Bab 2
Di dalam kamar Arga, tepatnya di pinggir ranjang. Mentari termangu. Ucapan Arga di gereja tadi masih terngiang jelas di telinganya. Mentari semakin takut kisah suami dingin dan kejam di dalam novel, justru terealisasikan di hidupnya. Mentari bahkan bertambah resah Arga semakin membencinya dan memperlakukannya tidak seperti istri sepantasnya.
"Huh ... harusnya aku tahu diri. Aku bukan pengantin pilihan Arga," gumam Mentari mengembuskan napas panjang.
Di tengah kekalutan Mentari dalam tenungannya, terdengar suara pintu dibuka. Mentari tidak berani melihat ke sana sekali pun dia tengah dilingkup rasa ingin. Meski tanpa perlu mendongak, Mentari sudah tahu siapa pelaku pembuka pintu itu.
Buk!
Benda yang lebih akrab disebut jas, terpelanting kasar di atas kasur. Otomatis Mentari terlonjak, tetapi tetap berusaha menutupi keterkejutannya tanpa berani mendongak menatap sang suami.
"Ngapain kamu di sini? Aku nggak suka tempat tidurku kotor karena bekas tubuhmu!" Kalimat nyelekit dan menohok tercetus dari bibir Arga.
Mentari mengerti. Secepat saja dia bangkit dari duduknya. Dengan tertunduk Mentari meminta maaf. "Maafin aku Arga. Aku nggak tahu kalau ternyata diriku sangat kotor di matamu."
"Harusnya tanpa perlu kujelaskan, kamu sudah tahu itu. Kamu bukan istri pilihanku." Arga berdecih. "Bagaimana mungkin perempuan seperti dirimu kepikiran untuk menggantikan Samantha."
"Aku juga nggak pernah memikirkan ini. Orang tuaku yang terus membujukku. Orang tuamu juga," ucap Mentari dengan nada bergetar, memberanikan diri.
"Diam! Kamu nggak perlu menjawab untuk semua omonganku. Sadarlah, siapa kamu di sini. Hanya pengantin pengganti." Arga menunjuk kasar ke arah Mentari. "Lepaskan sprei kasur ini. Aku jijik jika harus tidur di bawah bayang kotor tubuhmu," ucapnya kejam sambil kemudian berlalu ke kamar mandi.
Begitu Arga membalikkan badan, air mata Mentari mengucur deras membasahi pipinya. Pikirannya teringat akan pesan Papa. Pesan supaya Arga terus berdiri di sisinya tanpa membiarkan setetes air mata menetes.
"Nggak apa-apa, Tari. Anggap aja ini eksperimen baru di hidupmu. Dan tugasmu adalah memecahkan eksperimen itu. Mencairkan hati Arga yang beku," batin Mentari menyemangati dirinya.
Tak berapa lama, pintu kamar mandi terbuka. Dari balik kesibukannya memasang sprei, Mentari mencuri lirik ke sana. Di sana Arga tengah berdiri sambil mengusap handuk ke permukaan rambutnya yang basah. Munafik kalau Mentari tidak terpikat. Arga laki-laki bertubuh tegap dengan sejuta pesona yang parasnya tidak diragukan lagi.
"Tolong matamu jangan memandang saya terlalu lama. Saya tidak punya asuransi apabila hatimu sakit di saat hari perceraian kita tiba," ucap Arga sinis.
Mentari yang tersadar secepatnya mengalihkan perhatiannya dari Arga. Lalu pura-pura sibuk memasang sprei. Namun, baru satu sudut sprei yang terpasang, sebuah tangan menimpali menggenggam kuat pergelangan tangannya.
"Siapa yang menyuruh kamu mengganti sprei kasur saya?" bentak Arga.
"Hm ..." Mentari bingung bercampur takut. "Kamu yang menyuruhku."
"Kamu budek atau pikun? Sejak kapan saya menyuruhmu mengganti sprei di kasur saya. Saya hanya memerintahmu untuk melepas sprei kotor bekas dudukmu. Kalau kamu malah memasangnya, sama saja sprei saya ternoda oleh bekas tubuh kotormu. Pergi sana!" Arga mendorong kuat tubuh Mentari. Dia melepas sendiri sprei yang sedang dipasang Mentari, kemudian memasukkannya ke dalam keranjang pakaian kotor.
Mentari sama sekali tidak berani menatap Arga. Alih-alih mengalihkan perhatiaannya, Mentari memilih membersihkan diri. Siapa tahu setelah dia membersihkan diri, Arga tak lagi memandangnya sebagai sosok yang kotor. Walau memang mustahil.
"Mau kemana kamu?" sergah Arga ketika Mentari hendak keluar kamar bersama pakaian dan sebuah handuk di pundaknya.
"Mandi," jawab Mentari pelan. Tidak berani berbalik badan menatap Arga.
"Heh ...! Kamu mau mandi di mana? Kamu nggak lihat di situ ada kamar mandi?" amuk Arga seraya menunjuk pintu kamar mandi yang kebetulan letaknya berada di sebelah lemari.
"Tapi ..."
"Tapi apa?"
"Aku nggak mau mengotori kamar mandimu. Aku terlalu kotor untuk mandi di sana," jawab Mentari dengan bibir bergetar.
Arga melongos malas. "Malam ini saya izinin kamu mandi di sana. Tidak untuk besok."
"Berarti, besok saya mandi di kamar mandi bawah?"
"Jangan berlagak bodoh. Saat rencana pernikahanku dengan Mantha, kamu sudah tahu kalau aku dan Mantha akan tinggal di rumah yang berbeda dari orang tuaku."
"Itu jika kamu menikah dengan Mantha. Faktanya kamu menikah denganku. Apa kita masih tetap tinggal di rumah masa depan kalian?"
"Bisakah Anda tidak bertanya? Telingaku sakit mendengar semua ocehanmu."
Bagai ayam yang berusaha melawan udara dingin dengan menyembunyikan kepala di antara bulu lehernya, Mentari hanya mengangguk. Langkahnya lunglai diiring ragu menuju kamar mandi milik Arga.
Selepas Mentari mandi, didapati Arga berbaring di ranjang. Matanya tertutup rapat, rambutnya yang tadi basah kini sudah tidak basah lagi. Dari gestur tubuhnya, Arga tidak benar-benar tidur. Dia lebih pantas disebut sedang memikirkan sesuatu. Mungkin pernikahan mereka yang tidak pernah hadir di angannya.
"Duduk di atas terpal!" perintah Arga. Lihatlah! Bahkan dia menyadari kehadiran Mentari.
Mentari menurut saja. Dia segera mengempas pinggul ke permukaan terpal di bawah tempat tidur Arga. Cocoknya terpal itu disebut alas lantai yang selalu dipijak-pijak Arga apabila lalu lalang di kamar. Terpal itu dibuat supaya telapak kaki sang empu kamar tidak bersentuhan langsung dengan lantai yang dingin.
"Saya ingin bicara tentang pernikahan kita," tukas Arga yang entah sejak kapan sudah bangkit dari rebahannya.
"Katakanlah! Aku akan mendengarnya," balas Mentari.
"Aku tahu ini terlalu drama. Apalagi sampai harus membuat perjanjian hitam di atas putih. Tapi, aku melakukannya demi kebaikan kita. Antisipasi supaya tidak ada satu pun pihak yang merasa dirugikan."
"Apa yang kamu maksud adalah kita perlu membuat perjanjian atas dasar persetujuan kedua belah pihak seperti kisah dalam novel?"
"Kupikir kamu sudah tahu."
"Jadi, kesepakatan apa yang harus kutaati?"
"Nggak banyak. Cukup jangan tidur di kasurku, jangan membongkar status hubungan kita di depan publik karena yang orang-orang tahu aku menikah dengan Mantha bukan denganmu. Jangan meminta kebutuhan biologismu padaku. Maksudku kebutuhan di luar kebutuhan pangan dan sandangmu."
"Nggak masalah. Sekali pun kamu tidak memberiku nafkah apa pun, aku nggak masalah. Asal, jangan melarangku bekerja."
Arga tersenyum sinis. "Jangan berlagak seperti istri yang diperhatikan. Jangankan bekerja, kamu memiliki seribu laki-laki lain pun, saya nggak peduli."
"Itu saja syarat darimu? Aku lelah dan ingin segera istirahat."
"Lalu, Anda nggak punya syarat lain selain syarat larangan bekerja?"
"Aku belum menemukannya. Besok-besok kalau aku mau, aku bisa mengutarakannya. Atau kamu ingin membuat hitam di atas putih itu sekarang juga?"
"Untuk sekarang, kita masukkan kesepakatan itu saja. Nanti bagaimana, akan saya masukkan ke dalam daftar yang baru."
Mentari manggut-manggut. "Terserah. Yang penting aku nggak menerima penolakan saat syaratku kuajukan."
"Anda pikir saya sepsikopat itu. Maaf, Anda bukan selera saya. Tolong sadar posisimu di pernikahan ini!" Arga tersenyum sungging.
"Aku sadar. Justru karena sadarlah, aku berani berkata demikian. Setidaknya aku masih bisa hidup bebas sekali pun sudah terikat pernikahan nggak berguna."
"Dasar cewek kotor. Murahan. Bisanya cuma jadi pengganti. Ingat, Nona Mentari, selamanya Anda nggak akan pernah jadi istri terpilih."
Mentari berusaha menegarkan hati. "Nggak apa-apa nggak terpilih. Malahan dengan nggak terpilihnya saya, saya jadi terpilih menutupi aibmu, aib orang tuamu, aib seluruh keluargamu. Bayangkan kalau tadi saya tidak mau menerima tawaran Mamamu. Betapa malunya keluargamu."
"Jangan sombong karena merasa berbudi telah menyelamatkan nama baik keluargaku. Jangan lupa, keluargamu pun ada di sana."
"Andai aku tidak mau pun, aku nggak peduli. Aku bahkan nggak peduli dengan martabat keluargaku. Seperti katamu, aku cuma jadi pengganti. Dan pengganti tidak punya rasa malu," balas Mentari tak kalah tajam.
Mentari sendiri bingung dari mana dia menemukan keberanian barusan. Padahal, beberapa menit lalu dia sangat takut pada Arga. Jangankan untuk mengimbangi perkataan Arga, melihat matanya saja Mentari tidak berani.
"Sayang aku rindu padamu." Suara lirih Arga.
Mentari sontak mendongak ke ranjang. Dilihat Arga tengah mendekap kuat foto Mantha. Barulah kemudian dia sadar kalau ternyata dinding kamar Arga sesak dipenuhi foto Mantha. Bahkan sampai ke atas lemari dan nakas.
"Sakit." Lagi-lagi Mentari menangis. Teramat kejam takdir memperlakukannya; sedikit pun tidak memihak.
