Bab 11
"Kamu yakin nggak ingin kuantar aja?" tanya Anthony entah untuk yang keberapa kali.
"Yakin, Pak. Lagi pula saya bawa mobil. Nanti kalau saya memilih diantarkan oleh Bapak, ingin dikemanakan mobil saya," tolak Mentari diikuti alasan logis.
"Nggak masalah. Saya antarin kamu, entar mobil kamu dibawa sama orang suruhan saya," ucap Anthony masih terus dengan usahanya.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya tidak enak ngerepotin Bapak."
Merasa Mentari mustahil menerima ajakannya, Arga akhirnya menyerah. Dia membiarkan saja Mentari pulang sendirian.
"Kalau begitu, akan lebih baik aku mengikuti mobil kamu dari belakang." Anthony mencoba menawar.
"Tidak perlu, Pak. Saya malah merasa sangat tidak nyaman jika ada yang mengikuti. Takutnya saya tidak fokus menyetir, akhirnya ... begitulah, Pak. Saya harap Bapak bisa membayangkan apa yang terjadi selanjutnya," ucap Mentari santai, tetapi terkesan sinis.
"Wah ... aku malah nggak mau kamu kenapa-kenapa. Ya sudah, aku menyerah. Aku nggak akan mengantarkanmu ataupun mengikutimu dari belakang. Tapi, kamu harus janji kalau terjadi apa-apa kamu harus langsung menghubungiku," tukas Anthony pasrah.
"Pasti, Pak. Saya pasti mengabari Bapak bahkan segera setelah saya tiba di rumah."
Anthony mengangguk. Meski berat dia setuju jua. Walau Mentari memilih menolak, setidaknya gadis itu setuju untuk mengabarinya tentang apa pun yang terjadi.
Tanpa basa-basi, tepatnya menghindari percakapan lain yang semakin panjang, Mentari lekas masuk ke dalam mobil. Kemudian sedikit mengucapkan izin dan kalimat perpisahan pada Anthony, Mentari langsung melesat bersama mobilnya.
Anthony menatap nanar bagian belakang mobil Mentari. Hatinya diselimut sendu. Entah kapan dia berhasil memenangkan hati perempuan yang sangat dia cintai itu. Perempuan yang menganggapnya tidak lebih dari seorang atasan.
"Nggak ada pisau yang nggak bisa tajam selama diasah dengan gigih. Aku yakin suatu hari nanti pasti bisa mendekap hatimu," gumam Anthony. Selanjutnya dengan gontai dia membuka pintu mobilnya. Dan tak lama setelahnya ikut melesat meninggalkan parkiran.
Baru seperempat jalan. Mentari bingung antara pulang ke rumah Arga atau bermalam di kantor atau malah menginap di tempat lain. Mungkin hotel atau hostel atau wisma yang tak jauh dari kantor yang memang disewakan untuk para penginap.
Mentari mendengkus. "Kemana, ya. Kalau pulang ke rumah Arga, nggak mungkin. Secara tadi dia udah mengusirku secara brutal. Bagimanapun hatiku masih sakit sama omongannya." Mentari berpikir terjeda. "Dan kalau nginap di kantor, makin nggak mungkin. Entar orang kantor pada curiga. Soalnya nggak biasanya aku nginap di sana."
Mentari memutar otaknya kuat-kuat. Menemukan tempat yang tepat di mana dia akan tidur malam ini. Jari-jemari Mentari juga turut bekerja mengetuk-ngetuk dagu sebagai upaya kelancaran berpikirnya.
"Kalau ke hotel, Papa pasti tahu. Orang-orang yang punya hotel pasti pada lapor ke Papa." Mentari mengusap kasar wajahnya. "Terus aku tidur di mana, dong. Nggak mungkin juga kan tidur di mobil." Dia terus meracau seraya tak berhenti mencari jalan keluar untuk nasibnya yang mengenaskan.
"Bodoh, ah. Nggak ada pilihan lain. Hotel adalah satu-satunya pilihan terbaik."
Tangan Mentari sigap bergerak menyambar ponsel yang dia letakkan sebarang di dasbor mobil. Tidak ada cara lain, dia terpaksa memesan kamar lewat aplikasi yang diperuntutkan untuk hotel dan berbagai jenis penginapan lainnya.
Baru saja Mentari berhasil mencocokkan ibu jarinya pada sidik jari pengunci keamanan ponsel, matanya menatap tajam pada sebuah pesan yang datang dari Arga.
"Apa-apaan si Arga. Minta maaf, kek. Apa, kek. Ini malah kayak ngajak perang," bebel Mentari begitu membaca sederetan pesan dari Arga.
Mentari kembali berpikir. Jika dipikir-pikir, memang tidak ada pilihan terbaik selain kembali ke rumah Arga. Karena kalau memutuskan menginap di hotel, tentu dia tidak akan selamat dari ceramah Papa. Sebaliknya, jika di kantor. Agak sedikit ngeri. Bayangan gedung pencakar langit dengan ratusan lantai dan ratusan ruangan pula. Lalu, Mentari seorang diri tidur di sana. Iya, sih, ada satpam yang menjaga. Tetapi, satpam hanya menjaga di bawah. Bukan patroli ke setiap ruangan di setiap detik.
"Well, emang nggak ada pilihan terbaik. Aku harus tetap pulang ke rumah Arga," gumam Mentari lesu. Sebenarnya dia sangat malas terus-terusan menghadap wajah Arga. Sudah gitu, telinga dan hatinya selalu sakit mendengar kalimat Arga yang selalu terkesan menista.
Mentari mengeduskan napas jengah seraya melajukan kembali mobilnya. Menaikkan sedikit kecepatan berkendaranya. Meski tadi dia menolak ajakan Anthony untuk mengantarnya pulang, bukan berarti Mentari tidak ngeri menatap seluruh sudut jalanan yang tampak sepi. Wajar ini sudah hampir setengah dua belas malam.
"Aku bahkan seperti orang bodoh. Menghabiskan hampir setengah malam hanya untuk memikirkan di mana aku harus tidur malam ini," ucap Mentari merutuki dirinya.
Mentari berjalan lambat ke dalam rumah. Meski terselip rasa syukur di hatinya karena Arga menyuruhnya kembali ke rumah, Mentari masih marah atas perlakuan Arga.
"Sudah pulang kamu. Kupikir udah lupa jalan ke rumah ini," tegur Arga sinis ketika tangan Mentari sibuk menekan sakelar lampu ruang tamu.
Mentari sedikit terlonjak, tetapi dia berusaha untuk biasa saja. "Tadinya aku emang rencana nggak balik ke sini. Bagaimanapun aku belum lupa pemilik rumah ini sudah mengusirku. Cuma, ternyata malah si pemilik rumah sendiri yang nyolot memaksaku kembali," balas Mentari tak kalah sinis.
"Aku nggak memaksamu pulang. Aku hanya memikirkan orang tua kita," sanggah Arga.
"Ya, anggap aja kamu mabuk saat mengetik hingga bablas mengirim pesan itu padaku." Setelah melepas sepatu dan menaruhnya ke dalam rak, Mentari melewati Arga begitu saja.
"Dasar cewek barbar. Benar-benar berbanding terbalik dengan Samantha. Muka saja mirip, katanya kembar. Tapi sifatnya sangat-sangat hancur," rutuk Arga sambil menekan stop kontak untuk mematikan lampu. "Belum lima menit menyalakan lampu, dan dia sudah lupa mematikannya."
Arga beranjak meninggalkan ruang tamu, mengekori langkah Mentari. Ketika tiba di kamar, didapatinya Mentari tengah berbaring tanpa mengganti pakaian dan menghapus riasannya terlebih dahulu.
Arga segera menoleh, membuang pandangannya ke arah lain. Penampilan Mentari sangat-sangat buruk; maksudnya itu tidak baik di mata Arga. Bagaimanapun dia tetaplah laki-laki normal yang memiliki ketertarikan terhadap tubuh perempuan.
Mentari yang menyadari kehadiran Arga, segera meraih selimut lalu menjatuhkan ke atas dadanya. Sangat tidak ingin aset berharganya terpamer polos di hadapan Arga. Memang tidak terlalu terlihat, tetapi tetap saja itu tidak boleh.
"Ehem." Arga berdehem salah tingkah. Malu ternyata gelagatnya disadari Mentari.
"Kenapa pulang selarut ini? Apa pacarmu nggak kasihan padamu?" ucap Arga sedikit lebih santai karena Mentari sudah tak lagi ada dalam penampilan buruknya.
"Tadi dia kekeh ingin mengantarku pulang. Tapi kutolak," jelas Mentari sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaan Arga.
"Kenapa?"
"Aku masih waras dan cukup pandai memilih antara siapa yang boleh melihat rumah ini dan siapa yang mutlak nggak boleh lihat."
"Kamu takut pacarmu tahu kalau kamu sudah menikah?"
"Kamu pikir, aku mau kehilangan pacarku?"
"Seharusnya pacar yang waras nggak mungkin rela kehilangan pacarnya. Tapi, pacar yang waras juga nggak akan mau diajak kencan hingga larut malam. You know, semakin malam semakin banyak setan."
"Dan di antara setan yang banyak itu adalah kamu salah satunya," tukas Mentari mengimbuhi perkataan Arga.
"Terserah. Yang pasti setan nggak berdiam diri di rumah. Atau mungkin aku masuk ke dalam perkumpulan malaikat yang dikira setan oleh para pasangan dimabuk asmara."
Mentari bangun dari pembaringannya. Jari telunjuknya menunjuk tajam Arga. "Jangan menilaiku sembarangan. Aku masih sangat sadar tentang apa yang kulakukan."
Seakan tunjukan tajam Mentari tidak berarti apa-apa, Arga justru mengangkat sebelah bahunya cuek. "Aku nggak menilaimu. Kamu yang memberi penjelasan itu padaku. Dan, terima kasih."
Mentari mendengus geram. "Berhenti merecoki urusanku!"
Lagi-lagi Arga mengedik masa bodoh. "Oh iya. Mama bolak-balik menanyai aku mengenai bulan madu kita. Kenapa kamu belum ngomong juga ke Mama?"
"Besok aja. Aku capek."
"Jangan besok-besok melulu. Kebiasaanmu menunda-nunda sesuatu membawa bencana besar buat aku."
"Iya bawel."
Mentari bangkit dari duduknya. Seterusnya beranjak meninggalkan tempat tidurnya yang nyaman. Ya, itu sudah terbilang nyaman dibanding harus tidur beralas terpal. Tidak peduli dengan tatapan membunuh Arga. Mentari santai mengambil handuk, pakaian ganti dan peralatan mandi yang lain. Kemudian melenggang keluar kamar. Namun sebelum itu, tidak lupa dentuman pintu yang ditutup kasar berhasil membuat Arga terkena serangan jantung bergelombang rendah.
Arga geleng-geleng pelan. "Duh, Gusti. Mimpi apa aku menikahi perempuan modelan dia."
