Bab 4
"Kamu sudah dapat info soal perempuan itu?" Damian bertanya pada Jeff sambil membolak balik berkas di atas meja kerjanya.
Lelaki yang selalu mengenakan setelan itu mengangguk singkat. Lalu berjalan mantap menyerahkan sebuah amplob coklat pada Damian.
Dengan gerakan tidak sabar Damian merobek amplob tersebut dan mengeluarkan isinya.
Di dalamnya terdapat informasi dan beberapa foto perempuan itu yang diambil dengan candid. Salah satunya saat perempuan itu tengah duduk di sebuah coffea shop sendirian.
Dan entah mengapa Damian betah berlama-lama melihat foto itu. Wajah perempuan itu mengingatkannya pada seseorang yang pernah dia cintai dulu.
Lelaki itu menggelengkan kepalanya sebelum bayangan perempuan dari masa lalu itu kembali mengalihkan perhatiannya.
Kemudian Damian mengambil kertas yang berisi data gadis itu dan membacanya.
"Maharani Widjaya," gumam Damian menyebutkan nama gadis itu. Damian jadi ingat bahwa dia pernah memberikan nomer telpon pada gadis itu sebelum meninggalkannya di kamar hotel.
Kenapa gadis itu tidak pernah mencoba menghubungi nomer itu? Heran Damian. Apa gadis itu sama sekali tidak penasaran dengannya?
"Maaf, Pak," ucap Jeff tiba-tiba lalu dia berbalik dari hadapan Damian untuk mengangkat panggilan di ponselnya.
"Halo? Siapa? Maaf, mbak. Anda salah orang. Saya tidak pernah membawa perempuan masuk ke dalam hotel," tegas Jeff sebelum mematikan sambungan telponnya.
"Siapa?" suara Damian terdengar penasaran saat Jeff menyebutkan kata-kata perempuan dan kamar hotel.
"Saya juga tidak tau, Pak. Mungkin orang salah sambung. Dia menuduh saya membawanya ke kamar hotel seminggu yang lalu."
Seketika Damian terbelalak kaget.
"Telpon dia sekarang!" perintah Damian membuat Jeff terkejut.
"Maaf?"
"Kamu nggak denger saya ngomong apa?! Telpon dia sekarang juga!"
Buru-buru Jeff menelpon nomer tidak di kenal itu. Begitu panggilannya tersambung, Damian meraih ponsel itu dari tangan Jeff dengan kasar.
"Halo?"
"Hei!! Laki-laki jahanam!!"
Damian menjauhkan ponsel itu dari telinganya begitu mendengar makian dari seorang wanita diujung sana.
"Berani-beraninya lo nidurin temen gue trus kabur gitu aja!! Mau gue laporin ke polisi lo? Atau gue upload cerita ini di sosial media biar elo viral, ha?!!"
Damian mendekatkan ponselnya ke telinga setelah suara makian itu berhenti.
"Bisa saya bicara dengan Maharani Widjaya?" tanyanya.
Diam sebentar. Terdengar suara kasak kusuk yang tidak jelas, membuat Damian harus merapatkan ponsel ke telinga agar bisa mendengar lebih jelas.
"Halo? Ini Rani. Maksudku Maharani," ucap Rani terbata.
"Benar ini Maharani? Lalu yang tadi itu siapa?"
"Teman."
"Dia tau soal malam itu?"
"Iya."
"Siapa lagi yang tau?!" tanya Damian dengan nada tinggi.
"Memang kenapa?"suara Rani terdengar menantang di telinga Damian.
"Aku tanya siapa lagi yang tau?!!!" bentak Damian.
Perasaannya mulai gelisah. Lelaki itu takut kalau Rani membicarakan soal kejadian malam itu pada semua teman-temannya. Bisa tamat riwayatnya kalau semua orang tau bahwa lelaki yang membawa Rani ke hotel adalah seorang Damian Richard.
Reputasinya sebagai CEO dari Rich Hotel and Resort yang berwibawa dan jauh dari kontroversi itu akan hancur berantakan.
Belum lagi kalau dia harus menghadapi amarah dari Daddynya. Bisa-bisa jabatannya sebagai CEO akan di coret sekarang juga.
Dan tentu saja Damian tidak mau semua itu sampai terjadi.
"Kenapa kamu marah? Harusnya aku yang marah ke kamu?!" balas Rani tak kalah jengkel.
"Oke. Bisa kita bertemu dan membicarakan masalah ini?"
"Nggak!"
"Baik. Kalau gitu aku yang akan datang menemuimu," Damian menutup sambungan telponnya dengan geram.
Jeff buru-buru menghampiri Damian dan menerima ponselnya yang tadi di pinjam oleh Damian.
"Maaf, Pak. Apa perempuan tadi..."
"Ya, dia perempuan yang beberapa hari ini kamu selidiki," potong Damian dengan wajah kaku karna amarah.
"Bagaimana bisa dia menelpon ke nomer saya?" heran Jeff.
"Saya kasih nomer kamu ke dia. Karna saya nggak mungkin kasih nomer telpon pribadi saya pada sembarangan orang," terang Damian.
Jeff mengangguk paham.
"Kamu siapkan mobil sekarang."
"Baik. Pak Damian mau kemana?"
"Antar saya ke rumah Maharani. Sekarang juga," perintah Damian yang membuat Jeff berjalan cepat keluar dari ruangan Damian dan menyiapkan mobil untuk atasannya itu.
Rani mengernyit heran saat dia sampai di depan rumahnya. Gadis itu hendak memarkir mobil, tapi garasinya terhalang Mercy yang parkir sembarangan di depan garasi rumahnya.
Terpaksa Rani harus memarkir mobilnya di pinggir jalan, dan melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan geram luar biasa.
Pandangannya tak lepas dari mobil mewah di depan rumahnya itu. Bertanya-tanya dalam hati, mobil siapakah ini?
"Jangan-jangan Lani beli mobil baru?" guman Rani membicarakan adiknya. "Tapi nggak mungkin ah, rumah aja dia masih nyicil. Masa mau beli mobil beginian, mana mampu dia," gumamnya lagi.
Setelah puas mengamati mobil mewah itu, Rani berjalan masuk ke pekarangan rumah.
Dari luar, samar-samar Rani mendengar suara tawa Ayahnya dengan seseorang. Dan di teras rumahnya ada seorang pria berpakaian formal tengah duduk tegap sambil menatap ke arah Rani.
Seolah Rani adalah penjahat yang masuk rumah orang sembarangan. Padahal kan ini rumah Rani sendiri.
"Maaf, Mas ini siapa ya?" tanya Rani pada seseorang itu.
"Saya Jeff, asisten Pak Damian."
"Damian? Tamunya Ayah?"
Jeff tidak menjawab. Lelaki berpostur tinggi langsing itu hanya menatap Rani dalam diam.
Ganteng sih, tapi kok kaku banget kayak kanebo kering. Batin Rani.
Kemudian gadis itu masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam yang di balas oleh Ayahnya yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama seorang laki-laki yang...
"Kamu?!" kedua mata Rani membelalak saking kagetnya. Kalau tidak ada Ayahnya yang sedang menatapnya, dia pasti akan pura-pura pingsan sekarang juga.
Ngapain laki-laki ini datang ke rumah Rani? Jadi kata-kata dia di telpon tadi nggak main-main?
Duh, Rani sudah salah menilai laki-laki yang satu ini.
"Ran, sini duduk," Adi melambai pada Rani dan menyuruhnya duduk di sampingnya.
Gadis itu berjalan pelan mendekati Ayahnya, namun tatapannya terpaku pada lelaki yang tengah menatapnya dengan senyum tipis itu.
"Kamu kemana saja? Sudah janjian ketemu teman lama kok malah nggak pulang-pulang," kata Adi yang merasa tidak enak dengan Damian yang sudah menunggu kedatangan Rani cukup lama.
"Teman lama?" Rani mengulangi ucapan Ayahnya.
"Kamu lupa sama teman kamu sendiri?"
Kening Rani semakin berkerut.
"Kita memang jarang sekali bertemu, Om. Jadi wajar kalau Rani lupa," sahut Damian dengan senyum semanis mungkin.
Jujur, diam-diam Adi terpesona dengan sikap ramah Damian padanya. Beda sekali dengan Edgar. Padahal sudah empat tahun berpacaran dengan Rani, tapi Edgar sekalipun tak pernah mau bicara berdua dengan Adi.
Kata Rani, Edgar bersikap seperti itu karna Ayahnya selalu menanyakan hal yang sama setiap kali bertemu Edgar. Yaitu masalah pernikahan.
"Ya sudah kalian ngobrol dulu. Ayah mau istirahat," ujar Adi seraya pergi meninggalkan Rani dan Damian berduaan.
Setelah memastikan Ayah Rani benar-benar jauh. Akhirnya Damian berpindah duduk di sebelah Rani. Dan otomatis Rani bergeser menjauhinya.
"Ngomong apa aja kamu sama Ayahku."
"Banyak," jawab Damian singkat.
Kedua mata Rani memicing. "Mau apa kamu kesini?"
"Mau mengajakmu menikah," jawab Damian yang sukses membuat Rani melongo.
