Bab 2

Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Kupandangi wajahku dari pantulan pintu kaca di hadapanku, meyakinkan diriku sendiri kalau aku sudah benar-benar siap menjalani hari pertamaku bekerja di Lawrence Company.

Dengan harapan besar dalam genggaman tanganku bahwa ini akan menjadi langkah awal untuk kehidupanku yang sebenarnya setelah menganggur selama tiga tahun sejak lulus kuliah, aku pun mulai melangkah melewati pintu kaca itu dan berjalan melewati lobi gedung Lawrence Company yang sangat besar dan luas. Interiornya sangat mewah, dan juga terdapat lima lift di lobi itu.

Aku mendatangi meja resepsionis dan tersenyum ramah pada seorang wanita yang nampak berusia tiga puluh tahunan di sana.

“Selamat pagi, Oli...via,” sapaku sembari membaca papan nama di meja resepsionis.

“Selamat pagi. Kau pasti Haley Walter, sekretaris baru Justin Lawrence, kan?” kata wanita itu padaku dengan ramah.

Aku mengangguk, “Benar sekali.”

“Selamat bergabung di perusahaan ini ya. HRD menitipkan kartu karyawan ini untuk aku berikan padamu,” ujar Olivia. Dia menyodorkan sebuah kartu berwarna emas dengan logo Lawrence Company yang disingkat dengan tulisan LC. Di kartu itu tertulis nama dan nomor kepegawaianku.

Setelah aku menerimanya, Olivia melanjutkan, “Semua karyawan di perusahaan ini wajib memiliki kartu ini sebagai akses yang sudah dilengkapi dengan sidik jari dan sensor wajah masing-masing. Kartu akses ini memiliki nomor identitas karyawan yang bisa kau gunakan untuk menaiki lift, mengakses peralatan elektronik di pantry karyawan, mengakses mesin pencetak dan komputer, mengakses area parkir, dan mengakses berbagai macam fasilitas lainnya yang ada di gedung ini. Apa kau mengerti?”

Aku mengangguk, “Mengerti sekali. Terima kasih ya.”

“Ayo, aku akan mengatarmu ke meja kerjamu,” kata Olivia dengan ramah. Dia meninggalkan meja resepsionisnya dan mengajakku untuk menaiki lift.

“Ah iya, ada yang ingin aku beritahu padamu,” ujar Olivia padaku saat kami sudah berada di dalam lift yang akan membawa kami menuju lantai lima puluh di mana ruangan sang CEO berada.

“Apa itu?” tanyaku.

“Apa kau tahu kalau sekarang sudah pukul 07.30?” tanya Olivia.

“Ya, aku tahu. Jadwalku masuk pukul delapan pagi, kan? Aku tidak terlambat, kan?” aku mulai panik karena takut berbuat kesalahan di hari pertamaku.

“Tidak, tidak. Kau tidak terlambat,” jawab Olivia, “Tapi, kau harus tahu satu hal yang sangat penting.”

“Apa?”

“CEO perusahaan ini, Justin Lawrence, sangat tidak suka jika sekretarisnya datang ke kantor pada waktu yang mepet dan mendekati jam masuk. Dia sudah memecat tujuh sekretarisnya karena persoalan jam datang.”

“Tujuh?! Astaga, benarkah?” tanyaku, sangat terkejut.

Olivia mengangguk. Kemudian, meski di dalam lift itu hanya ada kami berdua, Olivia bicara dengan suara yang sengaja dipelankan karena khawatir ada orang lain yang mendengar, “Ketahuilah, Justin adalah orang yang sangat kejam. Kau harus kuat mental dan sangat disiplin selama bekerja dengannya, Haley. Kalau tidak, dalam waktu kurang dari seminggu pun kau pasti akan menyerah dan mengundurkan diri seperti sekretaris-sekretaris Justin yang sebelumnya.”

Penjelasan Olivia sama sekali tidak membuatku takut. Aku sudah sangat bahagia karena akhirnya bisa bekerja di perusahaan besar seperti Lawrence Company. Meskipun nantinya aku akan sangat lelah karena bekerja dengan Justin yang Olivia definisikan semenyeramkan itu, aku rasa tidak akan jadi masalah, yang penting aku bisa bekerja.

“Lalu, pukul berapa aku harus datang ke kantor?” tanyaku.

“Paling tidak, kau harus berada di kantor dua atau satu setengah jam sebelum jam masukmu. Jadi, karena jam masukmu adalah pukul delapan pagi, setidaknya kau harus sudah ada di meja kerjamu pada pukul enam atau setengah tujuh pagi.”

Aku tercengang. Tidakkah itu terlalu pagi? Gedung Lawrence Company terletak di pusat Manhattan, New York. Sementara itu, apartemenku terletak di daerah Brooklyn. Butuh sekitar 35 menit untuk perjalanan dari Brooklyn ke Manhattan. Jadi, itu artinya aku harus sudah berangkat dari apartemenku saat pagi-pagi buta?

Tapi tidak apa-apa. Rumah orang tuaku bertempat di salah satu kawasan elit di Manhattan. Jadi, sesekali aku bisa menumpang pada mereka kalau merasa terlalu lelah untuk bolak-balik Manhattan-Brooklyn.

Setibanya di lantai lima puluh, Olivia memperkenalkaku pada beberapa karyawan yang melintas. Dia juga memberitahuku bahwa lantai lima puluh adalah lantai di mana ruangan para petinggi Lawrence Company berada. Dia turut menjelaskan padaku tentang ruangan-ruangan penting yang perlu aku ketahui.

Hingga akhirnya, kami sampai di depan sebuah ruangan yang sangat besar di sudut koridor. Aku perhatikan, ruangan itu memiliki pintu yang terbuat dari kaca, dinding-dindingnya juga didominasi oleh kaca tembus pandang, desain ruangan dan interiornya nampak persis seperti ruangan milik Harvey Specter dalam serial SUITS. Pada pintu ruangan tersebut, tertulis nama JUSTIN LAWRENCE, dan di bawah nama itu tertulis pula FOUNDER & CEO.

“Nah, ini dia meja kerjamu,” kata Olivia sembari menunjuk sebuah meja kubikal yang terletak tepat di depan ruangan sang CEO, sedikit menjorok ke sebelah kiri dari pintu agar tidak menghalangi jalan masuk.

Aku tersenyum senang karena setelah bertahun-tahun luntang-lantung mencari pekerjaan, akhirnya aku bisa memiliki meja kerja sendiri, sebagai sekretaris CEO di perusahaan sebesar Lawrence Company. Beruntung sekali aku.

Kemudian, Olivia mulai menjelaskan padaku beberapa hal tentang server dan sistem digital Lawrence Company. Dia juga mengajariku bagaimana cara mengakses dan menggunakan server perusahaan.

Setelah itu, Olivia pun berkata, "Justin biasanya datang pukul delapan, atau bisa juga sebelum pukul delapan. Ingatlah, pastikan kau sudah berada di gedung ini dua atau satu setengah jam sebelum Justin datang. Dan saat dia tiba di sini, kau harus ada di mejamu. Kalau tidak, percayalah padaku kalau dia akan menelponmu dan mencaci makimu sampai telingamu berdarah."

Baiklah, aku akui, kali ini aku merasa agak takut dengan apa yang Olivia ucapkan soal Justin. Apakah bosku benar-benar semenyeramkan itu? Ugh, padahal wajahnya tampan sekali.

Aku ingat, ketika waktu itu aku menggodanya saat aku berada dalam kondisi setengah mabuk di bar, aku lihat perawakannya memang sangat tegas, tatapannya tajam dan dingin, wajahnya yang tampan juga terlihat kaku dan menikam. Kalau aku pikir-pikir, memang agak menyeramkan, sih. Pantas saja Olivia memperingatiku sampai sebegitunya.

“Ya sudah, kalau begitu, aku permisi dulu. Aku harus kembali ke lobi,” kata Olivia padaku, “Semoga hari pertamamu menyenangkan. Dan aku berharap kau betah dan kuat bekerja untuk Justin agar perusahaan ini tidak perlu lagi membuka lowongan sekretaris baru untuk CEO.”

Aku sempat tertegun sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk penuh semangat, “Terima kasih banyak atas bantuanmu, Olivia.”

“Sama-sama,” jawab Olivia sebelum akhirnya berbalik dan berjalan pergi.

Aku menghela napas panjang dan menjatuhkan tubuhku di kursi yang kini menjadi kursi kerjaku. Rasanya seperti mimpi. Sungguh nikmat bisa berada di kursi yang berpotensi membawaku pada karir yang cemerlang.

Saat aku baru saja ingin menyibukkan diri dengan komputer yang ada di mejaku untuk mencari tahu dan mempelajari beberapa hal tentang server dan sistem Lawrence Company, ekor mataku melihat ada seseorang yang datang ke arahku, dan ternyata itu adalah Justin.

Aku langsung berdiri dan berniat untuk menyapa bosku itu, namun Justin hanya melirikku sekilas dengan matanya yang dingin sebelum akhirnya langsung melenggang masuk ke dalam ruangannya sendiri.

Tak lama setelah aku kembali duduk, telepon di mejaku berbunyi.

Sejak masih kuliah, aku sudah belajar banyak soal etika menerima telepon di perusahaan dan hal-hal semacam itu, jadi aku pun langsung mengangkat gagang telepon dan menempelkannya ke telingaku.

“Segera siapkan laporan keuangan bulan lalu yang tersimpan di arsip digital,” kata pria di seberang telepon, yang tak lain dan tak bukan adalah Justin.

Aku pikir yang menelpon adalah orang luar, tapi ternyata itu Justin. Memang apa susahnya bicara langsung padaku saat tadi dia melewati meja kubikalku? Mengapa hanya melirikku dengan dingin dan malah bicara padaku melalui telepon?

Pria itu bahkan tidak menyapaku sama sekali, misalnya hanya sekadar bertanya, ‘Kau sekretaris baruku, kan?’ atau ‘Kau wanita yang waktu itu di bar, kan?’

“Baik,” jawabku akhirnya.


Bersambung.....

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya