Bab 6

Aku menghabiskan sisa kopi di gelasku dalam sekali teguk. Kemudian, aku pun menghela napas panjang sembari meletakkan gelas kopi itu ke atas meja dengan cara yang agak kasar.

Jam menunjukkan pukul setengah satu dini hari, dan aku masih berada di dalam gedung Lawrence Company, berkutat dengan tumpukan pekerjaanku yang harus aku selesaikan sebelum pagi tiba.

Kedua mataku sudah tidak sanggup menahan kantuk. Kepalaku terasa akan meledak. Sungguh, rasanya aku bisa mati sekarang juga!

Tak hanya tugas-tugasku yang memang masih menumpuk di mejaku dan sederet perihal yang Justin sebutkan padaku saat sore tadi kami berpapasan di lift, tiga jam yang lalu, sekitar pukul sepuluh malam ketika aku sedang fokus menyelesaikan satu persatu pekerjaanku, tiba-tiba Justin menelpon dan mengatakan bahwa dia membutuhkan salinan data digital laporan keuangan dua tahun yang lalu.

Dia juga menyuruhku untuk memeriksa secara rinci laporan tersebut sebelum mengirim data laporan itu ke surelnya. Bayangkan, laporan keuangan dua tahun yang lalu! Aku harus membuang-buang waktuku selama hampir satu jam untuk mendatangi petugas keamanan gedung agar diberi akses masuk ke ruang arsip Divisi Keuangan demi mencari laporan keuangan dua tahun yang lalu.

Petugas keamanan pun bahkan sampai kebingungan melihatku masih berada di kantor sampai dini hari begini.

Sebenarnya, tidak hanya aku yang masih berada di gedung ini. Ada sejumlah pejabat Direksi yang tidak pulang ke rumah dan memilih bermalam di kantor mereka, ada juga sekretaris Wakil Direktur Lawrence Company yang sedang menyelesaikan revisi proposal milik Wakil Direktur yang harus diberikan kepada Justin besok siang. Tapi sekretaris Wakil Direktur itu sudah pulang dua jam yang lalu.

Tak hanya itu, Manajer Divisi Keuangan pun ternyata juga masih berada di ruangannya ketika tadi aku datang ke sana bersama petugas keamanan.

Melihat tumpukan berkas di atas mejaku dan sederet pekerjaan yang belum rampung padahal harus diberikan kepada Justin pagi nanti, aku mulai pesimis. Bagaimana bisa mengerjakan semua ini dalam satu malam?!

Kalau tidak memikirkan bahwa ini adalah pertama kalinya aku benar-benar bekerja sebagai karyawan bermartabat dengan jabatan sebagai sekretaris seorang CEO ternama, aku sungguh ingin mengundurkan diri dari Lawrence Company detik ini juga.

Aku pun menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Dengan memelototkan kedua mataku sebagai upaya agar tetap terbuka, aku kembali mengoreksi proposal proyek pengembangan yang hampir aku selesaikan.

Tuhan! Saat aku berkata kalau aku akan bekerja keras setelah mendapat pekerjaan, bukan kerja keras seperti ini yang aku maksud. Ini bukan kerja keras, tapi kerja rodi!


Rasanya baru sedetik aku bisa memejamkan mataku, tapi tiba-tiba saja aku mendengar suara seseorang yang memanggil namaku berkali-kali. Aku belum tahu siapa orang itu karena mataku masih terasa sangat berat dan pedih karena kantuk. Tapi yang pasti, suaranya berat dan dalam, persis seperti suara bariton yang dimiliki pria maskulin.

“Astaga, tidak bisakah tenang sedikit?” ujarku dengan kesal seraya mengangkat kepalaku yang baru aku sadari ternyata sejak tadi aku topangkan di atas meja.

“Aku tidak tuli! Aku bisa mendengar suaramu. Kau pikir aku...” ucapanku terhenti ketika akhirnya kedua mataku terbuka dan aku mendapati keberadaan Justin yang kini berdiri di samping meja kubikalku.

