Bab 2
"What the hell is this?!!" Henry melempar beberapa lembar foto ke meja di hadapan anaknya.
Laki-laki yang sudah mendekati umur enam puluhan itu tampak murka. Bagaimana tidak, anak sulung yang tak pernah mengecewakannya itu tiba-tiba terlibat skandal.
Ada seseorang yang sengaja mengirim beberapa lembar foto Damian yang sedang membawa seorang wanita dari sebuah bar menuju hotelnya dan memasukkannya ke salah satu suite room miliknya.
Henry hanya khawatir kalau foto itu sampai tersebar di media. Nama baiknya sebagai pemilik Rich Hotel and Resort akan tercemar.
Apalagi Damian belum menikah. Lelaki awal tiga puluhan itu tak pernah terlihat dekat dengan seorang wanita. Sempat diisukan gay oleh beberapa karyawannya sendiri dan juga media online yang tidak bertanggung jawab.
"Siapa perempuan itu?" tanya Henry lagi.
"Bukan siapa-siapa, Dad," jawab Damian tenang.
"Bullshit! Kalau bukan siapa-siapa, kenapa kamu bawa dia ke suite room? Apa kamu mau semua karyawan tau, kalau seorang Damian sering membawa perempuan asing masuk ke dalam hotelnya sendiri?!"
"It's first time, Dad. Aku nggak pernah bawa perempuan masuk hotel. This is an exception. Aku nggak tau lagi harus bawa dia kemana."
"Kamu kenal dia siapa?"
"No."
"Kamu tau, mungkin saja perempuan itu buka mulut di depan media tentang kelakuan kamu? Apa kamu masih belum sadar posisi kamu di hotel ini, Damian Richard?"
"Nggak mungkin. Dia nggak terlihat punya sifat seperti itu, Dad."
Henry tertawa mengejek. "Bagaimana kamu tau kalau dia tak punya sifat seperti itu? Kamu saja nggak kenal dia siapa."
Damian menggertakkan rahangnya. Dia yakin perempuan tadi malam tak ada niat jahat dengannya.
"Kamu cari perempuan itu, dan urus dia baik-baik. Kalau perlu kamu kasih berapapun yang dia mau. Jangan sampai dia buka mulut di hadapan media tentang semua ini. Atau jabatan kamu sebagai CEO di hotel ini akan hilang," ancam Henry sebelum dia keluar dari ruang kerja putranya.
Damian meremas salah satu foto yang memaparkan dirinya tengah memapah perempuan semalam masuk ke dalam mobil. Kalau saja semalam dia pergi dengan Jeff, asistennya. Damian tak perlu repot-repot bersentuhan fisik dengan perempuan mabuk itu di bar. Setidaknya, Jeff bisa mengurusnya.
"Sial!" umpatnya sambil membuang foto yang diremasnya itu sembarangan.
Sejenak Damian mengambil ponsel di dalam saku setelannya dan menelpon seseorang. Siapa lagi kalau bukan Jeff. Asistennya itu pintar sekali menyelesaikan hampir semua masalahnya. Dan sekarang Damian akan menyuruh Jeff untuk mengurus perempuan itu. Agar kekhawatiran Henry tidak menjadi kenyataan.
"Jeff, ke ruangan saya sekarang," perintah Damian sebelum melempar ponselnya dengan kesal ke atas meja.
Sesaat kemudian Jeff datang. Mendengar suara atasannya yang terdengar marah, buru-buru pemuda itu mengetuk pintu lalu masuk dan berdiri di samping Damian. Menunggu perintah.
Damian mengambil satu lagi fotonya yang berceceran di atas meja dan menyerahkannya pada Jeff.
"Kamu lihat perempuan itu?"
"Iya, Pak."
"Cari perempuan itu! Sampai dapat. Kalau sudah kamu hubungi saya."
Sesaat Jeff mengamati perempuan di dalam foto itu. Karna fotonya diambil di malam hari jadi tak begitu terlihat jelas. Sebagian wajah gadis itu tertutup oleh rambut. Dan di dalam foto, dia tampak menunduk. Wajahnya kurang jelas. Tapi mau tak mau Jeff harus menemukannya. Karna Damian pantang dengan penolakan dan kegagalan.
Jeff harus menemukan perempuan di dalam foto itu atau pekerjaannya yang akan jadi taruhan.
"Saya permisi dulu, Pak," pamit Jeff tanpa bertanya apapun. Karna Damian tidak suka dengan pegawai yang terlalu banyak tanya. Apa yang dia katakan sudah cukup jelas menurutnya. Jeff tak butuh informasi apapun, dia dan anak buahnya pasti bisa menemukan gadis itu segera. Kalau tidak, posisi Damian di Rich hotel bisa saja goyah.
"Maharani! Dari mana saja kamu?" tanya Adi, Ayah Rani yang tiba-tiba muncul dari dalam kamar. Padahal Rani sudah berjalan sepelan mungkin. Bahkan dia berjinjit agar telapak kakinya tak menimbulkan suara.
"Semalam habis pulang kerja, ada acara di rumah Feby, Yah. Karna kemalaman jadi nginep deh," kata Rani memberi alasan.
"Kamu itu kan sudah dewasa. Umurmu sudah dua puluh delapan lho. Sebentar lagi tiga puluh. Kayak gitu kamu masih suka kluyuran malam-malam sampai nginep di rumah orang. Memangnya kamu abege?"
"Tiga puluhnya masih lama, Yah. Dua tahun lagi."
"Sama saja."
"Ya nggak sama," gumam Rani sedikit jengkel. Dia paling tidak suka kalau ada orang yang mengungkit soal umur, sekalipun itu keluarganya sendiri.
Rani tidak bodoh, dia tau kalau setiap tahun umurnya pasti nambah satu. Jadi nggak usah diingatkan berkali-kali. Apalagi disinggung soal pernikahan. Rani sangat membencinya.
"Sini kamu, duduk dulu. Ayah mau bicara."
"Nanti malam aja, Yah. Rani ada kerjaan."
"Ini kan hari sabtu. Kerja apa?"
"Ya kalau akhir bulan memang begitu, disuruh lembur," katanya.
"Sebentar saja," Adi menarik lengan anaknya dan menyuruhnya duduk di ruang tengah.
"Kenapa sih, Yah?"
"Gimana kabar pacarmu itu? Siapa namanya?"
"Edgar."
"Ya, itu," Ayah menjentikkan jarinya. "Kamu sudah bicara sama dia soal pernikahan? Masa pacaran empat tahun nggak ada kemajuan. Kuping Ayah sudah panas dengar omongan sodara-sodara tiap kali pertemuan keluarga. Apa kamu nggak malu?"
"Kenapa mesti malu, Yah? Memang Rani pernah bikin ulah?" seketika Rani teringat kejadian semalam. Duh, jangan sampai Ayahnya tau!!
"Bukan gitu maksud Ayah. Kamu sama dia itu bagaimana? Mau dibawa kemana hubungan kalian? Pacaran itu nggak usah lama-lama. Dosa tau nggak?"
Rani mengangguk.
"Dia kan sudah bekerja, kamu juga bekerja. Trus nunggu apa lagi? Ayah nggak mau ya, punya anak perempuan di bawa kesana kemari tapi belum resmi. Malu, Ran."
Lagi-lagi Rani mengangguk.
"Secepatnya kamu bilang sama dia, ajak dia bicara serius."
"Rani memang ada rencana bicara serius sama dia, Yah."
"Soal pernikahan?"
"Bukan."
"Lha soal apa?"
"Nanti Ayah juga tau sendiri."
"Jangan main-main lho, Ran. Ayah khawatir sama kamu. Ayah nggak mau kamu dikatain perawan tua sama orang-orang."
"Rani juga nggak mau dibilang begitu, Yah."
"Makanya buruan kamu ajak si Edgar itu menikah."
Seketika Rani tertunduk lemas. Hampir saja dia menangis. Tapi ditahannya kuat-kuat. Andai saja Ayahnya tau kalau sebenarnya Edgar sudah selingkuh di belakang Rani, pasti Ayahnya juga tak mau menganggapnya calon mantu.
"Nanti Rani bicara sama dia, Yah," bohong Rani. Lagi pula apa yang mau dibicarakan? Mereka sudah putus!
"Semalam Melani telpon Ayah, minta doa. Katanya dalam waktu dekat dia mau melahirkan. Trus dia sempat tanya, kapan kamu nyusul, begitu."
Sialan Melani! Batin Rani geram. Adiknya memang selalu begitu. Mentang-mentang dia sudah nikah duluan, selalu saja jadi sok dewasa di depan Rani.
"Kapan-kapan kamu kunjungi adikmu. Ngobrol sama dia, sekalian belajar jadi istri yang baik itu bagaimana. Siapa tau, tahun ini Edgar ngelamar kamu. Ya, kan?"
Gimana Edgar mau ngelamar, lha wong hubungan mereka saja sudah kandas di tengah jalan!!!
