Bab 5
"Maksud kamu apa?" tanya Rani saat dia dan Damian sudah duduk di dalam mobil mewahnya.
"Bukankah sudah kubilang tadi, aku mengajakmu menikah. Kamu nggak dengar atau pura-pura tuli?" sengit Damian, melipat kedua tangannya di dada.
Sedangkan Rani masih menatapnya tak percaya.
"Ngapain kamu ngajak aku nikah?"
"Karna kamu sudah lancang bicara ke teman-temanmu soal kejadian waktu itu," sahut Damian dengan nada suara tajam dan menakutkan.
Kalau saja mereka tidak sedang bicara di depan rumah Rani. Pasti gadis itu sudah melarikan diri. Lelaki di depannya ini memang tampan, berkelas dan sangat menawan.
Tapi di balik itu semua. Dia punya tatapan mata tajam mengintimidasi. Dan Rani hampir tak sanggup membalas tatapan itu.
"Aku cuma curhat. Apa yang salah?" Rani masih saja membela diri.
"Kamu tau siapa aku?"
Gadis itu mengamati pria di depannya dengan sungguh-sungguh. Siapa dia? Apa dia artis? Oh. Tidak mungkin. Kalau dia artis, pasti Ayahnya kenal. Karna sejak pensiun jadi pegawai negeri, Ayah Rani rajin sekali menonton televisi dan acara infotaiment.
"Memang kamu siapa?"
"Jadi kamu nggak tau siapa aku?"
"Alien?"
Seketika Damian membuang muka. Karna tak tahan ingin tertawa mendengar jawaban dari Rani.
"Sudahlah, percuma aku jelaskan. Kamu nggak akan paham," Damian mengibaskan sebelah tangannya dan menyuruh Rani keluar dari mobilnya karna diskusi mereka sudah selesai.
"Tunggu," Rani mencegah Damian keluar dari mobilnya.
"Apa lagi?"
"Apa malam itu kita benar-benar melakukannya?" tanya Rani dengan suara seringan kapas.
Bahkan Damian hampir-hampir tak mendengarnya.
"Melakukan apa?'
Rani menggigit bibir bawahnya karna senewen. Lelaki ini nggak tau maksud Rani, atau pura-pura nggak tau sih? Jengkel Rani lama-lama.
"You know what i mean..."
"Oh," Damian mengangguk paham. "Jadi kamu belum ingat sampai sekarang?"
Rani menggeleng.
Dan tiba-tiba Damian menggeser duduknya, mendekatkan tubuhnya yang atletis itu pada Rani yang seketika ciut.
"Apa perlu ku ulangi biar kamu ingat?" bisiknya, membuat Rani membelalak kaget dan buru-buru keluar dari mobil Damian seperti orang kesetanan.
"Dasar laki-laki gila!" umpatnya setelah berhasil keluar dari dalam mobil. Namun napasnya masih memburu diiringi detak jantung yang tak beraturan.
Lelaki itu benar-benar berbahaya. Batin Rani sambil melirik Damian yang tersenyum puas karna sudah membuat Rani kalang kabut.
"Mana ponselmu?" tanya Damian sambil menengadahkan tangannya.
Lalu Rani menyerahkan ponselnya pada Damian. Sesaat kemudian Damian mencatat nomer telponnya sendiri dan menyimpannya di kontak Rani.
"Jangan pernah kamu reject panggilan telponku. Kalau sampai kamu abaikan telpon dariku, aku tak akan segan-segan menceritakan kejadian malam itu pada Ayahmu," ancam Damian sambil menyerahkan ponsel Rani kembali.
"Kamu ngancam aku?"
Damian memajukan wajahnya. "Iya..." sahutnya tepat di depan wajah Rani yang tiba-tiba memerah.
"Kamu sudah kerja atau..."
"Kerja."
"Oke, kalau gitu besok sore aku akan kirim sopir ke tempat kerja kamu. Karna kita akan makan malam bersama keluargaku."
"Ha?" Rani terbengong-bengong sendiri. "Tunggu! Makan malam dengan keluargamu? Ngapain?"
"Aku mau kenalin kamu sama mereka as my girlfriend," jawab Damian enteng, seperti tidak memikirkan perasaan Rani yang masih bingung dengan ucapannya.
"Jadi kamu serius? Maksudku, kamu serius mengajakku menikah?"
"Apa aku terlihat bercanda?"
"Tapi kita baru bertemu. Bahkan aku nggak tau siapa nama kamu!" geram Rani.
"Oh, sorry," seketika lelaki itu menjabat tangan Rani dan menyebutkan namanya. "Damian Richard," ujarnya.
Rani hanya diam membisu ketika tangannya yang mungil berada dalam genggaman lelaki itu. Tangannya besar dan... Hangat.
Tanpa sadar pipi Rani terasa panas. Oh, ini gawat!
"Apa lagi yang mau kamu tau tentang aku?"
"Semuanya," sahut Rani sambil mendongak, menatap kedua mata Damian yang kecoklatan.
Lelaki itu tersenyum miring, lalu mengulurkan sebelah tangannya untuk menyingkirkan anak rambut yang menutupi sebagian kening Rani.
"Jangan buru-buru, pelan-pelan saja. Lama-lama kamu juga akan tau siapa aku yang sebenarnya," kata Damian dengan suara beratnya yang terdengar menyihir di telinga Rani.
Lelaki ini bukan hanya mempesona, tapi dia juga punya aura menakjubkan yang sulit di tolak oleh Rani.
Baru saja Rani membuka mata karna suara berdering dari ponselnya. Dia pikir itu suara alarm sholat subuh yang berdering. Tapi setelah Rani membuka matanya lebih lebar, ternyata yang berbunyi bukanlah alarm.
Rani mengusap sebelah matanya, demi melihat dengan jelas nama yang terpampang di layar ponselnya.
'Pria Tampan'
Gadis itu mengernyit. Perasaan dia tak pernah menamai kontaknya dengan nama seperti itu.
Jangan-jangan...
"Baru bangun?" suara berat dan seksi itu seketika menyadarkan Rani dari kantuknya.
"Kamu nggak tau ini jam berapa?"
"Tau."
"Trus ngapain nelpon jam segini?" ketus Rani.
"Mau mastiin kalau kamu nggak reject telponku."
"Itu doang?"
"Iya."
"Sumpah, nggak ada kerjaan banget," gerutu Rani sambil menendang selimutnya lalu mencari remot AC yang semalam ia letakkan di sebelah bantal.
"Kalau nggak ada kerjaan, nggak mungkin aku bangun sepagi ini," ketus Damian.
Rani hanya mencebik, lalu menekan tombol off di remot AC-nya.
"Oh ya, kenapa kamu namanin diri kamu sendiri dengan nama Pria Tampan di ponselku? Jijik banget tau nggak," dumal Rani.
"Memang aku tampan. Ada masalah?"
"Sinting," gumam Rani.
"Biasanya kamu berangkat kerja jam berapa?" tanya Damian dengan nada kaku. Tidak terdengar seperti orang yang sedang memberi perhatian.
"Kenapa?"
"Aku mau kirim sopir buat kamu."
"Nggak perlu."
"Aku ngasih tau, bukannya minta ijin sama kamu."
"Maaf, Pak Damian yang terhormat. Aku masih bisa berangkat ke kantor sendiri. Lagian kita ini nggak saling kenal. Kalau tiba-tiba aku di bawa ke hutan trus di tinggalin disana gimana?"
"Waah, tingkat kehaluan kamu luar biasa sekali ya, Maharani."
"Ya siapa tau? Kita ini kan orang asing. Dan kamu sempat bentak-bentak aku waktu itu. Kayaknya kamu takut banget kalau orang tau tentang kejadian malam itu."
Damian terdiam. Dia memang takut. Tapi sama sekali tak terlintas dalam pikirannya untuk melukai Rani. Justru dia ingin menikahi Rani untuk membungkam suara-suara miring tentangnya selama ini.
"Terserah kamu mau mikir gimana. Yang pasti, aku bukan orang jahat."
Lagi-lagi Rani mencebik. Dia mana bisa percaya begitu saja.
"Jam tujuh sopirku sampai disana. Aku cuma mau memastikan kamu nggak kabur kemana-mana," ujar Damian sebelum menutup sambungan telponnya.
"Kabur kemana wooy!!!" teriak Rani pada ponselnya yang sudah padam.
Gadis itu melempar ponselnya ke atas kasur dan berjalan keluar kamar untuk mengambil minum.
"Lhoh, Ran? Tumben sudah bangun?" ujar Ayah Rani yang mau berangkat ke masjid untuk ikut jamaah sholat subuh.
"Tadi kebangun karna mimpi buruk, Yah," sahut Rani sambil melangkah pergi ke dapur, tanpa menghiraukan tatapan Ayahnya yang mengernyit heran padanya.
Karna bagi Rani, Damian benar-benar bagaikan mimpi buruk. Sejak bertemu dengan lelaki itu, hidupnya yang tenang menjadi kacau!
