Bab 8
Pagi ini Mentari bangun lebih subuh. Bukan karena ada rapat, tetapi dia berencana memasak sarapan sendiri. Entah mengapa dia ingin sekali makan makanan rumah. Tidak seperti biasanya sarapan di kantin kantor atau pakai jasa delivery.
Mendengar kebisingan dari lantai bawah, tidur Arga terjaga. Dia terbangun kemudian mengerjapkan mata. Penglihatannya langsung mencelos ke tempat tidur Mentari. Tidak ada siapa-siapa di sana. Itu artinya keributan di bawah adalah ulah dari Mentari.
Arga mengedik cuek. Tidak peduli, dia kembali melanjutkan tidurnya. Semalam setelah perdebatan tak berartinya bersama Mentari, dia terbangun dan melanjutkan pekerjaan yang belum selesai di kantor. Ya, memang pekerjaan tidak akan ada habisnya meskipun dikerjakan terus-menerus. Sebab sememangnya itu telah bagian dari konsekuensi hidup.
Tak berapa lama, Mentari kembali lagi ke kamar. Dia mengemas handuk dan pakaian yang hendak dipakai ke kantor, lalu bermaksud beranjak keluar kamar. Tetapi sebelum itu, dia menyempatkan mencuri lirik ke arah Arga. Mentari baru sadar ternyata Arga tidurnya sangat berantakan.
"Mau kemana kamu?" sergah Arga ketika tangan Mentari berhasil menggenggam kenop pintu.
Mentari sedikit tersentak. "Bukannya kamu sedang tidur?"
"Sedetik yang lalu. Sekarang aku sudah bangun."
"Oh ... oke." Mentari manggut-manggut mengerti. Tanpa mengacuhkan Arga lagi dia melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda; keluar kamar.
"Tari, kamu hendak kemana dengan handuk itu?"
Mentari membalikkan tubuhnya malas diikuti dengusan sebal. "Kamu pikir, orang membawa handuk dan baju ganti untuk apa? Untuk jualan siomay?"
"Bisa saja, kan. Tidak ada larangan penjual siomay membawa handuk dan baju saat dia berjualan."
"Kalau itu yang ingin kamu bicarakan. Aku sangat menyesali waktuku yang berharga terbuang cuma-cuma. Sangat nggak penting." Mentari mencelos seraya menekan kenop pintu kuat-kuat.
"Mentari, apa kamu berniat mandi di lantai bawah?" sergah Arga sebelum tubuh mentari berlalu dari ambang pintu.
"Kamu sudah lebih tahu. Aku tidak tega mengotori kamar mandimu yang suci."
Arga menyunggingkan bibir. "Bagus. Setidaknya kamu terus mengingat posisimu dan tubuhmu yang kotor itu."
Mentari geram, dia menggeletakkan kakinya kuat-kuat. Tidak lupa menutup pintu kasar. Namun, kemudian dia berpikir, dia terlalu bodoh hingga mau meladeni sikap Arga yang tidak punya hati. Harusnya dia tidak perlu begitu. Dia menganggap saja si Arga tidak ada ubahnya seperti angin lalu.
"Mulai hari ini cobalah untuk tidak mengacuhkan semua itu," ucap Mentari pada dirinya.
Sehabis mandi, Mentari kembali ke kamar dengan sudah berpakaian rapi. Dia ke kamar hanya untuk mengambil peralatan bersoleknya. Sangat malas jika harus bersolek di kamar Arga, terlebih ketika sang empu juga berada di sana.
"Mau kemana kamu?" tanya Arga begitu mendapati Mentari hendak beranjak lagi. Padahal belum dua menit dia berada di sini.
"Aku punya urusan di luar tempat sucimu ini. Berhentilah menanyakan aku kemana. Atau kamu nggak punya pertanyaan lain yang lebih penting," jawab Mentari tanpa berbalik.
"Jangan terlalu percaya diri. Aku bertanya begitu karena takut kamu mencuri sesuatu di rumahku. Gelagatmu sangat mencurigakan. Pergi lama dan datang kemari sebentar. Aku khawatir kepergianmu memiliki tujuan tertentu."
"Apa kamu mencoba menuduhku sedang menyembunyikan sesuatu milikmu?"
Arga menaikkan sebelah alis.
"Jika itu yang kamu pikirkan, terserah. Yang pasti aku nggak segila itu dengan kepunyaanmu. Jika sebatas perabotan di rumah ini aku cukup mampu membelinya untukku."
"Oh ya? Kamu yakin mampu? Atau kamu hanya mampu membeli tiruannya?"
"Itu bukan urusanmu. Sekali pun aku hanya bisa membelinya dalam bentuk tiruan, itu bukan urusanmu."
Mentari terbelalak. Dia baru sadar ternyata Arga hanya memakai handuk untuk menutupi bagian bawahnya, dan dadanya yang bidang dibiarkan telanjang.
"Aku harus segera keluar. Waktuku terlalu berharga untuk meladeni semua ucapan nggak pentingmu," ucap Mentari mencoba menutupi kegugupannya. Semoga saja Arga juga tidak sadar.
"Apa yang kamu bawa di pouch kecil itu?"
"Ini alat bersolek. Kenapa? Kamu ingin bersolek juga? Atau kamu tidak ingin aku pergi dari sini dan melihatku bersolek?"
Arga mencebik. "Jangan perasaan cantik. Sekali pun kamu berdandan, mataku nggak buta melihat mana perempuan yang benar-benar cantik dan mana yang bersembunyi di balik make up-nya."
Mentari menggeleng menanggapi ucapan Arga. Dia tidak menyangka sepedas itu mulut laki-laki itu. Untuk apa dia mengurusi semuanya bahkan sampai ke alat solek. Jika memang dia tidak suka dengan kehadiaran Mentari, tidak susah untuk tidak peduli tanpa perlu ingin tahu kemana Mentari akan pergi dan hendak berbuat apa.
Di meja makan Mentari menikmati sarapannya tanpa berniat menawarkannya pada Arga. Dia tidak ingin mengambil resiko sakit hati dengan ucapan Arga yang menyakitkan. Karena tanpa perlu ditebak pun, Mentari sudah tahu kalau Arga pasti menolak ajakan sarapannya.
"Amboi ...! Santainya kamu makan di sini tanpa mengajakku," ucap Arga merecoki aktivitas Mentari yang tengah sibuk menikmati sarapannya.
"Aku memang nggak ada niat mengajakmu. Kalau kamu ingin makan, makan saja di kantormu. Kemarin juga kamu makan di sana."
Arga mengendus. "Heh! Siapa juga yang mau memakan masakanmu. Dari warna dan bentuknya saja aku nggak selera. Masakanmu sangat buruk."
"Aku nggak ngerti jalan pikiran Arga. Tadi dia yang sewot karena nggak kuajak makan. Sekarang, dia sendiri yang bilang masakanku nggak enak. Dasar manusia nggak punya pendirian," umpat Mentari dalam hati.
"Hari ini aku pulang larut malam. Mungkin subuh kalau bablas. Jadi, jangan menungguiku."
Mentari memicingkan mata. "What the hell? Aku nggak peduli bahkan kamu nggak pulang sekali pun. Asal kamu tahu, aku senang kamu nggak berkeliaran di rumah ini," balas Mentari sinis.
"Semua mulut perempuan pasti berbicara demikian. Tapi, hatinya nggak."
"Jangan terlalu banyak nonton drama dan membaca novel. Di kehidupan nyata, istri pengganti tidak sepolos mereka."
"Anggaplah aku percaya ucapanmu. Tapi, jangan lupa kebanyakan penulis novel pengantin pengganti adalah perempuan. Dan aku yakin mereka menuliskan kisah berdasarkan perasaan mereka. Ya, mungkin benar dibumbui fiktif, tapi aku percaya sebagian besar tulisan mereka adalah seturut hati mereka."
"Itu mereka bukan aku. Dan aku bukan penulis itu."
Arga menaikkan bahu sebelah. Dengan santainya dia mengambil gelas milik Mentari, lalu menyeruput isinya hingga setengah. "Jika masakanmu buruk, jus buatanmu nggak begitu buruk. Ini bisa menjadi pilihan terpaksa ketika nggak ada minuman lain," ucapnya angkuh.
Mentari melotot tajam. "Kalau kamu suka, bicara yang jujur. Laki-laki gentleman nggak munafik."
"Aku nggak munafik. Aku benci sikap munafik. Jangan salahkan lidahku, dia nggak bersahabat dengan semua masakan dan minuman buatanmu."
"Kau ...!" Mentari mengertak geram. Digenggamnya garpu kuat-kuat, ditekannya garpu itu pada permukaan piring.
"Aku pergi. Berhentilah marah. Sebab makan sambil marah-marah nggak baik." Arga mengusap pelan pucuk kepala Mentari. "Satu lagi, tentang bulan madu. Aku nggak suka basa-basi dengan Mama. Jadi, kalau kamu merasa keberatan untuk itu. Katakan langsung pada mereka."
"Tenang saja. Nggak akan ada bulan madu di antara kita."
"Kalau begitu, aku mau melihat sehebat apa kamu bisa membujuk Mama supaya melupakan keinginannya." Arga berbalik seterusnya melangkah pergi.
Mentari tepekur. Dia juga memikirkan itu. Bagimana jika mertuanya tidak menerima penolakan. Tetapi, dia juga tidak ingin ada bulan madu di pernikahan mereka.
"Kayaknya aku perlu menyiapkan alasan yang logis yang dapat diterima baik oleh Mama. Aku nggak suka kehadiran hari menikmati masa pengantin baru. Sekali pun itu ada, pasti akan sangat membosankan," gumam Mentari. Dia sudah membayangkan betapa mengenaskannya bulan madunya. Menikmati bulan madu sendirian, jalan-jalan tak tentu arah, dan Arga yang terus melontarkan kalimat menyakitkan.
Kring ...!
Bunyi ponsel menyentak Mentari dari kekalutan pikirannya. Segera dia menyambar ponsel yang bersebelahan dengan piringnya.
"Kenapa, Re?"
"Kamu ngantor, kan, hari ini?"
"Iya, dong. Entar kalau nggak ngantor, aku mau makan apa."
Di seberang Rere terkikik. "Lebay. Libur sehari nggak bikin kamu nggak makan."
"So, kamu nelpon aku cuma mau bahas ini?"
"Weis ... santai, Bu. Galak amat. Kayak habis berantem sama suami aja."
Mentari sedikit tersentak. Omongan Rere memang cuma candaan. Tetapi, benar. Padahal, Rere tidak tahu kalau Mentari sudah menikah.
"Gini, Tari. Aku mau bilang, jangan lupa bawa laporan dari divisi pemasaran. Pak Ghani mau memeriksanya ulang. Katanya ada yang ketinggalan diinput."
"Oh itu. Iya, Re. Nanti aku bawa."
