Bab 12
"Rencananya aku mau ngomong ke Mama malam ini. Tapi, kayaknya nggak mungkin. Mama pasti udah tidur," ucap Mentari begitu kembali menginjakkan kaki di kamar. Tangannya sibuk mengusap losion dan krim malam ke wajah—istilah ritual sebelum tidur.
Arga yang melihat aktivitas Mentari tak bisa duduk tenang. Pikirannya berkata jangan lihat, namun matanya kian penasaran. Sengaja atau tidak, Mentari justru menyibak celana tidurnya hingga paras paha. Memamerkan pahanya yang putih bersih. Kemudian mengoles losion secara merata ke seluruh pahanya. Arga kian panas dingin apalagi melihat gerakan Mentari yang eksotis. Itu menurut Arga. Karena sememangnya gerakan Mentari sangat biasa di pandangan orang-orang normal (?)
"Y-ya ... ya ... jangan sekarang jugalah. Semua orang juga udah pada tidur. Emang kamu kalong," ucap Arga terbata berusaha menutupi kekalutannya.
"Kenapa, sih." Mentari bingung akan tingkah Arga. Dia berjalan menghampiri Arga. Tetapi, baru hendak melancarkan aksinya, Mentari lekas mengurung. Dia sadar seluruh tubuhnya terlalu kotor untuk Arga.
"Kenapa nggak jadi?" tanya Arga.
"Sorry, aku nggak maksud lancang. Tadi aku cuma mau mastiin kalau kamu baik-baik aja," tutur Mentari rikuh.
"Oh ..." Arga manggut-manggut. Cukup paham niat Mentari, yaitu memeriksa panas tubuhnya lewat cara menyentuh kening. "Kenapa nggak dilanjutin?" pancingnya.
"Nggak mau. Aku takut tangan kotorku mengotori wajahmu."
Mentari kembali ke tempat semula. Ditaruhnya jepitan rambut di meja kerja. Lalu bergerak ke tempat tidur. Dan semua gerakan itu dilakukan dengan sangat biasa.
Namun, tidak di mata Arga. Baginya Mentari seakan sengaja bertingkah manja yang menggoda untuk menarik perhatiannya. Hingga Mentari membaringkan dirinya di ranjang, Arga tetap saja mencuri lirik ke arah Mentari.
"Aduh, Gusti. Betapa berat cobaan ini," gumam Arga sambil mengusap dadanya pelan. Bagaimanapun dia adalah laki-laki normal. Terlebih melihat Mentari yang tidak biasa berpakaian terbuka. Menampakkan salah satu bagian tubuhnya yang selalu tertutup berhasil membangunkan jiwa lelaki Arga dan menimbulkan pikiran yang kian penasaran.
Mentari tak lagi meracau. Dia sudah tentram di posisinya. Itu artinya, Mentari sudah terlelap. Menyadari tak ada lagi pergerakan dari Mentari, Arga mengintip dari balik selimut yang dia gunakan sebagai tameng untuk menutupi kekalutannya supaya tidak diketahui Mentari.
Pelan-pelan Arga bangkit dari tidurnya. Beriring jantung yang berdetak semakin cepat, Arga bergerak perlahan menuruni tempat tidur. Dan Entah di detik mana, Arga sudah berada di samping Mentari. Arga memandangi wajah Mentari yang damai. Tidak sedikit pun dia terusik dengan kehadiran Arga.
Sadar atau tidak, Arga menjulurkan tangannya mendekati wajah Mentari. Dalam hitungan detik pula tangan itu telah mendarat di wajah Mentari. Arga mengusapnya pelan. Kemudian perlahan, Arga menundukkan kepala.
Semakin dekat ...
Kian dekat ...
Hingga hampir sampai.
Arga tersadar.
"Astagah, Arga! Apa yang hendak kamu lakukan. Kamu berniat mencuri kesempatan di waktu Mentari terlelap?" rutuk Arga pada dirinya. Hampir saja dia mencium Mentari.
"Nggak. Aku nggak mungkin sebodoh itu. Aku nggak mungkin nekat mencium perempuan murahan ini bahkan ketika dia terlelap." Arga mengacak rambutnya kasar. "Aku nggak mungkin bego."
Cepat-cepat dia kembali ke tempat tidurnya. Tidak berhenti dia mengumpati kebodohannya. "Aku pasti gila. Ini pasti gara-gara aku merindukan Samantha hingga aku khilaf membedakan Samantha dan Mentari," racaunya. "Ya. Aku yakin ini efek dari keriduanku terhadap Samantha."
Arga membaringkan tubuhmu. Matanya menyelisik lekat langit-langit kamar. "Astagah! Barusan aku bermimpi aneh," ucapnya. Dia pura-pura meyakinkan diri kalau barusan itu hanyalah mimpi.
"Kayaknya aku harus mencari di mana Samantha. Aku harus tahu apa alasan dia kabur di hari pernikahan kami." Arga berpikir sejenak. "Atau jangan-jangan." Ditolehkannya kepala ke arah Mentari. "Perempuan ini yang mengancam Mantha supaya Samantha kabur. Kemudian perempuan ini berlagak tidak tahu apa-apa. Itulah mengapa dengan mudahnya dia mau menggantikan Samantha," tebak pikiran jahat Arga.
"Argh ... kok, jadi gini, sih. Pikiranku kenapa ikut-ikutan kacau. Jelas-jelas Mentari punya pacar. Jika memang dia mengincarku, kenapa dia terlihat sangat terpaksa dengan pernikahan kami."
Pikiran Arga serabut. Sepanjang malam dia berdebat dengan batinnya sendiri. Dia membuat pendapat, lalu dia menyanggahnya sendiri. Sampai-sampai dia tidak bisa terpejam barang hanya semenit.
"Perempuan ini kenapa harus mirip Mantha," gumam Arga.
Tangannya lekas meraih ponsel. Berselancar di dunia yang bahkan sudah lama dia tinggalkan. Sosial media. Dia punya sosial media hanya sebagai topeng saja. Hanya supaya terlihat keren setiap ada orang yang menanyakan nama akun-akun sosial medianya. Sisanya, Arga enggan mengurusi semua itu. Baginya berselancar di sana hanya buang-buang waktu saja. Kecuali aplikasi hijau bersimbol telepon, itu wajib karena mendatangkan relasi dan uang.
Terlanjur tidak bisa tidur. Akhirnya Arga menghabiskan malam dengan mencari jejak Samantha. Berharap Samantha meninggalkan kode supaya Arga mudah mencari dan menemukannya.
Pagi menegur lagi. Sinar matahari hangat menembus tanpa permisi, masuk lewat ventilasi udara. Kehadiran sang matahari berhasil mengusik Mentari dari tidurnya yang panjang. Semalam dia teramat nyenyak sampai lupa di dunia antah-berantah mana dia berkelana.
"Oh ... sahabat. Kamu muncul terlalu cepat," ucap Mentari pada sinar matahari. Mereka memiliki nama yang sama, namun tidak dengan nasib. Jika matahari ada untuk menerangi bumi, memberi kehidupan bagi insan-insan di bawah naungannya, walau kadang diumpat karena panas dan membuat gerah, setidaknya dia pernah membuat banyak orang bersyukur karena kehadirannya. Berbeda dengan Mentari yang selalu dianggap pembawa petaka terlebih bagi suaminya sendiri.
Mentari mengerjapkan matanya sekali lagi, mengusapnya sebagai upaya menghilangkan sisa kantuk. Barulah kemudian beringsut ke lantai bawah.
"Setiap hari begini, kakiku bisa patah," rungut Mentari lebay. Karena nyatanya di mana-mana orang berjalan tentulah menggunakan kaki. "Mana masih ngantuk. Untung hari Minggu," tambahnya.
Mentari memainkan ponsel di sofa ruang tamu. Sama sekali tidak ada keinginan untuk memasak pagi ini. Toh, Arga juga tidak berisik masalah sarapan. Karena dasarnya Arga tidak pernah memakan makanan buatan Mentari.
"Halo, Ma," ucap Mentari segera setelah tersambung dengan seseorang di balik telepon pintarnya.
"Pagi, Sayang," balas Mama mertua.
Mentari terkikik malu. "Pagi, Ma."
"Sudah sarapan?"
"Baru bangun, Ma," jawab Mentari terkekeh sumbang.
"Maklum, ya. Tiap malam kerja rodi."
"Eh." Mentari berinterjeksi. Dia sangat paham maksud perkataan sang Mama mertua.
"Tumben pengantin baru nelpon. Nggak mungkin kalau alasannya gara-gara bosan. Wong, Mama sama Papa dulu di awal menikah masih semangat-semangatnya. Ya, sampai sekarang, emang masih semangat. Tapi, kecepatan motoriknya udah rada berkurang," jelas Mama mertua tanpa malu.
"E-enggak, Ma. Bukan gara-gara bosan," sergah Mentari. "Aduh. Malah ngomong gitu," Dia menepuk jidat akibat kebodohannya meladeni omongan Mama. Sudah gitu, mengeluarkan kalimat yang terdengar sangat mengerikan.
"Jadi ... gara-gara apa, dong?"
"Gini, Ma. Ini masalah bulan madu."
"Kalian setuju?" Suara Mama naik sepuluh oktaf membuat gendang telinga Mentari hampir pecah. Untung lewat telepon. Bisa dibayangkan kalau Mentari bersebelahan langsung dengan Mama. Bisa-bisa bukan hanya gendang telinganya saja yang pecah, tetapi juga pembuluh darah dan serangan jantung tiba-tiba.
"E-enggak, Ma. Maksud aku, Arga, sih, excited, Ma. Tapi, Mentari nggak bisa. Mentari nggak dikasih cuti sama kantor," ucap Mentari berbohong. Sebenarnya dia tidak enak hati menolak usul Mama mengenai bulan madu mereka, namun Mentari juga tidak ingin mengambil resiko bulan madu yang mengenaskan.
"Kalau begitu, biar Mama yang ngomong langsung sama bosmu."
"Jangan, Ma. Jadi, gini, Ma. Kantor lagi sibuk-sibuknya. Kebetulan Mentari adalah sekretaris. Ya, Mama tahulah gimana kinerja bos tanpa sekretaris."
"Artinya Mama masih lama, dong, nimang cucu. Padahal Mama selalu ngiri setiap teman Mama bangga-banggain cucu mereka di arisan," ucap Mama bernada lesu.
"What the hell? Pernikahan kami aja belum seumur jagung, dan udah ditagih cucu. Yang bener aja," batin Mentari menjerit.
"Habis gimana, Ma. Kantor Mentari sibuk. Entar kalau Mentari ngeyel minta libur, yang ada Mentari dipecat."
"Bagus itu. Kamu nggak usah capek-capek kerja. Fokus ke cucu aja."
"Terus, kalau aku nggak kerja. Dan nanti aku cerai dari Arga, aku mau makan apa," sergah Mentari dalam hati.
"Nggak bisa, Ma. Pekerjaan ini, pekerjaan yang aku impi-impikan sejak dulu."
"Ya udah, Sayang. Mama pun nggak bisa egois."
"Maaf, ya, Ma."
"Nggak apa-apa. Asal usaha di rumah jangan sampai kendor, ya."
"Iya, Ma." Mentari terpaksa berkata demikian daripada Mama mertuanya terus merengek minta cucu.
"Usaha, ya. Apa yang mau diusahain dari pernikahan nggak punya arah dan tujuan seperti ini," ucap Mentari pelan begitu sambungan terputus.