Dengan panik, aku pun langsung berdiri dan merapikan rambutku yang agak berantakan karena ketiduran di meja. Kemudian, aku melirik jam tangan Dior yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Setelah mendapati kalau sekarang sudah pukul delapan pagi lewat beberapa menit, aku pun berkata, “Selamat pagi.”

“Bisa-bisanya kau tidur di sini. Kau pikir kantor ini hotel?” tegur Justin.

“Maafkan aku. Aku ketiduran. Aku lembur semalaman penuh dan belum pulang sama sekali hingga pagi ini,” jawabku.

Kulihat ekspresi tegas di wajah Justin mulai melunak ketika dia mendengar penjelasanku. Tatapannya yang sebelumnya tajam dan menusuk, kini juga berangsur datar menatapku. Entahlah, mungkin karena merasa iba atau tidak tega setelah tahu kalau aku bermalam di kantor.

“Mana berkas-berkasku? Apakah sudah siap semua?” Justin menagih.

“Tentu saja sudah siap. Aku begadang dan hampir meninggal demi mengerjakan semua ini,” cicitku penuh kedramatisan. Entah pria itu akan menanggapi atau tidak, aku tidak terlalu memikirkannya.

Kemudian, aku pun mengambil sejumlah map file dan dokumen-dokumen yang ada di atas meja kubikalku, kemudian memberikannya pada Justin sesuai urutan keperluan.

Setelah menerima hasil pekerjaanku, Justin langsung berjalan memasuki ruangannya. Namun, baru saja membuka pintu dan berjalan satu langkah ke dalam ruangannya itu, Justin berbalik dan kembali menatapku.

“Kalau kau ingin istirahat, gunakan ruang kesehatan karyawan yang terletak di lantai 30. Aku memberimu waktu empat jam untuk tidur dan istirahat di sana sebelum kembali bekerja,” kata Justin padaku.

Aku sumringah. Senyumku langsung melebar sempurna mendengar ucapannya itu.

Tak kusangka, pria tampan berwatak kejam itu ternyata masih punya hati dan peduli padaku. Aku pikir dia benar-benar jelmaan iblis yang tidak peduli pada bagaimanapun kondisi orang lain.

“Jika kau kebablasan dan lewat satu menit saja dari waktu yang aku tetapkan, aku akan memecatmu. Kau mengerti?” ujar Justin.

“Baiklah. Aku mengerti,” jawabku masih dengan senyum sumringah di wajahku.

“Setelah istirahat, tolong siapkan jadwalku untuk minggu depan, lalu berikan laporan data grafik saham Lawrence Company tadi malam, kemudian siapkan berkas-berkasku untuk mengikuti pasar saham yang akan dibuka nanti sore, dan...”

“Aku tahu, Justin,” untuk pertama kalinya, aku berani memotong ucapan Justin. Aku tidak tahu apa yang merasuki diriku, tapi kepalaku terasa sangat pening ketika mendengar dia menyebutkan satu-persatu tugasku seperti itu.

“Kau tidak perlu menjelaskannya lagi padaku karena aku tahu apa saja tugasku sebagai sekretarismu dan apa saja hal-hal yang harus aku kerjakan,” tuturku dengan penuh percaya diri.

Justin menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan yang mengintimidasi. Aku pun bungkam dan mengulum bibirku rapat-rapat, merutuki diriku sendiri karena berani-beraninya bersikap sok percaya diri seperti tadi pada Justin padahal aku sendiri tahu bahwa Justin sangat menyeramkan.

“Oh. Bagus kalau kau tahu. Aku jadi tidak perlu buang-buang tenaga untuk mengatakannya lagi padamu,” desis Justin seraya melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruangannya.

Aku menghela napas lega. Dalam hati, aku mengucapkan syukur yang teramat sangat pada Tuhan. Aku benar-benar merasa lega dan bersyukur karena ternyata pria itu tidak marah padaku.

Terima kasih Tuhan! Aku pikir riwayatku di perusahaan ini akan tamat pagi ini.


Bersambung .....

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya