Bab 6
"Ran, itu yang mondar-mandir di teras siapa?" tanya Ayah Rani saat mereka berdua sedang sarapan bersama.
Rani dan Ayahnya memang hanya tinggal berdua, bertiga dengan asisten rumah tangga yang tidak menginap di rumah. Jadi pagi-pagi mbak Darmi datang, lalu sorenya pulang setelah menyiapkan lauk untuk makan malam.
Ibunya Rani sudah lama meninggal. Sejak Rani masih SMP, jadi Maharani dan adiknya Melani sudah biasa diurus oleh Ayahnya seorang diri.
Karna itulah, kadang Ayah Rani merasa khawatir kalau anak sulungnya ini belum melepas masa lajang juga, padahal usianya sudah menginjak dua puluh delapan tahun.
"Oh, itu temen kantor, Yah," sahut Rani.
"Ngapain kesini pagi-pagi begini?"
"Mau jemput Rani."
"Memangnya Edgar nggak marah kamu dijemput lelaki lain?"
Hampir saja Rani tersedak saat Ayahnya menyinggung soal Edgar. Beliau belum tau kalau Rani dan Edgar sudah putus.
Walaupun Rani belum bicara langsung dengan Edgar tentang masalah ini. Gadis itu masih muak saat membayangkan bagaimana penghianatan pacarnya itu padanya.
"Rani sama Edgar sudah putus, Yah," ucap Rani pelan-pelan sekali. Takut Ayahnya marah.
Tiba-tiba gerakan tangan Adi yang hendak menyuapkan nasi ke mulutnya berhenti, lalu sendoknya dibiarkan terjatuh ke piringnya lagi. Menimbukan bunyi yang tidak nyaman.
"Jangan main-main lho, Ran," desah Adi, ada kegelisahan di suaranya yang berat.
"Rani serius, Yah. Kita sudah nggak cocok lagi."
"Kenapa baru sekarang nggak cocoknya? Lha selama empat tahun itu kalian ngapain aja? Ayah kecewa lho sama kamu," nada suara Adi sedikit meninggi.
Rani menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan.
"Rani tau Ayah kecewa. Tapi Rani juga nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita memang sudah tidak cocok satu sama lain, Yah."
"Oh, jadi karna itu pagi ini kamu dijemput sama laki-laki diluar rumah itu? Dia pacarmu yang baru?"
Rani menggeleng cepat. "Bukan."
"Lalu apa?" tanya Adi serius, tapi lagi-lagi Rani tak bisa menjawab.
Rani tak mungkin mengatakan kalau lelaki yang sedang menunggunya diluar rumah itu adalah sopir yang diutus oleh Damian untuk menjemputnya.
"Ran, kamu itu sudah nggak muda lagi lho. Usiamu itu bukan usia main-main. Ayah nggak suka kamu gonta ganti pacar kalau pada akhirnya putus juga. Dari pada begitu, biar Ayah saja yang carikan kamu jodoh," ujar Adi kesal.
"Yah, laki-laki diluar itu memang bukan pacar Rani. Dia itu... Teman," bohong Rani, mengulangi perkataannya agar Ayahnya percaya. Tapi Adi hanya melengos.
"Apa kamu bersikap seperti ini karna Ayah?"
Rani mendongak menatap Ayahnya.
"Maksud Ayah apa?"
"Kata Melani, kamu pernah bilang kalau nggak mau buru-buru nikah karna masih pengen nemenin Ayah sampai tua. Benar begitu?" cecar Adi.
Sialan Melani. Mulutnya nggak bisa nyimpen rahasia.
"Bukan begitu maksud Rani, Yah...,"
"Lalu apa? Ayah itu nggak masalah kalau kamu mau menikah dan pergi dari rumah ini. Karna kewajiban seorang istri itu ya berbakti pada suaminya. Kalau kamu seperti ini, justru Ayah yang merasa bersalah sama kamu. Seolah-olah Ayah ini membebani hidupmu, Ran."
Seketika Rani menggeleng.
"Ayah nggak pernah jadi beban buat Rani," desahnya.
"Lalu kenapa sampai sekarang kamu belum menikah juga?"
"Karna Rani belum ketemu yang cocok, Yah. Nanti kalau sudah ketemu, pasti Rani akan menikah."
Adi menatap putrinya yang kali ini bicara sungguh-sungguh sampai urat lehernya keluar.
"Ayah cuma kepengen kamu bahagia, Ran," kata Adi saat Rani sudah menyelesaikan sarapannya.
Gadis itu mengangguk paham. Tapi dia tak mau lagi memperpanjang masalah ini. Rani bangkit dari kursinya lalu melangkah mendekati Ayahnya.
"Rani berangkat kerja dulu, Yah," pamit Rani seraya mencium punggung tangan Ayahnya, kemudian bergegas keluar rumah menemui sopir yang kirim Damian untuknya.
Diam-diam sudut mata Rani berair. Sungguh dia tidak bermaksud membuat Ayahnya kecewa. Kalau saja si Edgar brengsek itu tidak selingkuh, pasti Rani sudah mencecarnya untuk segera menikahinya.
Tapi Tuhan sungguh maha baik. Sebelum Rani menikahi pria jahat itu, Tuhan membuka keburukan Edgar di depan mata Rani sendiri. Sehingga hubungan mereka putus. Walau pada akhirnya, putusnya hubungan Edgar dan Rani membuat Ayah Rani kecewa.
Apa boleh buat. Dari pada Rani harus mempertahankan hubungan yang tidak sehat itu. Lebih baik Rani pergi dan move on dari Edgar.
Sopir yang dikirim Damian ke rumah Rani adalah lelaki yang tempo hari mengantar Damian. Seseorang yang menyebut dirinya sebagai Jeff. Asisten pribadi Damian.
Lelaki tinggi tegap dengan paras tampan tapi kaku itulah yang sekarang sedang mengantar Rani pergi ke kantor.
Sepanjang jalan gadis itu hanya diam membisu menatap jendela mobil. Rani sedang tidak ingin bicara dan tidak ingin diajak bicara juga oleh Jeff. Namun sesekali Jeff menatap Rani dari balik kaca spion.
"Nona Rani, anda baik-baik saja?" tanya Jeff berbasa basi.
Rani menaikkan alisnya, sedikit terkejut dengan pertanyaan Jeff yang tiba-tiba.
Gadis itu mengangguk sambil memaksakan satu senyum. Jujur dia masih enggan membuka mulutnya. Pikirannya melayang jauh kemana-mana setelah percakapannya dengan Ayahnya pagi tadi.
Lalu dia juga teringat akan ajakan Damian untuk menikah. Bagaimana dia akan menceritakan hal itu pada Ayahnya?
Rani tak mau dianggap gegabah atau ceroboh. Masa habis putus dengan pacar yang sudah empat tahun bersama, lalu tiba-tiba saja Rani akan menikahi orang lain. Pasti Ayahnya akan curiga.
"Sudah sampai, Non Rani," ujar Jeff kembali menyadarkan Rani dari lamunannya.
"Oh..." gadis itu tersentak kaget lalu membenarkan duduknya. Setelah mobil itu berhenti, Rani mengucapkan trimakasih pada Jeff lalu hendak membuka pintu untuk keluar, tapi suara Jeff menahannya.
"Oh ya, nanti sore saya jemput lagi, sesuai perintah Pak Damian," ucap Jeff, seraya keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Rani.
Cara Jeff memperlakukan Rani, sudah seperti melayani seorang Nyonya besar saja. Gadis itu jadi tak enak hati. Apalagi saat banyak karyawan kantor yang terheran-heran saat melihat kedatangan Rani bersama seorang lelaki tampan berpakaian rapi dan klimis.
"Eh, tunggu!" panggil Rani sebelum Jeff berbalik meninggalkannya.
"Iya?"
Gadis itu berjalan pelan mendekati Jeff, dan bicara padanya dengan suara pelan.
"Sebenarnya Dam... Ehm, maksudku Pak Damian itu siapa sih?" tanya Rani setengah berbisik.
"Nona Rani tidak tau siapa Pak Damian?"
Rani menggeleng, "Anak pejabat ya? Kok kayaknya dia takut banget skandalnya terbongkar."
"Bukan."
"Bukan anak pejabat?"
Jeff menggeleng. "Nanti biar Pak Damian sendiri yang menjelaskan. Saya takut kena tegur," ujar Jeff sambil tersenyum sedikit. Jenis senyuman yang mampu membuat semua perempuan tersipu saat melihatnya.
Rani mendengus kecewa saat mendengar jawaban dari Jeff.
Setelah itu Jeff benar-benar pergi meninggalkan Rani. Gadis itu masih penasaran, sebenarnya siapa Damian itu. Mengapa lelaki itu begitu mendominasi dan seperti punya kuasa untuk mengaturnya.
Padahal kan mereka tidak memiliki ikatan apapun? Kecuali kalau malam itu mereka benar-benar melakukannya. Tapi ya sudahlah, asalkan Rani tidak hamil, seharusnya tidak ada masalah kan?
Apa Rani harus menunggu sampai sebulan ke depan? Untuk mengetahui bahwa dia hamil atau tidak? Ah, tiba-tiba kepalanya pusing.
