Bab 8

Aku menghela napas lega setelah akhirnya selesai menyusun jadwal Justin untuk esok hari. Ketika aku baru saja berdiri dari dudukku dan berniat pergi ke pantry untuk membuat kopi, aku melihat kedatangan Lily bersama David yang berjalan menuju ruangan Justin.

“Hai, Cantik!” sapaku sambil tersenyum ceria pada gadis berusia lima tahun yang masih memakai seragam TK dan memakai ransel berwarna kuning yang menggemaskan di punggungnya.

“Hai,” jawab Lily. Gadis kecil itu tersenyum malu dan langsung berlari masuk ke dalam ruangan Justin setelah David membukakan pintu.

Karena Justin sedang tidak ada, sebab sejam yang lalu baru saja pergi ke Wall Street untuk menghadiri rapat para Analis Saham ternama di New York, jadilah akhirnya aku ikut masuk ke ruangan Justin untuk memberitahu Lily.

“Ayahmu sedang pergi keluar, Lily,” ujarku saat Lily terdiam di dekat meja kerja Justin karena tak melihat keberadaan Justin di sana.

“Ke mana?” tanya Lily dengan wajahnya yang terlihat sangat sedih.

Aku pun berlutut di hadapan Lily dan mengelus rambut pirang gadis itu dengan lembut, “Ayahmu sedang memiliki urusan penting di luar.”

“Tapi... Aku datang ke sini setelah dari sekolah karena ingin bertemu Ayah... Aku ingin bermain dengan Ayah. Kemarin Ayah berjanji akan menggambar bersamaku hari ini...” ungkap Lily dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

Aku terenyuh dan jadi merasa sedih mendengar apa yang diucapkan Lily.

“Hm... begini saja,” ujarku, “Selagi menunggu kedatangan ayahmu, bagaimana kalau kau menggambar bersamaku dulu?”

Lily menoleh pada David yang berdiri di sebelahnya. Dia mendongak untuk menatap pria itu dengan mata bulatnya yang menggemaskan, meminta persetujuan dari David apakah dia boleh menggambar bersamaku atau tidak.

Benar-benar anak yang cerdas dan patuh. Untuk menggambar bersamaku pun dia tidak lupa untuk meminta persetujuan dari bodyguardnya.

Kemudian, David pun tersenyum tipis dan mengangguk pada gadis kecil itu. Lily pun beralih menatapku lagi dan tersenyum sambil mengangguk penuh semangat padaku.

“Kalau begitu, kemarilah. Mari menggambar bersama,” ujarku dengan penuh kelembutan sembari mengajak Lily untuk duduk di sofa panjang yang ada di sisi ruangan Justin.

David memberikan iPad milik Lily padaku, lalu berkata, “Aku ingin pergi ke pantry, setelah itu akan langsung kembali ke sini. Hubungi nomor teleponku jika ada sesuatu yang terjadi. Nomorku tersimpan di iPad milik Lily ini.”

Aku mengangguk, “Baiklah.”


“Wow, kau pandai sekali, Lily. Kau suka menggambar ya?” ujarku dengan sumringah sembari menatap rumah khas buatan anak kecil yang Lily gambar di salah satu aplikasi menggambar di iPad.

Lily mengangguk antusias, “Aku punya banyak sekali gambar yang aku buat di kamarku. Kata Ayah, gambarku bagus, tapi terlalu banyak warna dan tidak rapi.”

“Terlalu banyak warna dan tidak rapi? Tidak, kok. Gambarmu sudah sangat bagus, rapi, dan warnanya juga sangat pas,” sahutku.

“Sungguh? Terima kasih, Tante,” ujar Lily dengan senyum yang merekah manis hingga membuat kedua matanya menyipit.

Aku mengelus rambutnya, lalu berkata, “Jangan panggil aku Tante, panggil aku Haley saja.”

“Baiklah. Terima kasih, Haley.”

Aku pun tersenyum lembut padanya dan mencubit lembut pipinya yang tembam itu karena merasa sangat gemas.

“Kalau boleh tahu, memangnya gambar yang mana yang ayahmu bilang terlalu banyak warna dan tidak rapi?” tanyaku.

Lily membuka resleting ransel kuningnya, kemudian mengeluarkan secarik kertas gambar dari sana dan menunjukkannya padaku.

Setelah aku lihat, ternyata gambar itu adalah gambar yang beberapa hari lalu Justin tunjukkan padaku yang katanya dikirim oleh Lily melalui email. Yang katanya juga, membuat Lily marah dan merajuk karena Justin tidak mengerti apa maksud dari gambar itu.

“Ayah bilang, gambarku yang ini tidak rapi, tidak jelas, dan warnanya terlalu banyak,” ujar Lily dengan wajah kecewa.

“Tidak, tidak. Ini gambar yang sangat bagus, Lily. Ayahmu saja yang tidak mengerti seni,” sahutku dengan antusias.

“Benarkah?”

Aku mengangguk cepat, “Aku dengar, kau marah pada ayahmu karena ayahmu tidak tahu apa maksud gambar ini ya?”

“Iya. Setelah ayah mengkritik gambarku, aku memintanya untuk menebak arti gambarku ini, tapi ayah bilang tidak tahu. Ayah jahat,” jawab Lily.

Aku menghela napas sedih ketika melihat ekspresi sedih di wajah Lily.

“Coba jelaskan padaku, sebenarnya apa maksud gambar ini? Aku penasaran, mengapa kau wajah wanita di gambar ini di coret-coret dengan krayon hitam dan merah?” tanyaku kemudian, meski sebenarnya aku sudah tahu apa maksudnya.

“Ini ayah, aku, dan ibu,” kata Lily sembari menunjuk satu persatu objek di gambarnya, “Ibu tidak pernah menemuiku, tidak pernah peduli padaku, jadi aku kecewa padanya dan mencoret wajahnya.”

Aku mengangguk-anggukan kepalaku dan tersenyum lembut, “Lalu, mengapa kau menggambar wajah ayahmu dengan ekspresi bahagia, tapi wajahmu sendiri berekspresi sedih?”

“Karena ayah selalu sibuk bekerja. Ayah tidak peduli padaku dan selalu terlihat baik-baik saja meski dia tidak pernah ada waktu untukku. Itu artinya ayah bahagia, kan? Sementara aku sedih karena tidak dipedulikan olehnya.”

Aku tercengang. Benar-benar tercengang. Bayangkan, anak kecil umur lima tahun bisa mengatakan hal seperti itu, bisa merasakan ketidakpedulian ayah dan ibunya, dan bisa mengungkapkan semua perasaan sedihnya mengenai kedua orang tuanya.

Aku sungguh tidak bisa membayangkan betapa selama ini Lily merasa sangat kesepian dan merasa tidak dipedulikan oleh ayah dan ibunya.

“Lily, dengar,” kataku dengan lembut. Aku mengangkat tubuh Lily dan menempatkan gadis kecil itu di atas pangkuanku. Sembari membelai rambut Lily dengan penuh kasih sayang, aku pun berkata, “Ayah dan ibumu peduli padamu, kok. Ibumu tidak menemuimu mungkin karena ada kesibukan di tempat lain, sementara ayahmu tidak punya waktu untukmu karena dia harus bekerja keras agar kau bahagia.”

“Tapi aku tidak bahagia jika tidak berada di dekat ayah. Aku ingin ayah ada di dekatku sepanjang waktu.”

Aku mengangguk, “Aku mengerti. Tapi asal kau tahu, ayahmu peduli padamu, Lily. Dia sangat menyayangimu dan sangat memedulikanmu. Hanya saja, dia menunjukkan kepedulian dan kasih sayangnya dengan caranya sendiri. Nanti setelah kau besar, kau pasti akan mengerti.”

Lily menatapku dengan mata cokelatnya yang berbinar-binar, “Apakah Haley peduli padaku?”

Aku mengangguk, “Tentu saja. Aku sangat peduli padamu. Kalau aku tidak peduli, waktu itu aku tidak akan mengantarmu mendaftar kursus piano.”

Lily terkekeh mendengar jawabanku, “Benar juga.”

Aku pun tersenyum dan masih terus membelai rambut pirang gadis kecil itu.

“Apakah Haley mau berteman dan bermain denganku?” tanya Lily lagi.

“Tentu. Tentu aku mau. Kapanpun kau ingin bermain denganku, katakan saja. Kau bisa meminta David membawamu datang ke sini untuk menemuiku, dan kita akan bermain bersama kalau aku sedang tidak sibuk mengurus pekerjaan ayahmu. Atau kalau aku ada waktu, aku yang akan menemuimu.”

“Sungguh?” Lily tersenyum antusias.

“Iya, Lily.”

Dengan penuh semangat, Lily pun langsung memelukku, “Asyik!”

Aku membalas pelukan gadis kecil itu dan tersenyum, “Tapi, ada syaratnya.”

“Apa itu?” tanya Lily.

“Kau tidak boleh lagi berpikir bahwa ayah dan ibumu tidak peduli padamu. Kau harus yakin kalau ayah dan ibumu sangat menyayangimu dan memedulikanmu. Bagaimana? Kau setuju?”

“Setuju!”

“Dan satu hal lagi,” ujarku seraya melepaskan pelukanku. Sembari menatap Lily, aku pun berkata, “Kau cantik, Lily. Dan anak cantik tidak boleh bersedih lagi. Mengerti?”

Lily tersenyum lebar hingga menunjukkan deretan gigi susunya yang menggemaskan. Kemudian, dia mengangguk penuh semangat untuk merespons ucapanku.


Bersambung .....

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya