Bab 9
"Ran, kamu tunggu disini," ujar Damian setelah mereka sampai di rumah keluarga Richard yang menurut Rani lebih terlihat seperti istana ketimbang sebuah rumah.
Damian melangkah pergi meninggalkan Rani yang duduk sendirian di ruang tamu besar dengan dua set sofa yang terbuat dari bahan kulit yang mengilap. Gadis itu sampai takut mau duduk disana.
"Kamu ajak dia kesini?" ujar Henry, Ayah Damian yang sedang duduk di ruang kerja yang berada di salah satu ruangan rumah besarnya.
"Iya," Damian mengangguk.
"Kenapa kamu bawa dia kesini? Daddy kan cuma mau kamu membuat dia tutup mulut," ujar Hendry sedikit heran dengan tingkah putranya.
"Damian akan menikahinya."
Seketika kening Hendry mengerut. "Kamu sudah gila? Kamu bahkan nggak kenal dia itu siapa. Apa dia mengancammu?"
Damian menggeleng. "Sama sekali enggak."
"Lantas?"
"Damian cuma berjaga-jaga agar dia tidak buka mulut tentang kejadian malam itu. Dengan menikahinya selama satu tahun, mungkin akan membuat dia melupakan kejadian itu."
"Jadi, kamu membuat kesepakatan dengannya?"
"Ya."
Henry mengangguk paham. "Baguslah kalau begitu. Tapi ingat, jangan sampai Mami kamu tau soal ini. Dia pasti akan shock kalau dia tau kamu kenal dengan perempuan itu di bar dan sempat membawanya ke hotel. Kamu tau kan jantungnya lemah?"
Damian mengangguk, "Ya, Damian tau."
"Anyway, Mami pasti senang kamu bawa seorang perempuan ke rumah. Sebenarnya dia sudah lama menginginkan kamu menikah."
Damian hanya tersenyum getir mendengar hal itu. Bukannya lelaki itu tak ingin menikah. Tapi hatinya sudah terlanjur patah oleh seorang perempuan yang pernah sangat dicintainya. Hingga sekarang dia belum menemukan pengganti sosok perempuan itu.
Setelah berbicara dengan Daddynya, Damian kembali ke ruang tamu untuk menjemput Rani dan membawanya ke ruang makan.
Disana tidak ada siapapun, hingga beberapa saat setelah Rani duduk, datanglah Henry dan istrinya yang tersenyum ramah saat menatapnya.
Gadis itupun ikut tersenyum, namun senyuman Rani terlihat canggung dan sedikit takut. Jujur saja, baru pertama kali ini dia diajak bertemu dengan keluarga inti seorang pria.
Edgar yang sudah dia pacari selama empat tahun saja belum pernah mengajaknya berkunjung ke rumah orang tuanya. Jadi, saat hal seperti ini terjadi di dalam hidupnya, diam-diam Rani merasa terkesan sekaligus terharu.
"Nama kamu?" tanya wanita paruh baya yang terlihat sangat cantik dan anggun itu bertanya pada Rani yang terlihat sedikit gugup.
"Maharani Widjaya," sahutnya dengan suara rendah.
Wanita itu tersenyum, sedikit terpesona dengan kecantikan Rani malam itu. Entah mengapa, hanya sekali melihat saja, Widya langsung menyukai Rani.
"Nama yang cantik," puji Widya membuat Rani tersipu malu, apalagi saat melihat Widya yang sikapnya begitu lemah lembut, mengingatkan Rani pada Ibunya yang telah tiada.
"Kalian sudah lama saling kenal?" tanyanya lagi. Seketika Rani melirik Damian.
Sesaat mereka saling pandang, lalu Damian berdalih bahwa mereka saling kenal waktu ada acara kantor. Dan jawaban masuk akal itu langsung diterima oleh Widya.
Wanita itu merasa sangat bahagia melihat Damian membawa Rani pulang ke rumah untuk di kenalkan padanya. Karna selama ini banyak sekali berita miring tentang anak sulungnya itu yang terkadang membuat hati Widya gelisah.
Usia Damian sudah bukan usia remaja dua puluh tahunan lagi, jadi wajar saja kalau Widya merasa cemas. Apalagi, Damian sama sekali tak pernah terlihat menggandeng seorang perempuan dimanapun.
Bahkan saat Damian memutuskan untuk tinggal terpisah dengan orang tuanya, Widya pikir karna anak sulungnya itu ingin bebas menemui kekasihnya, tetapi kenyataannya tidak sama sekali. Damian masih betah menyendiri dan larut dalam pekerjaannya.
"Devan belum pulang?" tanya Damian mengalihkan pembicaraan, agar Widya tidak terlalu fokus pada Rani dan asal usul gadis itu.
"Mungkin minggu depan. Kemarin dia ada pameran lukisan di Paris, ya begitulah adikmu. Masih suka berpetualang, susah sekali kalau disuruh diam di rumah," sahut Widya, sedangkan Henry lebih banyak diam dan mendengarkan.
Lelaki tua berwajah bule itu tak banyak bicara, seolah dia sudah mengetahui semua hal tentang Rani, sehingga tak ada yang perlu di tanyakan lagi pada gadis itu.
"Sepertinya orang tuaku menyukaimu," ujar Damian sambil melirik Rani sekilas.
"Apa itu pertanda baik?"
"Of course," sahutnya. "Oh ya, jangan lupa kamu baca baik-baik isi amplob yang kuberikan padamu tadi," Damian kembali mengingatkan.
Rani hanya mengangkat kedua alisnya.
Diam-diam Rani merasa sedikit bersyukur saat Damian mengajaknya menikah. Setidaknya, satu keinginan Ayahnya akan terwujud. Sekalipun Rani sama sekali tak mengenal Damian. Baginya, pernikahan ini tak lebih dari selembar perjanjian hitam di atas putih.
Dan mungkin isi dari amplob yang diberikan Damian padanya tadi adalah surat perjanjian itu. Rani bukan gadis bodoh.
Dia tau maksud Damian, tak mungkin lelaki itu mengajak perempuan asing menikah dengannya kalau tidak ada udang dibalik batu.
Damian hanya ingin Rani tutup mulut atas kejadian yang mereka alami bersama. Terlepas apakah mereka sudah melakukan hubungan intim atau belum, hal itu tetaplah tabu di mata masyarakat.
Dan keluarga Damian yang ningrat itu tak akan mau kalau nama baiknya sampai tercemar hanya karna kelakuan anak sulungnya yang membawa seorang perempuan mabuk menginap di dalam hotel.
"Kamu punya adik?" tanya Rani setelah mereka lama terdiam.
Damian mengangguk, sepertinya enggan membahas soal adiknya.
"Kupikir kamu seorang anak tunggal."
"Banyak orang mengira begitu."
"Oh ya?"
"Kadang aku iri dengan adikku yang hidupnya bebas. Dia bisa pergi kemanapun yang dia mau, tanpa harus terbebani dengan pekerjaan yang monoton. Hidupnya hanya tentang dirinya sendiri," gumamnya, tatapan mata Damian berubah redup.
"Memangnya kamu tidak bebas pergi kemanapun?" tanya Rani lagi, tapi sepertinya Damian enggan menjawab, karna lelaki itu hanya diam saja, menatap hampa ke arah depan tanpa melirik sedikitpun pada Rani.
Tak lama kemudian mereka sampai di depan rumah Rani. Gadis itu tanpa sadar menghela napas lega, rasanya seperti baru saja keluar dari mulut buaya.
"Apa aku harus mengembalikan gaun ini?" tanya Rani pada Damian.
"It's yours," sahut Damian.
"This too?" Rani menggoyangkan lengannya yang berhias gelang permata sebagai accessories yang dipakainya saat di butik tadi. Gadis itu tau kalau gelang itu bukan barang palsu dan murahan.
"Semua yang kamu pakai malam ini adalah milikmu. Jangan tanyakan lagi, oke?"
Rani mencebik, lalu mengangguk. Sekalipun dia merasa tidak enak dengan pemberian lelaki itu yang dirasa Rani sedikit berlebihan.
Tapi ya sudahlah. Toh, Damian bukan lelaki miskin. Dia cukup kaya hanya untuk membeli barang recehan seperti ini.
"Ran," panggil Damian sebelum gadis itu membuka pintu mobil.
"Ya?"
"Thanks for tonight," ucapnya dengan tatapan mata sendu yang menyiratkan kesungguhan mendalam. Membuat jantung Rani berdugup lebih cepat dari seharusnya.
Gadis itu berdehem, berusaha mengatur detak jantungnya sendiri.
"Ya," sahutnya singkat sebelum dia benar-benar pergi dari mobil Damian dan buru-buru masuk ke dalam rumahnya tanpa menoleh ke belakang lagi.
Karna sesungguhnya Rani takut kalau lelaki itu menangkap raut wajahnya yang berubah merah saat menerima tatapan Damian yang begitu dalam dan membuai.
Ini bahaya. Bagaimana bisa Rani terpesona dengan seseorang yang baru beberapa kali ditemuinya?
