Bab 3

"Kalian yakin langsung pindah rumah sekarang?" tanya Ami ibu mertua Mentari.

"Yakin, Ma. Lagian aku sama Mantha udah rencanain ini dari lama," jawab Arga membalas omongan Mamanya.

"Itu kan saat kamu bersama Mantha. Nyatanya, sekarang kamu bersama Mentari."

Arga mendengus pelan. "Emang sekarang Arga bareng Mentari, Ma. Tapi itu nggak mengubah keputusan Arga."

"Ya sudah. Kalau itu memang yang terbaik, Mama cuma bisa ikut," pasrah Ami.

"Biarlah, Ma. Mungkin Arga dan menantu kita ingin hidup mandiri," timpal Haksa ayah mertua Mentari.

Sementara Mentari hanya bisa diam mendengarkan perdebatan keluarga barunya itu. Dia tidak berani ikut campur apalagi sampai menolak keputusan Arga. Toh, bagaimanapun omongan Arga ada baiknya. Setidaknya dengan mereka tidak tinggal di rumah orang tua Arga, mereka tidak perlu berpura-pura selayaknya pengantin baru yang bahagia. Mentari juga akan sangat leluasa melakukan apa yang dia mau.

"Lho, Nak Tari kok diam aja. Ayo, menantuku sayang. Habiskan sarapanmu. Atau kamu tidak suka dengan menu makanannya?" tanya Ami mengalihkan perhatian pada Mentari.

"Eh, enggak, Ma. Mentari suka," jawab Mentari kikuk.

"Kalau kamu suka, kenapa kelihatan nggak berselera. Apa kamu sedang memikirkan sesuatu?"

"Nggak ada apa-apa, Ma. Mentari nggak sedang berpikir. Mentari cuma kurang selera makan saja."

"Atau kamu ingin makan di luar?"

"Nggak usah, Ma. Makasih." Mentari menunduk seraya mencuri lirik dari ekor matanya ke arah Arga.

Berbeda dengan Arga yang langsung berdehem tidak suka. Dia tidak suka dengan sikap Mentari yang sok jaga image. Bahkan Mentari tidak beradap sekali pun, Arga tidak peduli. Baginya Mentari tidak ada gunanya. Tidak lebih dari istri pengganti yang memang sengaja hadir untuk menggantikan posisi Samantha.

"Sepertinya, aku perlu membicarakan hal ini bersama Mentari," batin Arga. Baru saja dia teringat akan sesuatu.

Selesai makan, Mentari beringsut dari duduk hendak mengumpulkan piring kotor untuk dibawa ke wastafel. Tetapi langkahnya dicegah Ami. "Taruh, Nak. Biarkan Mbok Ijah yang membereskan semua piring-piring ini." Ami bermaksud mengambil alih piring-piring kotor dari tangan Mentari, kemudian menaruhnya kembali ke atas meja.

"Nggak apa-apa, Ma. Kalau sekadar mencuci piring, Mentari sangat bisa. Lagi pula, kasihan Mbok Ijah jika harus mengerjakan semuanya," tolak Mentari lembut.

Ami tersenyum. Dia tersentuh. Membiarkan jua Mentari membawa piring bekas makan mereka ke tempat pencucian piring. "Lihat, Arga! Zaman sekarang susah cari istri yang multibisa. Meskipun Mentari lihai mengotak-atik perangkat lunak di laptop, setiap hari bekerja berbalut kemeja, duduk anteng di atas kursi yang nyaman, pula ruangan berfasilitas mewah. Namun, Mentari tidak enggan melakukan pekerjaan rumah. Kamu harus mensyukuri itu," ucap Ami pada Arga.

Arga terlihat tidak peduli. Terbukti dari caranya yang cuma mengedikkan bahu sambil memamerkan senyum masa bodoh. Sesempurna apa pun Mentari di mata Ami, di mata Arga Mentari tetaplah Mentari. Bukan istri pilihannya.

"Jangan begitu, Arga. Mamamu benar. Sekarang ini perempuan seperti Mentari hanya ada satu di antara seratus ribu," timpal Haksa.

Di balik punggungnya yang menghadap Arga, Ami, dan Haksa, Mentari tersenyum. Arga memang selalu membentangkan bendera perang. Tetapi, Mentari mempunyai keluarga Arga yang akan sigap membelanya. Mentari juga yakin, keluarga Arga akan sangat menyalahkan Arga ketika tahu anak semata wayang mereka hidup di bawah bayang Samantha.

Usai mencuci piring dengan menyempatkan diri membantu Mbok Ijah membersihkan dapur, Mentari bergerak menuju kamar Arga. Tempat yang tidak pernah terlintas di pikiran Mentari akan melepas lelah di sana barang hanya tidur semalam. Tubuh beralas terpal, sebuah bantal penyanggah kepala, dan selimut tipis pinjaman tak ikhlas dari Arga. Miris sekali memang. Baru kali itu Mentari merasakan tidur paling mengerikan di hidupnya.

Di depan pintu kamar Arga, Mentari termenung sejenak. Bukan tidak suka bertemu Arga. Melainkan tidak suka dengan perdebatan yang pasti timbul setiap kali dia dan Arga terjun dalam sebuah perbincangan. Tidak cuma itu. Tatapan Arga yang mematikan menyerupai singa ingin menerkam mangsa juga berhasil membuat keberanian Mentari ciut. Ditambah pula, kalimat keji yang terlontar dari mulut Arga yang terus memandangnya kotor.

"Ya, Tuhan. Belum genap dua hari telah begitu banyak cobaan yang kulalui. Aku nggak yakin kuat selamanya," bisik hati Mentari.

Tiba-tiba pintu kamar Arga terbuka. Terpampanglah manusia yang sejak tadi sangat ingin dihindari Mentari. Tatapan mata yang membunuh dan rahang yang selalu mengeras.

"Ngapain kamu di sini? Kamu ingin orang tuaku mengira kalau aku adalah suami yang kejam yang nggak memperbolehkan istrinya masuk ke kamar?" sentak Arga.

"Kamu tahu dari mana aku di sini?" Daripada membalas amukan Arga, Mentari lebih ingin tahu dari mana Arga mengetahui kalau dia sedang berdiri di depan pintu kamarnya.

"Apa kamu nggak punya mata. Mata Anda nggak bisa melihat di situ ada kamera CCTV." Arga menunjuk kasar pada benda pengintai yang letaknya tepat di atas pintu.

"Maaf. Aku nggak tahu kalau ternyata kamarmu punya mata-mata," ucap Mentari pelan.

"Makanya punya mata dipakai. Jangan bisanya mencuri lirik. Beruntung itu CCTV. Bagaimana kalau tadi itu justru seekor ular. Sudah lama kamu diterkam."

"Dan nyatanya, itu bukan ular. Kamu nggak mungkin menaruh ular di pintu kamarmu yang bersih," tukas Mentari menohok.

Mentari melangkah dengan sebal. Tidak peduli sesaat tadi tubuhnya sempat membentur tubuh Arga. Kelihatannya juga, orang yang terbentur tidak bermaksud protes. Biarkan sajalah.

"Segera kemasi barangmu! Siang ini kita harus pindah!" perintah Arga.

"Aku nggak punya barang yang perlu dikemasi. Barangku masih tersusun cantik di koper. Itu pun kalau kamu lupa," balas Mentari santai tanpa mengalih pandang dari telepon genggamnya.

Arga berdecak geram. Bisa-bisanya seorang perempuan tidak cantik, tidak menarik seperti Mentari merendahkan dirinya. Memang Mentari tidak ada melontarkan kalimat cemooh, tetapi cara Mentari yang membalas omongan Arga dengan ketus, Arga merasa bahwa Mentari sedang merendahkannya.

Mentari tetap fokus pada ponselnya, sedang Arga mengemasi barang-barangnya diikuti mulut yang tidak berhenti merungut. Dia tidak suka melihat orang bersantai apabila dirinya sedang sibuk. Namun, jika dia meminta bantuan Mentari, Mentari tentu menertawainya. Bagaimanapun Arga sudah berani mencemooh Mentari si perempuan kotor.

"Berkemaslah! Aku ada urusan sebentar," ucap Mentari lekas menyambar tas selempangnya.

"Kamu mau kemana?" kepo Arga.

"Pacarku menunggu. Aku lupa kalau sudah buat janji berkencan dengannya," jawab Mentari kemudian berlalu meninggalkan Arga.

Sikap Mentari tentu membuat Arga semakin geram. Dia sibuk berkemas, sementara Mentari yang seharusnya berkewajiban membantunya justru memilih berkencan dengan laki-laki lain.

"Mantha, di mana kamu, Sayang?" lirih Arga.

Satu setengah jam lamanya Mentari pergi. Selama itu pula Arga sibuk mengemasi barang-barangnya. Mereka harus pindah sebelum petang menyapa. Nanti malam Arga ada janji bertemu klien di restoran miliknya.

"Sorry, Arga. Aku keluar agak lama. Pacarku rewel minta ditemani berbelanja," tukas Mentari begitu membuka pintu kamar Arga.

"Mama tahu kamu pergi?" tanya Arga.

"Tahu. Selain meminta izin padamu, aku juga meminta izin pada Mama. Tenang saja."

"Andai kamu tidak meminta izin pun, aku tidak peduli. Karena jika sampai Mama mengetahui urusan kencanmu, kamu pasti diceramahi habis-habisan."

Mentari menggeleng. "Nggak mungkin. Mama tahu aku punya pacar. Aku cuma pengantin pengganti di sini."

"Baguslah. Setidaknya kamu punya kesadaran akan posisimu."

"Nggak sebatas aku. Kamu juga harus tahu diri. Nama baik keluargamu selamat itu disebabkan olehku."

Arga tidak membalas lagi. Dia malas jika harus mengungkit kembali masalah ini. Dia tidak ingin Mentari besar kepala. Saat ini yang terpenting hanyalah menjalani dulu pernikahan tidak berguna mereka. Arga percaya suatu hari nanti dia pasti bertemu dengan Mantha. Dan ketika hari itu tiba, Arga langsung menceraikan Mentari, lalu menikahi Samantha di hadapan Mentari.

"Bangunkan aku saat sesi mengemasmu sudah selesai. Aku ingin istirahat sedikit lagi." Mentari merebahkan tubuh di atas terpal tempat tidurnya semalam. "Oh iya, kalau kamu nggak keberatan, aku pengin beli kasur baru di rumahmu dan Mantha. Aku nggak yakin kuat tidur selamanya dengan beralas terpal seperti ini. Aku juga yakin kamu pun tidak akan kuat," tambahnya sebelum selanjutnya benar-benar terlelap.

"Terserah," balas Arga diikuti decak. Tidak masalah selagi Mentari tidak meminta sepeser uang padanya.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya