Bab 8
Tepat jam lima sore, Jeff sudah menunggu di depan kantor Rani. Lelaki itu sungguh tepat waktu. Tingkah lakunya yang kaku dan selalu formal, membuatnya lebih mirip robot dari pada manusia.
Bahkan Rani penasaran, apa Jeff punya seorang pacar? Kalau punya, apa pacaranya nggak merasa bete dengan sikap kaku Jeff. Ganteng sih ganteng, tapi sikapnya benar-benar kaku mirip kanebo kering.
"Langsung ke rumah Damian?" tanya Rani saat dia sudah masuk ke dalam mobil dan duduk di jok belakang. Sebenarnya tadi Rani ingin duduk di sebelah Jeff, tapi lelaki itu melarangnya.
Katanya, itu perintah dari Damian. Jeff harus memperlakukan Rani dengan baik layaknya seorang istri dari majikannya.
Hmm... Tapi Rani kan belum menikah dengan Damian. Dan lelaki itu juga tidak akan tau Rani duduk dimana kalau Jeff tidak ngadu.
"Kita ke tempat seseorang dulu," sahut Jeff setelah menjalankan mobilnya.
Kening Rani seketika berkerut.
"Seseorang siapa?"
"Nanti juga Non Rani tau," jawaban Jeff benar-benar membuat Rani jengkel.
Gadis itu kembali diam. Menikmati nyamannya mobil mewah tanpa harus awas dengan kemacetan. Biasanya Rani pulang dan berangkat kerja sendirian. Naik mobil sendiri dan larut dalam kemacetan Ibu kota yang kadang-kadang membuatnya emosi.
Dan sekarang dia tak perlu melakukan itu lagi. Dia tinggal duduk diam di mobil yang harganya hampir lima kali lipat harga mobilnya.
Dan karna kelelahan akhirnya Rani tertidur sebentar. Sampai suara lembut tapi tegas milik Jeff membangunkannya.
Kedua mata indah milik Rani yang dihiasi bulu mata lentik mengerjap. Pandangannya mengedar ke sekeliling.
"Kita dimana?" tanyanya sambil merapikan rambut dan bajunya.
"Tadi Pak Damian sudah membuat janji dengan seorang desainer untuk menyiapkan gaun yang akan dipakai oleh Non Rani. Mari silahkan saya antar ke dalam," ujar Jeff seraya membuka mobil dan menjemput Rani di belakang.
"Ngapain pakai baju desainer segala? Memangnya mau pesta?" gumamnya, tapi Jeff tak menanggapi.
Setelah masuk ke dalam sebuah butik mewah itu, mereka disambut oleh seseorang yang berpakaian modis. Laki-laki tapi sikapnya sungguh gemulai.
"Haiii, Jeff... Jadi ini calonnya Mas Damian. Hmm, agak kucel ya cyiiiin..." ujar lelaki gemulai itu sambil menatap Rani dari atas sampai bawah.
Diam-diam Rani tersinggung dikatain kucel oleh lelaki androgini ini. Enak aja dia dibilang kucel. Ya maklum lah, kan habis pulang kantor. Capek, ngantuk, stres. Atau memang wajahnya terlihat kucel karna setelah putus dengan Edgar, Rani jadi jarang pergi ke salon?
Beberapa saat kemudian Rani dibawa masuk ke dalam. Sedangkan Jeff menunggu di ruangan yang berbeda. Sesaat Rani tertegun sendirian melihat banyaknya gaun-gaun cantik dan mewah tergantung rapi di sana.
Rasanya baru pertama kali ini dia melihat gaun sebagus itu. Mimpi untuk membelinya saja tidak. Untuk apa? Lagipula harganya pasti mahal. Gaji sebulan Rani saja mungkin belum cukup untuk membeli satu gaun desainer yang tampangnya suka wara-wiri di infotaiment ini.
"Tadi Mas Damian pesan. Dia mau kamu pakai baju yang ini. Sekalian nanti di touch up, biar glow and shine," katanya dengan lagak kemayu, sambil menyerahkan satu gaun berwarna hitam pekat dengan bahan sehalus sutera. Lembut dan dingin.
Tapi Rani sempat terkejut saat melihat bagaimana model baju itu. Belahan dadanya rendah dan tanpa lengan. Bagian punggungnya juga turun. Alamaaak, aurat terpampang nyata. Ayahnya pasti marah kalau tau dia memakai baju seperti ini. Tidak sopan sama sekali.
"Yang lebih tertutup ada nggak?" ujar Rani ragu-ragu.
Lelaki itu memutar bola matanya dengan kesal.
"Haduuh, kalau mau pakai baju ketutup, mendingan kamu pergi ke toko baju muslimah ya cyiiiin, disini nggak ada yang model begituuu. Duh, pusing deh pala eike," gerutunya seraya berjalan pelan membolak balik gantungan baju di hadapannya. Mencari gaun mana yang sekiranya cocok dengan Rani.
"Yang ini?"
"Nah! Yang itu!" seru Rani sambil menunjuk gaun yang ada di tangan lelaki itu.
Memang gaun yang ini lebih sopan, walau belahan dadanya masih turun tapi bagian punggungnya tertutup. Warna juga bagus. Dark maroon, membuat kulit Rani tampak lebih cerah saat memakainya.
"Duduk sini ya," perintah lelaki itu lalu memanggil seseorang untuk merias dan menata rambut Rani.
"Kenal Mas Damian dimana?"
Rani terkejut dengan pertanyaan lelaki gemulai itu, karna tak ingin menjawab, gadis itu hanya tersenyum.
"Udah lama ya pacarannya? Baru kali ini lho Mas Damian bawa cewek buat di make over. You're the first!" serunya.
"Oh ya?" kedua mata Rani membelalak. "Selama ini dia nggak pernah bawa perempuan belanja di butik ini?"
"Never," lelaki itu menggeleng.
"Dia normal nggak sih?" bisik Rani membuat kening sang desainer mengerut.
"Jangan ngomong sembarangan ya! Mas Damian itu lelaki tulen, coba aja kalau nggak percaya."
"Apa yang harus di coba?" gumam Rani.
"Emang kalian belum pernah..."
"Apa?"
"Making out?"
Rani tersentak kaget. Bayangan malam itu terlintas lagi di dalam benaknya. Rani ingat waktu di bar, Damian sempat menciumnya dengan sangat sensual, dan gadis itu masih mengingat bagaimana rasanya. Sangat lembut dan dalam. Tapi setelah itu, Rani tak ingat apapun lagi.
"Ya, udahlah nggak usah dijawab. Bukan urusan eike juga," ujar lelaki itu masih memperhatikan riasan Rani yang hampir selesai.
Setelah selesai dengan riasan dan berganti baju, Rani seperti tak mengenal siapa dirinya sendiri. Make up yang menempel di wajahnya sama sekali tak terlihat tebal. Terkesan natural dan anggun.
Terlebih gaun yang dipakainya, membuat lekuk tubuh Rani terlihat indah. Gadis itu benar-benar merasa seperti di sihir oleh ibu peri.
Perlahan Rani keluar dari ruangan untuk menemui Jeff, tapi saat dia membuka pintu yang menjadi batas ruangannya dan ruang tunggu, tiba-tiba matanya bertemu dengan kedua mata Damian yang menatapnya dengan takjub.
Sedangkan Rani benar-benar merasa terkejut saat Jeff yang tadi menunggunya sekarang sudah berubah menjadi Damian.
Lalu kemana Jeff? Ah, itu tidak penting! Yang penting sekarang adalah tatapan Damian yang tak lepas dari dirinya, bahkan setelah Rani berjalan mendekati Damian.
"Gimana?" tanya Rani menaikkan alisnya, gadis itu ingin tau bagaimana pendapat Damian tentang penampilannya.
Damian berdehem sebelum menjawab. "Lumayan," sahutnya seraya berdiri dan berjalan mendahului Rani untuk keluar dari butik itu.
Lumayan? Hanya lumayan? Padahal Rani jelas melihat Damian menatapnya dengan penuh kekaguman. Dasar cowok munafik!
Batin Rani tak hentinya menggerutu.
"Kamu nggak pernah pacaran?" tanya Rani setelah mereka berada di dalam mobil.
Damian tampak terkejut dengan pertanyaan Rani yang tiba-tiba.
"Jangan sok tau," sahutnya sinis.
"Kata pemilik butik tadi, aku perempuan pertama yang kamu bawa kesana. Benar begitu?"
Rani melihat wajah Damian yang berubah kesal. Mungkin kesal dengan pemilik butik yang tak bisa jaga mulut itu.
"Aku jadi penasaran, apa aku juga perempuan pertama yang kamu bawa masuk ke dalam hotel," ujar Rani sambil melirik ke arah Damian yang tak bereaksi apapun. Tapi Rani sempat menangkap rahang Damian yang mengeras.
Jadi Rani menyimpulkan, mungkin lelaki itu tersinggung dengan perkataannya. Sehingga gadis itu memilih diam hingga sampai di rumah besar nan mewah milik keluarga Richard.
