Bab [4] Tidak Pasti Siapa yang Akan Kalah
Saat mengucapkan itu, sorot mata Tuti Tuwito memancarkan kilatan kejam.
Para pengikutnya yang mengerumuninya, demi menaikkan pamor Tuti Tuwito dan membuat Sari Wijaya ketakutan, salah satu dari mereka mulai membeberkan identitas Tuti Tuwito.
"Cewek jelek, biar lo mati pun, lo harus tahu siapa yang udah lo cari masalah," ejeknya.
"Nona Tuwito ini, putri Wakil Kepala Sekolah. Di kampus ini, ayahnyalah yang berhak memutuskan siapa yang bisa dikeluarkan."
"Nona Tuwito itu tokoh paling berpengaruh di Universitas Jakarta Selatan kita. Siapa pun yang berani cari gara-gara sama dia, bahkan nggak akan sempat berlutut dan manggil dia 'Nenek', udah keburu di-DO."
"Jadi, demi masa depan lo di sini, kami saranin, mending lo berlutut sekarang juga..."
Para pengikut itu saling bersahutan, dengan cepat menjelaskan latar belakang Tuti Tuwito.
Sari Wijaya akhirnya mengerti. Ternyata, dia punya bekingan kuat.
Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, meskipun dia punya bekingan, ini hari pertamanya masuk kuliah, tidak mungkin dia langsung cari masalah dengannya. Kecuali, ada orang yang sengaja ingin memberinya pelajaran.
Dan bagi Sari Wijaya, orang-orang yang ingin memberinya pelajaran tidak akan pernah ia beri ampun.
"Berlutut?"
"Kalau lo nggak berlutut sekarang juga, gue ancurin muka lo dalam sekejap!"
Melihat Sari Wijaya ragu-ragu, cengkeraman tangan Tuti Tuwito di leher Sari Wijaya semakin kencang.
Ia mengangkat tangannya yang satu lagi, bersiap menampar wajah Sari Wijaya.
Namun, dengan gerakan cepat, Sari Wijaya mengelak, lalu menjambak rambut Tuti Tuwito. Sebelum Tuti sempat bereaksi, BRAK! Sari menghantam kepala Tuti ke lantai.
Untuk membalas cengkeraman di lehernya tadi, Sari mengambil tempat sampah di toilet dan menungkupkannya ke kepala Tuti. Disusul dengan hujan pukulan dan tendangan membabi buta, Tuti menjerit-jerit kesakitan.
Para pengikut yang tadinya mengerumuni Tuti Tuwito awalnya ingin membantu. Tapi melihat betapa beringasnya Sari Wijaya, mereka ketakutan setengah mati sampai hampir mengompol.
Selama ini mereka sering melakukan perundungan di kampus, tapi ini pertama kalinya mereka bertemu lawan yang sekeras baja.
Setelah selesai menghajar Tuti Tuwito, Sari Wijaya menggosok-gosokkan tangannya dan menatap para pengikut itu. "Ayo, siapa lagi di antara kalian? Siapa yang cukup hebat buat bikin gue berlutut dan manggil kalian 'Nenek'?"
Kegilaan Sari Wijaya membuat mereka semua ciut.
Satu per satu mereka berlutut di lantai, memohon ampun pada Sari.
"Nenek, Nenek... Anda Nenek kami..."
Melihat para pengikut itu menyerah, Sari Wijaya tertawa dingin. Ia menjambak rambut Tuti Tuwito yang sudah tergeletak lemas di lantai. "Bilang, siapa yang nyuruh lo ganggu gue?"
Nyali Tuti Tuwito sudah hancur lebur, ia tak berani bersuara sedikit pun.
Melihatnya diam, Sari mengancam, "Oke, lo nggak mau ngomong? Gue hajar lagi sampai lo mau ngomong!"
Takut dihajar lagi, Tuti Tuwito buru-buru buka suara, "Tuan Muda Ketiga Surya... Arya Surya... Dia bilang kamu cari masalah sama dia, jadi dia menyuruhku memberimu sedikit pelajaran..."
"Arya Surya? Dia benar-benar cari mati."
Sari Wijaya menggertakkan giginya, menggeramkan nama Arya Surya. Ia melepaskan Tuti Tuwito dan berbalik, siap mencari Arya Surya untuk balas dendam.
Baru setengah jalan, sahabat baiknya, Sinta Kusuma, menelepon.
Di telepon, suara Sinta terdengar panik. "Sari, tolongin gue, darurat!"
"Sepupu gue, Doni Setiawan, dihasut orang buat tanding balap motor lawan Tuan Muda Ketiga Surya. Mereka bahkan pasang taruhan sepuluh juta! Lo tahu sendiri kan, kondisi keluarga sepupu gue nggak begitu bagus. Kalau sampai orang tuanya tahu dia taruhan sepuluh juta, dia bisa habis dipukulin!"
"Sari Wijaya, lo kan calon menantu pilihan Kakek Surya. Tuan Muda Ketiga Surya juga salah satu calon suami lo. Bisa nggak lo bujuk dia baik-baik, minta dia lepasin sepupu gue?"
Sari Wijaya tidak bisa menolak permintaan Sinta Kusuma.
Ia bertanya, "Doni Setiawan yang lo maksud, apa dia anak laki-laki yang liburan musim panas waktu itu main ke tempat kita di Barat Laut?"
"Iya, dia orangnya!"
Mendengar jawaban Sinta, mata Sari Wijaya sedikit menyipit.
Balap motor, taruhan sepuluh juta? Menyelesaikan masalah untuk Doni Setiawan...
Sepertinya... menarik juga.
Bukankah ini jauh lebih menguntungkan daripada sekadar menghajar Arya Surya?
Setelah berpikir sejenak, ia berkata pada Sinta, "Oke, gue urus masalah ini. Bilang sama sepupu lo, Doni Setiawan, suruh dia jemput gue di Universitas Jakarta Selatan setelah kelas selesai. Gue akan bantu dia selesaikan ini."
Mendengar Sari Wijaya setuju, Sinta sangat gembira.
Ia membanjiri Sari dengan berbagai pujian di telepon. Rentetan sanjungan itu membuat Sari Wijaya merasa sedikit melayang.
Tak lama kemudian, jam kuliah pun usai. Sari memberitahu sopirnya bahwa ia akan mengunjungi seorang teman, lalu menyuruhnya pulang. Setelah sopir pergi, ia naik ke motor yang dikendarai Doni Setiawan.
Doni Setiawan menjelaskan situasinya secara singkat.
Ternyata, Doni setuju untuk balapan dengan Arya Surya karena terus-menerus dihasut orang lain. Karena tidak mau kehilangan muka, ia pun menyanggupinya. Sekarang, ia tahu persis tidak akan bisa menang melawan Arya, tapi ia juga tidak berani menolak balapan itu. Posisinya benar-benar serba salah.
Setelah selesai bercerita, Doni bertanya dengan ragu, "Kak Sari, menurut Kakak gimana baiknya?"
"Gimana lagi? Ya tentu saja kita lawan dia."
"Tapi, kalau balapan lawan Tuan Muda Ketiga Surya, aku pasti kalah, Kak. Taruhannya sepuluh juta!" Doni sangat khawatir.
Kondisi ekonomi keluarganya tidak sebanding dengan Keluarga Surya. Sepuluh juta adalah jumlah yang sangat besar bagi mereka.
Melihat ekspresi cemas Doni, Sari Wijaya menepuk kepalanya.
"Gue yang akan balapan sama dia," katanya. "Tenang aja, gue nggak mungkin kalah dari Tuan Muda Ketiga Surya."
"Kalau pun gue kalah, sepuluh juta itu biar gue yang bayar."
Sari Wijaya sangat percaya diri. Daerah Barat Laut tempatnya berasal sangatlah luas. Sejak usia tiga tahun, ia sudah punya sirkuit balap motor sendiri. Selama bertahun-tahun, kemampuannya mengendalikan motor menjadi semakin lincah dan luwes.
Saat ia melakukan drifting, motornya seolah tak berani mengurangi kecepatan.
Jika ia ingin menjadi juara pertama, tidak ada pembalap mana pun yang berani menyainginya.
Arya Surya mau adu balap dengannya? Hah...
Dia pasti akan kalah telak.
Tak lama kemudian, Doni membawa Sari Wijaya mengambil motor dan perlengkapan balap, lalu bergegas ke lokasi balapan.
Arya Surya dan beberapa temannya sedang bersandar di motor-motor mewah mereka, menatap Doni dengan angkuh.
Melihat Doni datang bersama seorang perempuan, wajah Arya menunjukkan ekspresi meremehkan.
Ia menyindir Doni, "Yo, Doni Setiawan, ada apa ini? Bawa bala bantuan?"
"Kalau lo emang nggak sanggup, ya cari lawan yang sepadan dong. Bawa cewek ke sini, mau bikin siapa jijik?"
"Gue kasih tahu ya, kita udah pasang taruhan. Biarpun lo suruh cewek ini balapan buat lo, kalau kalah lo tetap harus bayar sepuluh juta. Kalau nggak, habis lo sama gue."
Arya Surya mengangkat dagunya, memandang rendah mereka berdua.
Sari Wijaya mengenakan helm tebal dan pakaian balap lengkap yang menutupi seluruh tubuhnya, sehingga Arya sama sekali tidak mengenalinya.
Melihat kesombongannya, Sari mengubah suaranya dan menyindir dengan dingin, "Tuan Muda Ketiga Surya, kalau mau balapan ya balapan aja, nggak usah banyak omong kosong. Soal sepuluh juta itu, belum tentu juga siapa yang bakal kalah..."
