Bab 2

Telapak tangannya seolah menggenggam sesuatu tak kasatmata, buku-buku jari mulai menekuk kencang lalu memukuli pahanya untuk mengeluarkan emosi dalam diri.

"Gila! Apa yang sebenarnya ada di pikiran Papa?" keluhnya seraya menendang kursi belakang kemudi.

Sopir pribadi Merzal, Pak Abdi namanya, terkejut mendapati tindakan frontal dari anak majikannya tersebut.

"Sabar, Den! Jangan pakai emosi kalau ada masalah!" saran pak Abdi pada Merzal yang merasa kesal pada sang ayah.

Ucapan sang ayah terngiang terus menerus di pikirannya. Seolah menggema tiada henti.

"Kalau kamu tetep keukeuh nikah sama Diva, maka dengan mudahnya Papa akan mencabut semua fasilitas kamu selama ini! Kamu bisa memulai pekerjaan barumu setelah menikahi Diva.." tegas Henry yang sengaja menghentikan kata-katanya.

Pria muda di hadapannya bergeming, tak bergerak menunggu kelanjutan ucapan Henry.

"Pekerjaan apa, Pa? Direktur di cabang baru perusahaan Papa?" tebaknya antusias.

"Office boy! Kamu bisa memulai dedikasi dari nol bagi perusahaan. Tunjukkan kemampuanmu dan mari kita lihat apakah orang-orang akan tetap menghormatimu jika kamu berada di posisi itu! Papa tidak memandang rendah pekerjaan itu, tapi karena kamu yang meminta untuk tetap menikahi Diva, maka lakukan permintaan Papa yang satu itu! Bagaimana? Adil, kan?"

"Nggak mungkin Papa tega nyuruh anak sendiri jadi tukang bersih-bersih dan bisa disuruh siapa aja!" tolaknya santai.

"Papa serius! Sangat serius malah. Papa pengen lihat gimana Diva setelah tahu jabatan suaminya dicopot dan memulai hidup baru dari nol. Apakah dia akan bertahan sama kamu atau milih cerai buat cari pria kaya lainnya? Let's see!"

"Papa! Coba dipikirkan ulang, kalau aku jadi OB terus siapa yang jadi penerus perusahaan Papa?"

"Oh, itu gampang aja. Papa akan minta Alinka menjadi penggantimu dan Papalah yang akan membiayai kuliahnya sampai taraf Master, setelah itu dia bisa memimpin perusahaan ini!" jawabnya santai tanpa tahu ada lelaki yang darahnya mulai mendidih.

Alinka?

Jadi, nama perempuan calon perebut kekuasaannya bernama Alinka? Belum menikah saja, kedudukannya nyaris terrenggut.

Kurang ajar!

"Asal kamu tahu aja, Zal, dulu Papa juga memulai dari nol. Menjadi office boy adalah pekerjaan Papa pertama kali dalam mencari nafkah. Saat itu Papa diangkat menjadi staf karena bantuan ayah dari Alinka dan…"

"Jadi pernikahan kami hanya untuk balas budi? Itu maksud Papa? Nggak nyangka, Papa tega ngelakuin hal ini sama aku! Papa lebih memilih aku nggak bahagia sama pilihan aku sendiri. Jahat banget, Pa!"

"Zal, dengerin dulu! Papa belum selesai ngomong sama kamu!" pekik Henry yang ditinggalkan begitu saja oleh Merzal.

Grepp

Sesampainya di teras rumah, pergelangan tangan Merzal dicekal seseorang, tanpa perlu menebak di dalam pikirannya, itu adalah sang ayah.

"Mau apa lagi, Pa?" tanya Merzal dengan tatapan malas dan tak suka, ia memalingkan muka menghadap arah lain.

"Cari dia! Ini alamat tempat kerja dan rumahnya!" titah Henry seraya memberikan sebuah foto dan kertas bertuliskan alamat gadis tersebut lalu meninggalkan putranya yang masih meradang.

"Aku nggak akan nyari dia, Pa! Nggak akan!" tampik Merzal saat melihat sesuatu di dalam genggaman tangannya.

Bukannya marah, Henry malah melambaikan tangan ke atas lalu masuk ke dalam rumah dengan santainya.

Mengingat hal itu membuat darah Merzal mendidih diiringi napas memburu.

Dugg

"Sinting! Punya Papa satu gilanya nggak ketulungan!" pekik Merzal melampiaskan emosi sambil memukul pahanya sekali lagi.

Pak Abdi melirik dari spion tengah kelakuan bos mudanya tersebut sambil geleng-geleng kepala.


Di sebuah apartemen mewah di kota F, sepasang muda-mudi tengah berasyik masyhuk menuntaskan hasrat usai tak berjumpa selama beberapa hari karena kesibukan keduanya.

Hampir mendapatkan klimaks, si pria tiba-tiba teringat ucapan sang ayah dan secarik kertas yang ia selipkan di dalam saku celana.

Merzal, nama pria itu, yang kini sedang menyalurkan rasa rindu pada kekasihnya, Diva. Di ranjang. Di kamar apartemen wanita yang berprofesi sebagai artis papan atas tersebut.

Jerit nikmat keluar dari bibir keduanya saat mendapat pelepasan.

Merzal melepaskan pengaman dari senjata tempurnya yang terisi nyaris penuh. Rindu yang meledak-ledak dengan sempurna kini telah tumpah.

Diva membuat pola abstrak di dada bidang Merzal yang tampak basah oleh tetes peluh aktivitas panas mereka. Ia tersenyum puas, lalu memeluk tubuh si pria dengan lembut.

"Aku sayang kamu, Zal!" ucapnya dengan manja dan menenggelamkan diri di pelukan hangat Merzal, kekasih yang telah bersamanya dua tahun lebih.

Mendengar hal itu, otak Merzal berlayar entah ke mana berlabuhnya. Sesaat, bayangan gadis dalam foto tersesat di pikirannya.

Ia merasa bersalah pada Diva. Kekasihnya harus tahu apa yang terjadi. Bagaimana kalau saat ini ia membuktikan ucapan sang ayah?

It's great idea!

"Div, aku mau tanya sesuatu sama kamu? Kamu bisa jawab jujur, kan?" tanya Merzal berhati-hati.

"Memangnya aku pernah bohong sama kamu?" tanya balik Diva.

"Ya, nggak juga, sih! Pengen tahu aja jawaban kamu gimana."

Diva melepas lingkaran tangannya di tubuh sang kekasih. Ia terduduk dan bersandar di headboard.

Mengetahui Diva telah merubah posisi, Merzal pun mengikuti dan menatap sang kekasih dengan tatapan dalam penuh makna.

"Ada apa, Zal?" desak Diva yang mulai tak sabaran.

"Div, kamu mau nggak hubungan kita ini segera disahkan?"

"Nikah, maksud kamu? Kamu kan tahu Zal, aku masih mengejar karir dan cita-citaku. Aku nggak mau gara-gara punya anak, masa depanku di dunia hiburan terancam kandas. Kamu tahu gimana perjuanganku yang nggak gampang, kan?"

Merzal terkejut mendengar jawaban Diva. Ia pun meletakkan kedua tangan di masing-masing bahu Diva yang terbuka. Selimut yang sempat menutup sebatas dada telah melorot ke bawah. Pemandangan menggiurkan tampak di depan mata. Merzal mengenyahkan pikiran laknat tersebut.

"Masalah anak, kita bisa menundanya! Yang penting kita nikah dulu aja, biar sah, kamu dan aku jadi satu!" bujuk Merzal mengarahkan kemampuan merayu yang minim ilmu. Tak lupa pria tampan itu mengerlingkan mata dan tersenyum pada wanita pujaan hatinya.

Diva menggeleng cepat. "Aku belum siap, Zal! Menikah itu butuh kesiapan mental dan materi. Oke, kita berdua udah siap dalam masalah materi, tapi mengenai mental tentu aja aku dan kamu belum siap.

Toh, kita juga terkadang bertengkar karena masalah sepele, kan? Kita saling mendalami karakter satu sama lain dulu, ya!" jelas Diva pada Merzal. Ia kembali memeluk tubuh sang kekasih yang tak memakai penutup apa pun. Sangat menggoda iman kaum hawa.

Merzal terdiam lalu mengangguk pelan. Senyum getir tampak di wajahnya dan hanya ia sendiri yang menyadari hal itu.


"Pak, tolong tambah kecepatan!" pinta Merzal di kursi penumpang.

Pria tampan yang telah menyudahi sesi temu kangen dengan Diva kini pergi menuju suatu tempat.

Pak Abdi melihat ke arah speedometer. Seratus kilometer per jam yang terlihat saat ini.

"Saya nggak berani, Den! Kita udah dalam kecepatan lumayan tinggi, seratus kilometer per jam. Takutnya kalau kita ngebut lagi, kita akan ditilang, Den!" sanggahnya menolak permintaan Merzal yang tak masuk akal.

Jalanan begitu padat, bagaimana bisa ia menginjak pedal gas untuk menambah kecepatan? Bisa-bisa bukan sampai tempat tujuan, melainkan ke liang lahat pemberhentian mereka. Ia masih sayang nyawa. Anak istrinya di kampung masih butuh subsidi darinya. Pak Abdi bergidik ngeri mengingat semua dosa-dosa dan keluarganya.

"Aaaaaaarrggg!" teriak Merzal tiba-tiba.

"Ada apa, Den?" tanya pak Abdi tergagap, pria paruh baya itu terkejut setengah mati sambil memegangi dadanya yang kembang kempis.


Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya