sebelum kejadian itu?" tanya Rani, dia hanya merasa penasaran karna pertanyaannya tadi belum terjawab oleh Damian.

"Nggak ada," jawab lelaki itu singkat.

"Kamu tipe lelaki yang suka one night stand?"

"No!" teriak Damian hampir membuat Rani terkejut. "Kenapa kamu mikir begitu?"

"Ya aneh aja kalau seorang lelaki yang modelnya seperti kamu nggak punya pacar. Jaman sekarang banyak lelaki nggak mau pacaran karna lebih suka dengan hubungan cinta satu malam. Simple dan nggak ribet," ujar Rani melantur.

"Analisa dari mana itu?"

"Itu bukan analisa, itu kenyataan."

"Tapi aku bukan tipe lelaki seperti itu asal kamu tau. I'm clean. Dan aku nggak suka hubungan cinta satu malam," protes Damian sedikit tersinggung dengan perkataan Rani.

"Lalu kenapa waktu itu kamu bawa aku ke hotel? Bukannya itu menjurus ke hubungan cinta satu malam?" cecar Rani.

"Itu karna aku nggak tau harus bawa kamu kemana. Dan aku nggak tega aja ninggalin kamu di bar sendirian," ujar Damian terdengar tulus.

Tanpa sadar gadis itu mengulum senyum. Tapi sebenarnya dia masih penasaran dengan apa yang mereka lakukan malam itu. Karna sampai sekarang Damian tak pernah bilang apapun, membuat Rani hanya bisa menebak-nebak sendirian.

"Makasih ya," kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Rani. Entah mengapa dia berterima kasih, mungkin karna ceritanya bisa saja berbeda kalau bukan Damian yang membawanya.

Bisa saja dia dibawa lelaki brengsek yang tidak bertanggung jawab lalu meninggalkan Rani begitu saja di pinggi jalan setelah mereka berbuat tak senonoh pada perempuan yang sedang mabuk seperti Rani waktu itu.

Setidaknya Damian mau bertanggung jawab. Bahkan lelaki itu mengajaknya menikah meskipun niatnya hanya untuk kepentingannya sendiri. Tapi pernikahan itu juga menguntungkan dari segi Rani.

Setidaknya Rani tak lagi di kejar-kejar Ayahnya soal pernikakahan. Bukankah itu menguntungkan? Sekalipun perjanjian itu tertulis jelas bahwa umur pernikahan mereka hanya akan bertahan selama satu tahun.

Setelah satu tahun berlalu, mereka akan berpisah. Sesuai dengan apa yang sudah tertulis dan di tanda tangani secara sadar oleh Rani.

"Kenapa baru sekarang kamu bilang trimakasih? Kemarin-kemarin kemana aja?" sahut Damian membuat Rani menyesal telah mengatakan hal itu.

"Kamu emang gini ya orangnya? Hobi bikin kesel orang?" ketus Rani, lalu samar-samar terdengar tawa di ujung sana. Jujur saja, Rani jarang mendengar atau melihat Damian tertawa.

Wajah lelaki itu datar hampir tanpa emosi. Sebelas dua belas dengan asisten pribadinya yang bernama Jeff itu. Mereka seperti pinang di belah dua. Sama-sama kaku dan datar.

"Biasanya aku nggak akan betah ngobrol dengan orang asing lebih dari sepuluh menit. Tapi sama kamu rasanya berbeda. Sepertinya kita bisa jadi teman yang baik," kata Damian setelah tawanya reda.

"Jadi kita mau nikah atau mau temenan nih? Yang jelas dong, biar aku nggak bingung," sahut Rani yang terdengar masih jengkel.

"Teman tapi menikah mungkin."

Rani menipiskan bibirnya. "Asal jangan ada sentuhan fisik. Aku nggak mau. Kita kan nikahnya pura-pura."

Damian tertawa lagi, tawanya terdengar mengejek.

"Maharani, kita memang membuat perjanjian pra nikah. Tapi asal kamu tau, pernikahan kita nanti tidak ada bedanya dengan pernikahan orang lain. Aku akan menikahimu secara sah menurut hukum dan agama. Nggak ada alasan buat kamu menolak sentuhan fisik."

Kening Rani seketika mengerut. "Jadi kamu mau kita bersikap selayaknya suami istri yang sesungguhnya?"

"Kenapa enggak? Memang begitu kan keadaannya."

"Tapi... Aku nggak mau melakukan hal itu dengan orang yang tidak kucintai. Aku ingin melakukannya dengan keadaan sadar tanpa paksaan."

"Nggak ada yang maksa kamu, Maharani... Aku nggak akan maksa kalau kamu belum siap. Tapi kamu juga harus tau, bahwa Mamiku sudah kepingin menimang cucu."

Kedua mata Rani membelalak kaget.

"Cucu? Oh, nggak mungkin. Kita hanya akan menikah selama satu tahun, Dam. Kenapa sekarang kamu malah bahas soal cucu? Aku nggak mau jadi janda beranak satu!"

Terdengar gelak tawa dari Damian yang membuat Rani semakin jengkel. Belum kelar urusan tentang pernikahan palsu mereka, sekarang ditambah lagi membahas soal Ibunya yang ingin menimang cucu.

Apa belum cukup lelaki itu membuat hidup Rani yang tenang berubah jungkir balik tak karuan?


Hai, readers. Baca juga yuk novel keduaku. Judulnya Married By Accident, nama penulis Sekarjagat ya. Di tunggu. Makasih.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya