Bab 10

Sepulang dari kantor, Mentari siap-siap menghadiri ajakan Anthony. Tanpa istirahat lebih dulu, Mentari lekas mandi dan bersolek. Memilih pakaian yang dianggap formal tetapi terkesan santai. Pas seturut acara mereka.

"Bukankah ini hanya perayaan kecil atas kemenangan tender? Artinya cukup pakai yang biasa-biasa saja," gumam Mentari seraya memandang bergantian dua gaun di tangannya.

Dia segera berlari ke luar kamar. Seperti biasa, mandi di lantai bawah telah menjadi pilihan terbaik. Seperti yang Mentari bilang, dia tidak ingin mengotori kamar mandi Arga yang suci, dan Arga pun teramat jijik dengan tubuhnya.

Selepas mandi, Mentari menyambar alat soleknya, kemudian membopongnya ke kamar sebelah. Beruntung Arga tidak mengunci pintu kamar itu. Jadi, dengan sangat leluasa tanpa berpikir panjang Mentari dapat bersolek di sana. Sayang, Arga tidak mengizinkan Mentari menghuni kamar itu. Arga memang lebih senang melihat Mentari tersiksa daripada membiarkannya hidup damai.

Mentari melihat pantulan dirinya di cermin. Rupa yang mungkin sembilan puluh sembilan persen mencetak ulang rupa Samantha. Bahkan tidak sedikit orang yang salah dalam mengenali mereka. Kadang ada yang memanggil Mentari, namun yang ditunjuk justru Mantha. Sebaliknya mengira Mantha, tetapi yang ditunjuk malah Mentari.

"Sebegitu cantikkah aku sampai-sampai Pak Anthony terlihat tergila-gila padaku? Padahal di pandangan mataku aku tampak biasa-biasa saja. Bukti yang lain pula, Arga nggak pernah melihatku istimewa. Lebih miris, dia malah memandangku seperti lalat yang nggak sengaja hingga di mangkuk es krim yang sedang dia nikmati. Menyedihkan sekali hidupku," bisik hati Mentari.

"Cinta memang nggak pernah salah. Sekali pun wajahku dan wajah Mantha mirip tanpa tergurat sedikit perbedaan, tetapi hati Arga teramat lihai dalam mengenali cintanya. Tidak sekali pun dia tersesat atau salah melihatku bahkan saat Mantha masih ada di sini," tambahnya.

Di polesan terakhir diikuti semburan sedikit parfum di tubuhnya, Mentari lekas menyudahi sesi bersoleknya, kemudian beranjak kembali ke kamar sebelah. Dia benar-benar malas menyanggupi ajakan Anthony. Namun, dia juga tidak sampai hati menyia-nyiakan perjuangan Anthony dan nominal uang yang telah Anthony keluarkan untuk perayaan kecil mereka.

"Mau kemana kamu?" sergah Arga tiba-tiba. Baru saja dia tiba di rumah langsung melihat pemandangan tak lazim dari Mentari.

Mentari terlonjak. "Bisa nggak, sih. Nggak pakai acara ngagetin orang sekali saja."

Dahi Arga berkerut. "Aku nggak merasa ngagetin kamu. Kamunya aja yang gampang kaget."

"Terserahlah. Di mana-mana tuan rumah emang nggak boleh dibantah," ucap Mentari malas.

"Jadi, kamu mau kemana?"

"Bisa nggak jangan mengkepoi urusanku? Telingaku sakit mendengar pertanyaanmu yang selalu sama."

"Nggak bisa. Lagi pula pertanyaanku nggak sulit. Aku hanya bertanya kemana kamu ingin pergi dengan pakaian dan riasan begini?" Arga memandangi Mentari dari atas ke bawah.

"Bukan urusanmu."

"Tentu urusanku. Nanti kalau orang tuamu mencarimu, aku yang harus memberi jawaban kepada mereka."

"Faktanya, orang tuaku nggak pernah mencariku bahkan sejak hari pernikahan kita."

"Nggak ada yang bisa mastiin itu, Tari. Siapa tahu malam ini orang tuamu malah mencarimu."

"Tenang aja. Itu nggak akan terjadi."

"Kalau memang orang tuamu nggak akan nanyain itu, setidaknya beritahulah padaku kemana kamu ingin pergi."

"Are you caring me? Oh, atau cemburu?"

"Hei ...! Tolong, ya, waktuku terlalu berharga untuk melakukan semua itu."

"So, why do you want to know where i am going?"

"Kamu sadar nggak, sih. Kalau terjadi apa-apa denganmu, aku yang menjadi orang pertama disalahkan."

"Ya, anggap aja alasanmu barusan masuk akal. Jadi, karena aku nggak pengin kamu terjerat ke masalahku, aku memutuskan memberitahumu kemana aku ingin pergi." Mentari mendengus pura-pura kesal. "Aku berkencan dengan pacarku. Dan sepertinya pulang larut. So, kamu nggak usah cemas."

"Sudah kuduga. Nggak ada cewek yang berpenampilan begini selain tujuan kencan."

"Kamu benar. Lalu, sudah puas?"

"Nggak peduli. Aku cuma berharap semoga Mamaku atau Mamamu ada di tempat kencanmu. Ketika Mama melihatmu berkencan dengan laki-laki lain, dia pasti sangat kecewa. Terus, mendesak kita untuk segera bercerai."

Jika biasanya Arga yang menyungging, sekarang terbalik, Mentari yang melakukan hal itu. "Aku sadar baik aku atau kamu sangat ingin cepat-cepat bercerai. Tapi, aku nggak sebodoh itu menunjukkan aibku di depan orang tua. Aku terlalu pandai bermain halus."

"Oh ... begitu. Aku semakin yakin kamu sudah melangkah jauh dengan pacarmu. Aku nggak habis pikir mendapat perempuan sepertimu. Rela menjadi pengantin pengganti semata untuk menutupi kebusukanmu."

Mentari terbelalak. "Apa maksudmu? Kamu menuduhku wanita murahan?"

"Kamu yang mengatakan itu bukan aku."

"Untuk pengetahuan Anda Pak Arga yang terhormat. Saya masih sangat sadar membedakan mana yanga baik dan mana jalan menuju neraka."

"Sudah. Jangan terlalu meladeniku. Kamu nggak takut pacarmu bosan menunggumu? Cepat selesaikan bersolekmu, lalu segera enyah dari kamar ini!"

"Kamu akan menyesal karena telah mengusirku," ancam Mentari cepat-cepat menyambar tas tangannya, lalu beranjak meninggalkan kamar.

Begitu tubuh Mentari hilang ditelan pintu, Arga terhenyak dari tawa puasnya. Dia sadar ternyata barusan dia mengusir Mentari. Tidak ingin lengah, Arga lekas mengejar Mentari. Dituruninya anak tangga dengan tergesa-gesa hingga tersegal-segal dia sampai di lantai bawah. Sayang, dia terlambat. Sosok Mentari sudah tidak ada di sana.

"Bego ... bego. Ngapain, sih, aku keceplosan. Gimana kalau Mentari benar-benar minggat. Terus, orang tuanya mencarinya. Aku harus memberi penjelasan apa pada mereka." Arga mengacak rambutnya frustrasi. "Ah, iya. Kenapa aku nggak mengiriminya pesan." Sebuah ide terlintas di pikiran Arga.

Langkah seribu Arga menaiki tangga. Segera pula dicarinya keberadaan ponselnya. Salah satu tabiat buruk Arga. Dia sering lupa menaruh di mana ponselnya. Anehnya lagi, dia tidak pernah meletakkan ponsel di tempat yang sama secara berulang-ulang. Acap kali dia menaruh ponsel di sembarang tempat. Itulah mengapa sering lupa tentang keberadaan ponselnya.

Setelah pusing menggeledah seisi kamar, barulah Arga menemukan di mana letak telepon pintarnya. "Asem emang ini barang. Dicari kemana-mana ternyata ngumpet di bufet. Kenapa kamu nggak nyahut, sih." Arga geram berbicara pada ponselnya.

"Tari, pulanglah. Aku nggak bermaksud ngomong gitu ke kamu. Aku kelepasan saking kesalnya. Tapi, kalau kamu tetap milih ngambek, aku nggak masalah. Kamu boleh ngambek sepuasnya di rumah. Yang penting jangan minggat. Mau, ya!" Arga mengirim sederet pesan pada Mentari.

Lihatlah! Tidak sedikit pun Arga menorehkan kata maaf di dalam pesannya. Justru isi pesan itu terkesan main-main dan tersirat memaksa. Dia hanya takut Mentari minggat karena takut orang tua mereka mencarinya bukan karena Arga takut kehilangan Mentari.

Sementara di tempat lain, Mentari baru saja menginjakkan kaki di sebuah gedung restoran. Restoran itu sesuai dengan lokasi yang dikirim Anthony. Mentari memandang ke sekeliling. Tidak ada siapa-siapa di sana.

"Apa Pak Anthony sengaja memesan restoran ini untuk kami?" pikir Mentari menerka. "Ah, nggak mungkin. Nggak mungkin sampai begitu. Pak Anthony sendiri yang bilang kalau ini cuma perayaan kecil kemenangan tender," sambungnya.

Tidak berapa lama seorang pelayan datang bersama sebuah nampan di tangannya. Pelayan itu tersenyum ramah seraya meletakkan beberapa menu di meja yang dihuni Mentari.

"Mas, apa biasanya restoran ini memang seperti ini?" tanya Mentari memberanikan diri. Sangat tidak sopan memang. Tetapi Mentari harus menanyakannya untuk memuaskan tanya di benaknya.

"Tidak, Mbak. Biasanya selalu ramai pengunjung," jawab si Mas pelayan.

"Tapi, kenapa malam ini tidak ada satu orang pun, Mas?"

"Oh. Khusus malam ini tempat ini di-booking oleh seseorang. Barang kali orang itu pacar Mbak."

"Begitu, ya." Mentari manggut-manggut. Dugaannya benar.

Tak berapa lama setelah kepergian si pelayan, Anthony datang. Di tangannya menggenggam setangkai mawar merah dibalut plastik sedemikian rupa.

"For beautiful women." Anthony memberikan bunga itu pada Mentari.

Sejenak Mentari menimbang antara menerimanya atau tidak. Dan sepertinya tidak masalah. Tidak ada yang salah dengan setangkai mawar kemenangan tender. "Terima kasih, Pak." Mentari memutuskan untuk menerima bunga berkelopak merah itu.

Anthony menaruh jari telunjuknya di bibir. "Don't call me Sir. Kita nggak sedang di kantor."

Mentari menggeleng. "Menurut saya, tidak ada panggilan yang lebih sopan selain panggilan Bapak."

"Aku nggak butuh panggilan sopanmu. Aku hanya ingin dianggap teman atau ..." Anthony menaikkan sebelah alisnya. "Someone special."

"Maaf, Pak. Bukan bermaksud menolak. Tampaknya saya terlalu tidak cocok untuk menjadi teman Bapak."

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya