Bab [2]: Hidungmu, Sakit Sekali, ya?

Tentu, sebagai ahli terjemahan sastra Tiongkok-Indonesia, saya akan mengubah teks ini menjadi sebuah karya yang terasa otentik dan memikat bagi pembaca Indonesia, seolah-olah ini adalah novel asli Indonesia.


Sari Wijaya tertegun.

Siapa orang ini? Berani-beraninya dia menyingkap selimutnya? Apa dia mau berbuat kurang ajar padanya?

Untuk pria macam ini, Sari Wijaya selalu punya cara paling kasar untuk memberinya pelajaran.

Maka, tepat saat pria itu menyingkap selimut dan hendak menindihnya, Sari Wijaya melompat, mengarahkan kakinya ke tubuh pria itu, dan BUG! melayangkan tendangan.

Pria itu terkejut sesaat, kaget dengan serangan tiba-tiba ini. Namun, ia bereaksi dengan cepat. Dengan satu gerakan kuat, tangannya yang besar mencengkeram dan mengunci pergelangan kaki Sari Wijaya yang menendang.

"Siapa kamu? Kenapa kamu ada di kamarku?" Suara pria itu terdengar berat dan sangat maskulin.

Sari Wijaya berpikir sejenak dan langsung tahu bahwa pria di hadapannya ini pastilah putra sulung keluarga Surya, Bayu Surya.

Kedua adiknya bukan orang baik-baik, dan sekarang ia tak menyangka Bayu Surya sendiri yang mencoba memperkosanya untuk mencapai tujuan terselubungnya.

"Siapa aku? Heh, kalian para pria keluarga Surya benar-benar tidak tahu malu! Masuk ke kamarku tengah malam, mau apa, hah? Rasakan ini…!"

Setelah berkata begitu, Sari Wijaya melayangkan tinju lurus ke wajah Bayu Surya. Tidak siap, Bayu Surya terkena pukulan telak.

"Nona, jangan keterlaluan."

"Jelas-jelas kamu yang mau berbuat tidak senonoh, sekarang malah bilang aku keterlaluan? Lihat saja, hari ini aku tidak akan membiarkanmu lolos!"

Sari Wijaya kembali mengayunkan tinjunya. Mereka berdua mulai berkelahi, saling serang di dalam kamar tidur yang tidak terlalu luas itu. Gedebak-gedebuk!

Sementara itu, di luar pintu, Aji Surya dan Arya Surya menempelkan telinga mereka ke pintu, mendengarkan dengan saksama keributan di dalam.

"Wah, gawat, mereka berkelahi…!"

"Apa Kak Bayu sudah berhasil, ya?"

"Ck, harusnya kamu tanya, apa si cewek jelek itu yang berhasil? Kakak kan ganteng banget, masa dinodai sama cewek jelek itu…."

Arya Surya menggertakkan giginya dan menyemangati dalam hati, "Ayo, bertarung lebih sengit lagi! Biar cewek jelek itu tahu kehebatan pria keluarga Surya!"

...

Baru saja Arya Surya selesai bicara, pintu kamar tiba-tiba ditarik terbuka dengan keras. BRAK! Tubuh Bayu Surya terhuyung-huyung keluar dari kamar.

Lalu, BLAM! Pintu dibanting tertutup lagi.

Terlihat wajah Bayu Surya menahan sakit, hidungnya merah dan bengkak.

"Kak… Kakak kenapa?" Aji Surya menggaruk kepalanya, pura-pura khawatir.

Bayu Surya menatapnya tajam. "Aku kenapa? Memangnya kalian tidak tahu?"

"Kak, kami… kami tidak bersalah."

Arya Surya menggelengkan kepalanya, mati-matian menahan tawa.

Mereka bertiga, tiga bersaudara Surya, nasibnya benar-benar tragis. Si anak kedua, Aji, dibuat bungkam oleh si cewek jelek. Dia, si anak ketiga, jadi pecundang yang cuma bisa bicara besar. Dan yang paling parah adalah si sulung, Bayu. Kamarnya tidak hanya direbut, tapi dia juga ditendang keluar oleh cewek jelek ini.

Benar-benar penghinaan yang luar biasa.

Setelah menatap tajam kedua adiknya, Bayu Surya merapikan jubah mandinya yang sedikit robek dan berjalan menuju kamar tamu.

Sepanjang jalan, ia terus bertanya-tanya.

Aji dan Arya memberitahunya lewat telepon bahwa Sari Wijaya adalah gadis yang jelek. Tapi tadi, saat berkelahi dengannya, di bawah cahaya remang dari luar jendela, ia seperti melihat sekilas wajah Sari. Sepertinya gadis itu tidak jelek sama sekali.

Hanya saja, keganasannya membuat Bayu Surya harus memandangnya dengan cara yang berbeda.

Memang pantas menjadi gadis dari keluarga Wijaya dari Barat, sifatnya benar-benar liar.

Selama gadis itu tinggal di rumah keluarga Surya, ia harus memberinya pelajaran. Wanita dengan sifat liar seperti itu tidak akan pernah bisa menang di hadapannya, Bayu Surya.


Keesokan harinya, setelah tidur nyenyak, Sari Wijaya bangun.

Dengan teliti, ia menggambar tahi lalat palsu di wajahnya, melukis tanda lahir di pipi kirinya, lalu mengepang rambutnya menjadi satu kepangan besar yang tebal. Setelah itu, barulah ia turun ke bawah.

Saat tiba di ujung tangga, ia sengaja menyelipkan separuh bagian bawah mantel panjang yang disiapkan keluarga Surya untuknya ke dalam pinggang celananya. Tujuannya satu: tampil sejelek mungkin, agar ketiga tuan muda keluarga Surya tidak punya pikiran macam-macam padanya.

Sarapan di keluarga Surya didominasi menu Barat. Ada susu, roti lapis, bahkan bahan makanan mewah seperti kaviar dan foie gras.

Saat Sari Wijaya turun, ketiga tuan muda Surya sudah duduk di tempat masing-masing. Begitu melihat penampilan Sari, Aji langsung membuang muka. Arya juga diam-diam menggeser kursinya, menjauh dari Sari.

Hanya Bayu Surya yang tetap duduk tegak di kursi utama meja makan, dengan hidung yang masih merah dan bengkak akibat pertarungan semalam.

Sari malas berbicara dengan mereka. Ia mengambil sepotong roti lapis, memakannya beberapa gigit, lalu meminum segelas susu yang ada di hadapannya. Baru setelah itu ia bertanya, "Sekolahku, apa sudah diurus?"

Mendengar pertanyaan Sari, Bayu Surya menjawab dengan nada dingin.

"Sudah. Nanti kamu pergi bersama Aji dan Arya ke Universitas Jakarta Selatan. Mereka mahasiswa tahun ketiga, kamu langsung masuk sebagai mahasiswa baru tahun pertama."

"Oke." Sari menyahut, lalu melirik Aji dan Arya.

Arya jelas tidak senang harus pergi ke kampus bersama Sari.

Ia menggerutu, "Kak, aku tidak mau satu mobil dengannya…"

Sebelum Bayu sempat menjawab, Sari sudah memotong, "Aku juga tidak mau satu mobil denganmu. Begini saja, aku pakai mobilmu, kamu pakai motor listrik Pak Satpam saja, bagaimana?"

"Kamu…! Cewek jelek, itu mobilku! Atas dasar apa kamu menyuruhku naik motor listrik ke kampus?" Arya sangat kesal dengan kesewenang-wenangan Sari.

Sari tersenyum sinis dan membalas, "Dasarnya? Dasarnya adalah aku orang yang diundang Kakekmu dari Barat. Kalau kamu tidak mau aku tinggal di sini, bilang saja pada Kakek Surya untuk mengusirku…"

"Kalau bukan karena kakekmu yang memaksa, kamu pikir aku sudi naik mobil bututmu itu?"

Arya langsung terdiam.

Kakek Surya adalah orang yang perkataannya tidak bisa dibantah. Sampai mati pun, ia tidak akan berani mempertanyakan keputusan Kakek.

Arya pun menelan kekesalannya dalam diam.

Aji, yang dasarnya memang penakut, melihat saudara kembarnya bungkam, tentu saja ikut menutup mulutnya rapat-rapat.

Sementara itu, Kak Bayu Surya justru menunjukkan senyum tipis yang penuh kemenangan.

Tiba-tiba, ia merasa sedikit tertarik pada gadis liar yang tidak tahu aturan ini. Tanah macam apa di Barat sana yang bisa menghasilkan gadis dengan kepribadian sebebas ini?

Menarik.

Sari, yang baru saja berhasil membungkam Arya, merasa sangat puas. Saat ia menoleh, ia melihat sudut bibir Bayu Surya terangkat membentuk senyuman.

Melihat hidungnya yang merah bengkak, ia langsung teringat pada pria yang menyelinap ke kamarnya semalam dan mencoba berbuat tidak senonoh.

Demi keselamatannya di masa depan, Sari merasa harus memberi peringatan pada Bayu Surya.

Ia mendekat ke sisi Bayu, menatapnya dari atas ke bawah dengan tatapan dingin.

Lalu, ia membuka mulut, "Hidungmu itu, pasti sakit sekali, ya?"

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya