Bab 3

Sepasang mata indah yang di atasnya ditumbuhi bulu-bulu lebat nan lentik itu membola sempurna.

Di depan matanya, sebuah daun pintu yang tak sepenuhnya tertutup menampilkan seorang lelaki dewasa tengah memangku wanita. Bukan pemandangan yang layak untuk dilihat gadis polos seperti dirinya.

Terperangah, Alinka menganga kecil dengan telapak tangan yang menutupi bibirnya.

Bukan wanita biasanya yang ada di pangkuan manajer personalia, melainkan wanita lain. Wanita yang tampaknya sedang mengajukan lamaran pekerjaan di tempatnya bekerja.

"Alinka, kamu ngapain di sini? Minuman pesanan Pak Kevin udah diantar ke dalam belum?" tanya Lulu, sahabat Alinka yang sama-sama bekerja menjadi pelayan di kafe tersebut. Ia menyipitkan mata melihat gerak-gerik Alinka yang mendadak aneh.

Ya, pekerjaan Alinka adalah seorang pelayan di sebuah kafe yang terkenal sebagai tempat kongkow muda-mudi. Pekerjaan yang baik dan menghasilkan pemasukan daripada hanya duduk diam di rumah sepulang kuliah.

"Sssttt!" bisik Alinka seraya memberikan kode pada sahabatnya untuk diam.

Pintu ruangan Kevin terbuka lebar. Sebuah senyuman tersungging dengan sempurna menatap ke arah Alinka. Alinka menggeser posisinya. Tangannya masih membawa sebuah nampan dengan cairan berwarna coklat pekat di dalam gelas.

"Alinka, apa kabar?" sapa Kevin yang berdiri di ambang pintu. "Kok minumannya nggak dibawa ke dalam? Kamu nggak tahu, ya, aku sampai kehausan nungguin ini?" ucapnya membuat bulu kuduk Alinka meremang. Ia mengibaskan tangan untuk mengusir Lulu dari depan ruangannya.

Terngiang jelas apa yang dilakukan Kevin di dalam meski pintu tak terbuka sepenuhnya. Bagaimana wanita di atas pangkuan Kevin meraba-raba bagian bawah si pria dengan bibir yang saling bertukar saliva, sangat menggelikan di mata Alinka.

Jijik!

Bukan geli. Harap diralat.

Alinka tersenyum kikuk. "Maaf, Pak! Ini minuman pesanan Bapak!" ucap Alinka sambil menyerahkan secangkir kopi panas pada pemesannya.

"Ow, ow, tolong taruh di mejaku, ya!" tolak Kevin dengan seringai aneh di wajahnya.

Mau tak mau supaya pekerjaannya segera cepat selesai, Alinka masuk ke dalam ruangan Kevin di mana di sana masih ada seorang wanita yang pakaiannya tak jelas bentuknya.

Wanita itu memalingkan muka tak mau bersitatap dengan Alinka. Malu, mungkin! Atau, gengsi? Alinka tak peduli karena merasa itu bukan urusannya. Usai meletakkan cangkir di atas meja, gadis itu pamit undur diri pada Kevin.

Kevin mencegah kepergian Alinka dengan tangan yang sengaja ia letakkan di bahu gadis cantik tersebut.

"Ini adalah rahasia kita! Only you and me! Oke? Jangan bilang pada kakak sepupumu itu! Kalau sampai kamu bilang ke dia tentang apa yang kamu lihat barusan, aku akan buat kamu menyesal!" ancamnya pada gadis sepolos Alinka.

"Pak Kevin tenang aja, saya paling nggak suka mengganggu urusan orang. Pekerjaan saya masih banyak, Pak. Jadi, saya nggak akan buang waktu untuk menggunjing sesuatu yang dirasa tidaklah penting. Permisi!" balas Alinka penuh ketegasan.

Alinka segera pergi dari hadapan makhluk playboy yang bernama Kevin. Ia tak mau berada di tempat yang sama dengan kekasih kakak sepupunya tersebut. Ia sadar dirinya dimasukkan di sini oleh Greta agar bisa mengawasi Kevin. Greta tidak bodoh, jadi ia menjadikan Alinka sebagai mata-matanya.

Sayang seribu sayang. Sekali pun Alinka bekerja di tempat ini, ia tak pernah menceritakan hal ini pada Greta. Di sini adalah ladang mencari uang bukan mengulik info dan mengurusi hal yang bukan urusannya. Prinsip hidup Alinka yang selalu dipegang teguh olehnya.

"Menarik! Alinka, Alinka, kamu tuh sadar nggak sih, kalau kamu itu cantik dan polos, nggak kayak kakakmu yang seperti parasit itu!" gumam Kevin sepeninggal Alinka dan membiarkan pandangannya menjangkau tubuh ramping gadis itu hingga menghilang dari jangkauannya.


Kembali pada dua pria berbeda generasi di dalam mobil, Merzal dan pak Abdi tengah sibuk dengan pikiran masing-masing.

Pertanyaan pak Abdi yang tak mendapat jawaban dari Merzal membuatnya membungkam mulut supaya tak ikut campur.

Usai mengumpat tak jelas dari a sampai z, Merzal mengambil foto kecil di saku celana. Ia memindai gadis cantik di dalam potret tersebut.

Cantik?

Oh tidak, bahkan mata dan otaknya telah menggila! Bagaimana bisa ia memuji gadis yang baru saja ia lihat dari selembar foto usang?

Ah..

Merzal mengalihkan pandangan ke luar jendela. Ia menyandarkan kepalanya yang terasa berat pada kaca mobil. Pikirannya melanglang buana entah kemana.

Memikirkan Diva? Hubungannya yang sudah layaknya suami istri? Jabatannya yang akan segera dicopot?

Tidak! Tidak!

Merzal menggeleng samar.

Ia kembali memfokuskan diri memandangi foto di genggaman tangan.

"Sorry, Pak, tadi Bapak tanya belum aku jawab!" ucap Merzal tiba-tiba setelah beberapa saat.

"Nggak apa-apa, Den. Saya juga salah, kenapa harus bertanya masalah privasi Den Merzal!" sahut pak Abdi tak enak hati.

"Aku cuma kesel dan nggak habis pikir aja sama keputusan Papa. Gimana bisa beliau jodohin aku sama anak kecil kayak gini! Pak Abdi lihat sendiri, deh. Kayaknya mata Papa mulai bermasalah!" celetuknya asal.

Lampu merah mengharuskan mobil mewah yang dikemudikan oleh pak Abdi berhenti. Hal itu dimanfaatkan oleh Merzal untuk menunjukkan potret diri Alinka pada sopir pribadinya tersebut.

"Coba Bapak lihat ini!" titahnya lantang.

Pak Abdi memandangi potret cantik gadis polos yang telah berpindah tangan dan kini tertangkap netra hitamnya.

"Cantik, Den! Sepertinya kalau dilihat dari penampilannya, gadis ini lemah lembut dan periang," puji pak Abdi sambil mengomentari.

Merzal merebut kembali foto dari genggaman sopirnya.

"Jangan-jangan mata Bapak juga harus segera diperiksain, deh! Kayak gini kok dibilang cantik? Dia masih anak kecil, Pak! Kalau dia emang beneran cantik, kenapa Papa nggak nikahin aja dia! Beres, kan?" racau Merzal tak jelas, bukan efek hangover melainkan kesal pada rencana sang ayah.

Pak Abdi menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum di balik kemudi.

"Cantik itu relatif, Den! Buat Den Merzal nggak cantik, tapi buat sebagian pria lain di muka bumi ini, dia adalah idola mereka. Bisa jadi, kan, Den? Kita nggak bisa menyamakan atau menilai kecantikan satu wanita dengan wanita yang lainnya menurut kita sendiri. Semua orang punya selera," tanggap pak Abdi serius.

Merzal terdiam beberapa saat.

"Ini sepertinya foto lama, Den! Soalnya beberapa hari yang lalu, saya dan tuan besar berpapasan dengan gadis ini. Cantik banget, Den!" ungkap pak Abdi saat mengingat kembali pertemuan mereka dengan target pencarian Merzal.

Apa?

Bisakah info tersebut diulang?

"Tunggu dulu! Jadi, Papa dan Pak Abdi udah pernah ketemu sama orangnya?" desak Merzal tak sabar.

"Waduh, keceplosan! Ini mulut kok sembarangan aja kalau ngomong! Abdi, Abdi!" rutuk pak Abdi merasa canggung dan gugup.

"Kerja apa dia, Pak? Cantik? Maksudnya, kayak gimana dia, Pak? Aku bingung, ternyata Papa udah rela jadi mata-mata buntuti dia sebelum dipertemukan sama aku!" berondong tanya keluar dari bibir merah kecokelatan milik Merzal.

"Nanti Den Merzal akan tahu sendiri!" jawabnya cepat membalas pertanyaan sang majikan muda.

"Kita dari tadi nggak sampai-sampai tujuan, jalannya bener nggak sih, Pak?" tanya Merzal mengalihkan topik.

'Nggak sampai-sampai? Atau, nggak cepat-cepat dipertemukan, Den?' batin pak Abdi dan terkekeh geli sesudahnya.

Lima menit kemudian.

"Sudah sampai, Den!" jelas pak Abdi yang langsung menghentikan laju kendaraan yang ditumpangi keduanya.

"Bener ini tempatnya, Pak? Serius?" tanya Merzal meminta kepastian.


Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya