Bab 1
"Besok sepulang kerja kamu harus ikut Paman dan Bibi ke rumah calon mertuamu!" teriak Paman Lim pada Alinka yang baru saja ke luar dari kamar dan bersiap untuk berangkat kuliah.
Mertua?
Dalam hati Alinka bertanya-tanya. Mertua untuk dirinya? Sejak kapan ia mengiyakan akan menikah semuda ini?
"Apa maksud Paman? Siapa yang akan menikah?" tanya balik Alinka dengan menyipitkan mata, ia takut salah mendengar dan lebih memilih meminta kepastian. Ia menyelempangkan tasnya ke pundak dan fokus mengarahkan pandangannya ke arah pria yang sedari kecil mengurusnya tepat setelah kepergian kedua orang tuanya.
"Kamulah! Siapa lagi? Mana mungkin aku yang harus menikah dengan perjaka tua itu? Daripada aku, mendingan juga kamu, dasar benalu nggak tahu diuntung!" serobot Greta yang berjalan menuruni anak tangga dan mencibir sepupunya tersebut.
Perjaka tua?
Kenapa terdengar menakutkan sekali?
Alinka terperanjat. Sumpah demi apa pun ia tak pernah membayangkan akan menikah dengan orang yang sama sekali tak dikenalnya.
"Ta-tapi Paman…" selanya hendak meminta penjelasan dan mengeluarkan isi hatinya.
Belum sempat harapannya tercapai, sang bibi sudah menjambak rambutnya dari belakang.
Perih.
"Aaaaaaarrggg! Sakit, Bi!" rintih Alinka yang merasakan rambutnya ditarik begitu kuat.
Rambutnya seolah hendak tercabut dari akar-akarnya. Itulah yang terjadi jika ia berani melawan atau banyak bertanya. Bukan jawaban yang ia dapatkan, melainkan pukulan atau kontak fisik menyakitkan dari paman dan bibinya.
"Kamu itu harusnya tahu diri! Papa dan Mama kamu itu cuma ninggalin rumah kecil ini dan hutang banyak pada kami! Sudah cukup kamu menikmati bantuan kami, sekarang kamu harus membayarnya!" hardik bibi Moe sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap angkuh pada gadis cantik nan muda itu.
Degg
Hutang apa?
Seingat Alinka, semasa mereka bertiga masih berkumpul dulu, mereka selalu hidup bahagia, aman, tenteram, dan kehangatan keluarga begitu terasa. Tidak pernah ia melihat dalam seumur hidupnya, Papa dan Mama membahas masalah hutang atau bertengkar akan sesuatu hal.
"Hutang apa, Bi? Jika aku bisa membayarnya, aku pasti akan memberikan pada Bibi dan Paman untuk melunasinya. Kumohon jangan nikahkan aku dengan orang asing itu, Bi!" pinta Alinka sambil memohon ampun dan kini bersimpuh di lantai. Ia berusaha meminta kelapangan hati pasangan paruh baya tersebut.
"Gaji seumur hidup kamu kerja di kafe itu juga nggak akan bisa bayar hutang orang tuamu pada mereka. Jadi, sebagai anak satu-satunya dari Richard dan Renata, kamu harus lunasin hutang mereka! Suka nggak suka, kamu tetap harus nikah sama Abim, anak dari rentenir itu!" seru bibi Moe pada Alinka.
Deraian air mata tak dapat dicegah. Sepasang mata bulat itu telah menitikkan cairan bening yang menggenang dari muaranya.
"Nggak usah akting nangis! Buruan kuliah sana! Untung otak kamu encer jadi bisa dipakai, coba kalau nggak, siapa yang mau bayar uang kuliahmu itu?" usir Greta, sepupunya yang memang tak suka dengan adanya Alinka di rumah ini.
Dengan adanya pernikahan itu Greta tak perlu repot-repot mencari cara mengusir Alinka. Cepat atau lambat perempuan yang ia anggap sebagai benalu itu akan pergi dari sini sesegera mungkin.
Rumah ini adalah rumah peninggalan orang tua kandung Alinka. Namun, sejak kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya, Lim dan Moe beserta anak mereka tiba-tiba datang lalu mengakuisisi bahwa rumah ini adalah milik mereka, tentu saja dengan berbagai kebohongan tak masuk akal.
Alinka kecil hanya bisa pasrah mengiyakan. Kini, ia telah dewasa dan akan mencari tahu segalanya. Termasuk penyebab meninggalnya Papa dan Mamanya.
Alinka menyeka cairan bening itu dari kedua pipinya. Ia beranjak dari posisinya dan mengulurkan tangan hendak menyalami paman serta bibinya.
"Nggak usah salaman segala! Udah sana berangkat! Buruan kerja dan pulang bawa duit! Make up Bibi udah mau habis," usir bibi Moe sambil mendorong tubuh ramping Alinka.
"Bibi dan Paman, aku mohon, jangan nikahkan aku dengan orang itu. Aku tidak ingin menikah muda. Masih banyak impianku yang belum tercapai. Akan kuberikan semua uang gajiku pada kalian, tapi tolong jangan lakukan itu padaku!" harap Alinka sambil memandangi paman dan bibinya bergantian.
"Kalau kamu masih menolak pernikahan ini, pergi dari rumah ini sekarang juga! Dasar nggak tahu diri, tahu seperti ini, lebih baik dulu aku membuang kamu di pinggir jalan daripada dirawat baik-baik!" ancam paman Lim seraya mengingat kenangan lama.
Jangan!!
Merawat? Bukankah ia hanya diperlakukan bak seorang pembantu. Bahkan perlakuan mereka pada para pembantu masih lebih baik daripada dengannya.
Alinka menatap pias. Termenung. Ia hanya bisa menahan tangis yang hendak pecah untuk kedua kalinya.
'Alinka! Kamu harus kuat, jangan cengeng! Ingat apa yang pernah Mama bilang ke kamu dulu!' batin Alinka menguatkan dirinya sendiri.
"Baik, Bibi dan Paman, kalau itu sudah menjadi keputusan terbaik untuk menyelesaikan masalah hutang. Alinka berangkat kuliah dulu. Selamat pagi!" ucap Alinka pasrah dan pamit pergi dari rumah yang tiba-tiba terasa menyesakkan baginya.
"Akhirnya! Akhirnya! Kita bisa menyingkirkan anak tak tahu diuntung itu dari sini, Ma!" pekik Greta kegirangan.
Wanita itu berteriak sambil mengepalkan tangan ke udara. Ia tampak senang bukan main.
"Iya, Sayang! Begitu dia pergi, beban hidup kita akan berkurang. Tidak ada lagi yang menumpang makan dan tidur di sini. Hahaha," sahut Moe pada sang putri.
"Setelah dia pergi dari sini, aku akan meminta pengacara Han mengalihkan harta anak sialan itu padaku! Sudah cukup sepuluh tahun kita memberinya tumpangan di rumah ini. Biarkan dia menikmati menjadi istri dari perjaka tua itu, hahaha," ucap Lim pada Moe dan anak tunggalnya diakhiri tawa kemenangan.
Mereka bertiga amat bahagia merasa telah menghilangkan pengganjal dari hidup mereka dengan mengusir Alinka. Alinka akan dinikahkan dengan anak dari rentenir yang meminjami modal perusahaan Richard yang terancam pailit karena dipegang oleh Lim.
Tanpa mereka bertiga sadari, sepasang telinga mendengar jelas apa yang mereka bicarakan sedari tadi. Alinka belum beranjak dari tempatnya untuk berangkat ke kampus.
"Mama, Papa, kenapa kalian nggak ngajak aku sekalian ke surga? Kenapa kalian tega ninggalin aku bersama para penjahat yang tega merebut semua milikku? Mamaaa…" isaknya lirih sambil memukuli dadanya di tempat persembunyiannya.
"Papa, aku nggak mau nikah sama anak temen Papa! Bentuknya aja aku nggak tahu, ini malah Papa pakai nyuruh aku buat nikahin dia. C'mon Pa, ini nggak lucu!" keluh Merzal di ruang kerja sang ayah yang berada di lantai dua kediaman mereka.
Henry bangun dari kursi kebesarannya, menatap putranya dengan raut wajah tak terbaca. Ia berjalan memutari tubuh tegap putra tunggalnya dan mengakhiri dengan merangkul bahu Merzal.
"Papa nggak bercanda, Zal! Papa serius. Tolong, kamu temui dia dulu! Sepertinya dia anak yang baik dan juga cantik."
"Dari mana Papa tahu? Jangan-jangan Papa membuntutinya selama ini? Kalau dia cantik, kenapa nggak Papa aja yang nikahin dia? Kenapa harus aku? Lagipula aku sudah punya Diva, Pa," timpal Merzal memberi alasan.
Siapa yang tak kenal Diva, wanita itu adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling cantik di mata Merzal selama dua tahun lebih. Ia adalah satu dari sekian juta wanita yang beruntung bisa mendapatkan hati seorang Merzal.
"Diva itu nggak benar-benar cinta sama kamu, Zal! Papa bisa jamin itu!" yakin Henry pada putranya yang tak mau dibantah.
Merzal menatap tajam Henry. "Papa selalu bilang dia bukan wanita yang baik. Terus wanita seperti apa yang baik buat Merzal? Diva sangat mencintai aku, Pa. Aku nggak mau menikah sama perempuan pilihan Papa. Titik!"
"Oke, kalau itu mau kamu! Karena kamu nggak percaya sama kata-kata Papa, Papa akan kasih kamu kesempatan untuk menikahi Diva dengan satu syarat…"
"Apa itu, Pa? Aku akan mengambil pilihan seburuk apa pun itu karena aku yakin Diva adalah wanita yang terbaik untuk menjadi istriku!" tukas Merzal penuh keyakinan.
