Bab 7
"Mbak, punya obat sakit kepala nggak?" Rani mendekati kubikel Tiana, rekan kerja Rani. Seorang ibu muda tiga puluh tahunan beranak dua, yang menggilai dunia K-Pop.
Kenapa Rani bertanya pada Tiana, karna dialah satu-satunya karyawan di divisinya yang punya tas mirip kantong doraemon. Hampir semua barang ada di dalamnya.
"Bentar ya," sahut Tian sambil mengorek isi tasnya untuk mencari obat sakit kepala yang biasanya nyempil di pojokan paling bawah.
"Nggak ada ya, mbak?" tanya Rani lagi setelah lelah menunggu, tapi Tian tak juga mendapat apa yang dia cari.
"Habis kayaknya," desahnya. "Lagian kalau kamu sakit ngapain masuk kerja? Istirahat aja di rumah."
"Aku nggak sakit kok, cuma pusing dikit," keluhnya sambil kembali ke kubikel.
"Eh, Ran. Cowok yang anter kamu tadi pagi siapa? Cucok deh, mirip Ji chang wook," pujinya sambil cengengesan. Lupa dia kalau udah punya anak dua di rumah.
"Temen."
"Ada ya temen rela nganterin pagi-pagi begitu?"
Rani hanya diam tak menjawab, gadis itu pura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Saat dia sedang memijit pelipisnya karna kepalanya yang bedenyut nyeri, tiba-tiba ponsel di atas mejanya bergetar.
Gadis itu mengernyit melihat nama 'Pria Tampan' berkedip-kedip di layar ponselnya.
"Astaga, kok belum kuganti sih namanya," gumam Rani seraya meraih ponsel itu dan menerima panggilan dari Damian.
"Ya?" suara Rani terdengar malas.
"Jam dua belas aku jemput kamu."
"Ha? Kemana?"
"Aku mau bicara sambil makan siang."
"Aku ada janji sama teman," bohong Rani.
"Batalin."
"Nggak bisa!" balas Rani.
"Maharani, kita harus bicara. Kamu tau kan, nanti malam kita mau ketemu orang tuaku. Jadi kita harus sepakat dulu sama yang akan kita omongin di depan mereka. Jangan sampai aku ngomong A, kamu ngomongnya B. Mereka akan curiga."
"Dam, kamu nggak nanya dulu ke aku? Aku mau atau enggak kamu ajak bertemu orang tuamu?"
"Nggak perlu."
"Maksudnya?"
"Sudahlah, kita bicara lagi nanti. Aku masih banyak urusan," dan panggilan telpon itu di tutup dengan seenaknya oleh Damian.
Kepala Rani yang sudah pusing kini bertambah pusing dibuatnya. Dengan langkah gontai, gadis itu berjalan menuju pantry di kantornya, hendak menyeduh kopi.
Siapa tau secangkir kopi bisa membuat sakit kepalanya sedikit reda.
Baru saja dia mengambir cangkir, ponsel yang di genggamnya bergetar lagi. Jangan bilang dari Damian. Tapi ternyata bukan, ini lebih parah dari Damian.
Edgar?!
Ya Tuhan. Apa lagi ini?!!
"Halo?"
"Rani, kamu apa kabar?" suara lembut Edgar yang dulu selalu membuat Rani terbuai kini terdengar menjijikkan di telinga gadis itu.
"Ed, sorry ya aku lagi sibuk."
"Ran, ayo kita bertemu dan bicara. Aku nggak mau kamu mengambil keputusan sepihak untuk mengakhiri hubungan kita. Ada masalah apa sebenarnya?" tanya Edgar seolah dia memang tidak tau apa-apa.
"Kenapa nggak kamu tanya sama dirimu sendiri? Kenapa aku sampai mutusin kamu?"
Edgar diam sebentar sebelum menjawab.
"Aku benar-benar nggak tau, Rani. Aku mohon, jangan menghindariku lagi. Kamu tau kan, aku tuh nggak bisa jauh-jauh dari kamu..."
Rani benar-benar ingin muntah saat mendengar Edgar mengatakan hal itu. Apa dia masih mengingat Rani saat sedang berciuman mesra dengan Mery di depan apartemennya?
Dasar laki-laki buaya darat!
"Ran, aku jemput kamu ya nanti siang," mohon Edgar sekali lagi.
"Sorry, Ed. Aku nggak bisa."
"Aku samperin kamu ke kantor."
"Aku nggak bisa, Edgar," tegas Rani mengulangi perkataannya.
"Kenapa?"
"Aku ada janji lain," sahut Rani seraya menutup panggilan telpon dari Edgar.
Beberapa kali lelaki itu menghubunginya lagi, tapi Rani menolak panggilan itu sampai Edgar merasa lelah dan tak menghubunginya lagi.
Sakit kepala Rani berangsur membaik setelah tadi dia minum obat yang dibelikan oleh OB di kantornya.
Dan menjelang siang, Damian mengiriminya pesan singkat bahwa lelaki itu sudah menunggunya di parkiran.
Bergegas Rani mengambil kaca kecil dan mengecek riasannya.
"Makan siang yuk, Ran," ajak Tiana yang sudah berdiri di depan mejanya.
Gadis itu mendongak lalu tersenyum canggung pada Tiana.
"Maaf, Mbak. Aku udah ada janji."
"Sama Edgar?"
Rani menggeleng. "Bukan."
Tiana menaikkan alisnya. "Tumben."
Dan Rani hanya bisa tersenyum setelah mengulas lipstik tipis-tipis agar wajahnya tidak pucat. Kemudian dia menggelung rambut panjangnya ke atas agar lebih rapi.
Setelah puas dengan penampilannya, Rani berpamitan pada Tiana dan menghambur keluar kantor untuk menemui Damian di parkiran.
"Sendirian?" tanya Rani saat melihat Damian duduk di belakang kemudi. Biasanya selalu diantar sopir.
"Jeff lagi sibuk," sahut Damian singkat sambil menjalankan mobilnya dengan konsentrasi penuh.
Sesekali Rani mencuri pandang pada lelaki yang duduk di sampingnya ini. Tak bisa dipungkiri, Damian memang tampan. Dilihat dari sudut manapun lelaki itu sungguh mempesona.
Rani jadi ragu, apa semua perkataan Damian padanya bisa dipercaya? Bahkan Rani tak mengenal siapa lelaki itu. Bagaimana kalau Damian memiliki sifat yang tak jauh berbeda dengan Edgar?
Bagaimana kalau Damian ingin menikahi Rani hanya untuk membungkam mulutnya saja? Rani nggak mungkin bisa menerima kalau hal itu terjadi.
Perasaannya sudah hancur saat dikhianati oleh Edgar, kalau Damian juga menyakitinya, Rani tak tau akan jadi seperti apa dirinya nanti.
"Ran, sebelum kita melangkah lebih jauh. Aku mau memastikan satu hal," ujar Damian membuat Rani yang sedang menyedot orange jusnya mendongak ke arah lelaki itu.
"Memastikan apa?"
"Kamu sudah punya pacar?"
Kening Rani berkerut. Lalu gadis itu menggeleng.
"Baguslah."
"Hm?"
"Maksudku, nggak akan ada yang marah kalau aku mengajakmu menikah. Dan satu hal lagi," lelaki itu menggantung ucapannya lalu mengeluarkan sebuah amplob berisi lembaran yang ia serahkan pada Rani.
"Apa ini?" tanya Rani keheranan.
"Bacalah. Nggak harus sekarang. Baca baik-baik, jangan sampai ada satu katapun yang terlewat. Jika sudah, kamu tanda tangani dan kembalikan padaku."
Gadis itu masih mengernyit. Ingin sekali dia membuka amplob itu tapi ditahannya.
"Asal kamu tau, orang tuaku sangat teliti. Jadi saat bertemu mereka. usahakan kamu jangan jauh-jauh dari aku. Aku hanya takut kamu salah bicara di dekat mereka," ucap Damian sambil memotong steaknya dengan sangat anggun.
Rani baru pertama kali ini melihat ada seorang pria yang terlihat sangat seksi saat memotong daging steak. Bahkan gadis itu sampai tak menyadari sejak tadi kedua matanya belum berkedip.
"Kamu dengerin omonganku nggak sih?" sinis Damian, karna sedari tadi Rani hanya diam tak menyahut.
"Denger kok," sahut Rani tak kalah ketus.
Kini giliran Damian yang menatap Rani cukup lama. Gadis itu tampak berbeda saat terakhir kali mereka bertemu tempo hari. Mungkin karna Rani memakai terusan selutut, yang memperlihatkan lekuk tubuhnya.
Ditambah lagi rambut panjangnya yang di gelung ke atas. Memperlihatkan leher jenjang yang membuat Damian sempat menelan ludahnya dengan susah payah.
"Apa liat-liat?" ketus Rani, saat gadis itu mendongak dan tatapannya bertemu dengan mata Damian yang sejak tadi mengawasinya.
Buru-buru Damian memalingkan wajahnya karna tertangkap basah sudah menatap Rani cukup lama.
Gadis di depannya ini benar-benar tidak ada takut-takutnya sama sekali dengan Damian, membuat lelaki itu sedikit kesal.
